Konten dari Pengguna

Perjalanan Terjal Lembaga Anti Rasuah

Fahmi Ramadhan
Peneliti Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI) Fakultas Hukum Universitas Jember
17 Mei 2021 13:21 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fahmi Ramadhan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber Foto: Dokumentasi Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Foto: Dokumentasi Pribadi
ADVERTISEMENT
Jakarta – Sejatinya upaya pemberantasan korupsi telah digaungkan sejak bangsa ini merdeka yang dilaksanakan oleh badan atau lembaga khusus anti rasuah, namun tak banyak lembaga anti korupsi memiliki umur panjang. Sejak era orde lama kemudian orde baru hingga reformasi. Lembaga-lembaga anti rasuah selalu mendapatkan perlawanan, tekanan-tekanan politik yang akhirnya membuat bubar.
ADVERTISEMENT
Saat ini di samping Kepolisian dan Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hadir sebagai lembaga khusus anti korupsi, namun tak jauh beda dengan pendahulunya, keberadaan KPK banyak tidak disukai oleh kelompok tertentu. Telah banyak serangan yang ditujukan kepada KPK agar Lembaga ini kehilangan marwahnya, sekarang perlahan-lahan KPK dilemahkan hingga dianggap sudah tak memiliki tajinya pasca revisi Undang-Undang KPK baru (UU No. 19 Tahun 2019) disahkan.

Lembaga Anti Rasuah Era Orde Lama

Lembaga Anti Rasuah pertama yang lahir pasca kemerdekaan adalah Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara (BAPEKAN) yang didirikan pada awal tahun 1959 berdasarkan Peraturan Presiden No. 1 tahun 1959, diketuai oleh Sultan Hamengku Buwono IX, dengan anggota Semaun, Arnold Mononutu, Samadikoen dan Letkol Sudirgo. BAPEKAN memiliki tanggung jawab untuk mengawasi, mengkaji dan memberi rekomendasi kepada presiden tentang kegiatan aparatur negara.
ADVERTISEMENT
Subjek dari tanggung jawab BAPEKAN mencakup pejabat sipil dan militer dari badan usaha milik negara, yayasan, perusahaan, dan lembaga negara. BAPEKAN telah menerima berbagai keluhan dan pengaduan dari masyarakat terkait kinerja hingga dugaan korupsi yang dilakukan oleh aparatur negara.
Di samping BAPEKAN, di Tahun yang sama berdiri pula Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN) yang dibentuk oleh AH Nasution berdasarkan persetujuan Presiden, PARAN memiliki tugas untuk mendata harta kekayaan para pejabat negara yang hasilnya sebagai tolak ukur diketahui adanya salah tata Kelola dan korupsi. Pada awalnya terjadi ketidakjelasan tugas antara BAPEKAN dan PARAN, namun hal ini kemudian diselesaikan dengan pertemuan antara Sultan Hamengku Buwono IX dengan AH Nasution sebagai pimpinan dari masing-masing institusi dan menghasilkan kesepakatan mengenai pembagian tugas Lembaga yang dipimpinnya, yang kemudian dilaporkan kepada Presiden.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1962, dalam masa persiapan Asian Games, banyak laporan yang menyebutkan bahwa pembangunan Stadion Senayan terindikasi korup. BAPEKAN segera mengusut laporan tersebut. Belum selesai mengusut kasus tersebut, pada 4 Mei 1962 terbit Keputusan Presiden Nomor 166 Tahun 1962, yang memuat pemberhentian secara hormat Sultan Hameng Kubuwono IX, Samadikun dan Semaun.
Sehari berselang, terbit Peraturan Presiden No 3 tahun 1962 tentang pembubaran Bapekan. Dasar pertimbangannya, yakni adanya Keputusan Presiden No 94 tahun 1962 tentang regrouping Kabinet Kerja, BAPEKAN dianggap tak diperlukan lagi, dan dibubarkan pada 5 Mei 1962.
PARAN juga mengalami hal yang serupa, kendala serius yang dialami banyak pejabat negara yang tidak melaporkan harta kekayaannya, ditambah dengan pergantian AH Nasution sebagai pimpinan AD oleh Ahmad Yani pada tahun 1962 membuat PARAN semakin tak efektif hingga akhirnya bubar.
ADVERTISEMENT
Pasca pembubaran PARAN, presiden membentuk membentuk Komando Tertinggi Retooling Aparatur (KOTRAR) pada tahun 1964. Soebandrio ditunjuk sebagai ketua dan Letjen Ahmad Yani sebagai kepala staf. Sangat disayangkan, Kotrar justru menjadi kendaraan politik Soebandrio dan melenceng dari tujuan pembentukannya, Perbaikan administrasi pemerintahan dan pemberantasan korupsi hampir tak terlaksana. Kotrar mengalami stagnasi hingga jatuhnya Presiden Soekarno.

Lembaga Anti Rasuah Era Orde Baru

Pada era orde baru, terdapat dua Lembaga anti rasuah yang berdiri yakni Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) dan Komisi Empat, TPK diketuai oleh Jaksa Agung Sugih Arto dengan anggota dari kejaksaan, kepolisian, militer, pers, dan unsur lain.
Manuver pemberantasan yang dilakukan TPK banyak menyasar perusahaan pelat merah seperti Pertamina, namun campur tangan penguasa membuat TPK kesulitan mengungkap kasus. Hal yang sama terjadi pada pengusutan terhadap perusahaan-perusahaan negara atau institusi negara yang diindikasi sebagai sarang korupsi seperti Bulog dan Departemen Kehutanan, hingga muncul demonstrasi mempertanyakan komitmen pemerintah dalam memberantas korupsi yang pada akhirnya membuat TPK bubar.
ADVERTISEMENT
Pasca pembubaran TPK, pemerintah membentuk Komisi Empat pada 31 Januari 1970. Presiden Soeharto menunjuk Moh. Hatta sebagai penasihat komisi itu dan mantan Perdana Menteri Wilopo sebagai ketuanya. Tiga tokoh senior yang dianggap berintegritas diantaranya Prof Johannes, I.J. Kasimo, dan A. Tjokroaminoto menjadi anggota
Sebagian besar kasus-kasus yang ditangani Komisi Empat adalah kasus-kasus korupsi yang tidak selesai ditangani oleh TPK. Salah satu temuan Komisi Empat adalah kasus Presiden Direktur Pertamina Ibnu Sutowo yang diduga memanfaatkan sebagian pendapatan perusahaan untuk kepentingan pribadi. Sayangnya hasil penyelidikan tersebut tak mendapat tindak lanjut dari pemerintah, bahkan tanpa alasan yang jelas pemerintah justru membubarkan Komisi Empat pada 16 Juli 1970.

Lembaga Anti Rasuah Era Reformasi

Landmark pemberantasan korupsi era reformasi diawali dengan pengesahan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang secara eksplisit mengamanatkan pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi.
ADVERTISEMENT
Pada era Presiden Megawati amanat tersebut terlaksana melalui Undang-Undang No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. KPK mempunyai empat tugas penting yakni, koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi, dan melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Dibanding dengan Badan atau Lembaga Anti Rasuah lain, KPK dianggap paling sukses memberantas korupsi, hal ini dibuktikan dengan naiknya angka Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia dari tahun ke tahun secara konsisten. Kondisi ini membuat banyak dukungan yang diberikan publik kepada KPK, sejarah mencatat pada Tahun 2012 DPR enggan untuk menyetujui anggaran pembangunan Gedung KPK dan pada akhirnya publik melakukan Gerakan Koin Untuk KPK untuk membantu pembangunan Gedung Baru KPK.
ADVERTISEMENT
KPK banyak mengungkap kasus-kasus besar yang melibatkan aktor dari pejabat tinggi negara dari level Ketua dan anggota DPR, Menteri, Kepala Daerah, Aparat Penegak Hukum hingga Hakim Mahkamah Konstitusi. Sama seperti Lembaga anti rasuah sebelumnya, prestasi pemberantasan korupsi yang ditorehkan KPK selalu mendapat perlawanan secara politik hingga fisik di antaranya Cicak vs Buaya, Hak Angket terhadap KPK pada Tahun 2017, kriminalisasi pimpinan KPK, penyerangan kepada pegawai KPK dan pada puncaknya adalah Revisi Undang-Undang KPK pada Tahun 2019.
Revisi Undang-Undang KPK benar-benar melemahkan KPK secara perlahan, dampaknya langsung dirasakan dengan turunnya angka IPK Indonesia Tahun 2020. Jika tahun 2019 IPK Indonesia berada di skor 40 dan ranking 85, tahun 2020 IPK Indonesia turun di skor 37 dan ranking 102. Pasca UU KPK baru menjadi kekhawatiran tersendiri, KPK tidak lagi efektif memberantas korupsi bisa saja membuat kepercayaan publik menurun dan berujung pada pembubaran Lembaga ini.
ADVERTISEMENT

Belajar dari ICAC Hongkong dan CPIB Singapore

Sesungguhnya kita perlu banyak belajar kepada negara-negara yang sukses dan efektif melakukan upaya pemberantasan korupsi baik pencegahan maupun penindakan. Role Model yang dapat dijadikan contoh di antaranya The Independent Commission Against Corruption (ICAC) Hongkong dan The Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) Singapura. Faktor yang menentukan keberhasilan mereka tak lepas dari political will disertai good will Pemerintah untuk memberantas korupsi disertai trust dan dukungan dari Publik.
Dukungan secara politik masih belum dimiliki Indonesia, bagaimana kita lihat bersama bagaimana politik hukum kita cenderung melemahkan agenda pemberantasan korupsi dengan merevisi Undang-Undang KPK yang di beberapa poin dianggap berbahaya bagi masa depan KPK.
Fahmi Ramadhan FirdausPegiat Anti Korupsi | Alumni Sekolah Anti Korupsi (SAKTI) ICW 2017
ADVERTISEMENT