Konten dari Pengguna

Jilbab dan Kontroversi SKB 3 Menteri

Fahmi Salim
Founder Al-Fahmu Institute & Dewan Pakar JATTI (Jaringan Alumni Timur Tengah Indonesia). Wakil Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah
24 Februari 2021 8:49 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fahmi Salim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Siswa mendengarkan materi pelajaran sambil mengenakan masker saat hari pertama dimulainya kembali belajar tatap muka di SMAN 5 Kota Jambi, Jambi, Rabu (17/2/2021). Foto: Wahdi Septiawan/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Siswa mendengarkan materi pelajaran sambil mengenakan masker saat hari pertama dimulainya kembali belajar tatap muka di SMAN 5 Kota Jambi, Jambi, Rabu (17/2/2021). Foto: Wahdi Septiawan/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
ISLAM itu agama rahmat. Tak ada paksaan untuk memeluk agama Islam (Al-Baqarah: 256). Karena, setelah diutusnya Muhammad shallallahu alaihi wa sallam sebagai rasul Alloh, kebenaran Islam telah ditegakkan. Dalam ayat lain, Allah Ta'ala menegaskan bahwa kebenaran itu dari Allah, lalu manusia diberi kebebasan untuk memilih apakah mau jadi orang beriman atau orang yang ingkar. Setiap pilihan tentu akan berimplikasi pada kebaikan di dunia maupun di akhirat. Sebagai konsekuensinya, surga bagi orang beriman dan neraka bagi orang yang ingkar (Al-Kahfi: 29-31).
ADVERTISEMENT
Kalau beragama saja manusia diberi kebebasan, apalagi soal berbusana. Busana adalah soal selera dan produk kreatif budaya dengan ciri khas masing-masing. Karena itulah, SKB 3 Menteri (Mendikbud, Menag, dan Mendagri) tentang seragam sekolah sesungguhnya ingin menyerap keragaman budaya dan agama, karena tidak ada lagi sekolah atau pemerintah daerah yang boleh melarang siswanya untuk mengenakan atribut agama tertentu. Termasuk, seorang siswi muslimah bebas mengenakan jilbab dalam seragam sekolahnya di daerah minoritas muslim.
Namun, SKB 3 Menteri ini menjadi kontroversi ketika sekolah atau pemerintah daerah juga dilarang untuk menganjurkan dan mewajibkan siswa di sekolah negeri untuk mengenakan atribut agama tertentu bagi pemeluknya. Padahal, jika mau konsisten dengan keragaman, pemerintah sekalian tidak perlu mewajibkan seragam sekolah bagi para siswanya. Setiap siswa bebas mengenakan pakaian sesuai dengan seleranya. Penyeragaman dianggap mematikan individualitas dan kebebasan siswa. Bahkan, tak pernah bisa dibuktikan bahwa seragam sekolah mampu meningkatkan kedisiplinan dan prestasi akademik siswa. Tengoklah negara maju, tidak ada seragam sekolah di sana. Islam tidak pernah mengatur jenis pakaian atau modelnya, karena merupakan produk budaya. Islam hanya mengatur batasan aurat untuk laki-laki dan perempuan beserta adab dalam berpakaian. Jilbab bukan perkara yang bersifat furu'iyyah. Para ulama sepakat (ijma’) bahwa berjilbab itu wajib, sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Ahzab: 59 dan An-Nur: 31.
ADVERTISEMENT
Dalam hadis sahih dari ‘Ummu ‘Athiyah, ia berkata, “Wahai Rasulullah, salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab.” Lalu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Hendaklah saudaranya memakaikan jilbab untuknya” (HR. Bukhori-Muslim). Yang diperselisihkan para ulama adalah apakah wajah dan kedua telapak tangan wajib ditutupi. Islam juga melarang cara berpakaian perempuan yang membentuk lekuk tubuhnya meskipun tertutup. Nabi menyebutnya, “Orang berpakaian tapi telanjang.”
Atas dasar inilah, jika ada sekolah atau pemerintah daerah ingin menerapkan aturan Islam dalam berbusana bagi pemeluknya, apakah dianggap sebagai pelanggaran? Inilah yang diprotes oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan PP ‘Aisyiyah. MUI meminta pemerintah merevisi SKB 3 Menteri agar tidak menjadi polemik, kegaduhan, dan ketidakpastian hukum.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana tausiah yang disampaikan Ketua Umum MUI, KH. Miftahul Akhyar, pemerintah tidak perlu melarang pemerintah daerah atau sekolah yang mewajibkan jilbab bagi peserta didik perempuan yang beragama Islam, karena itu bagian dari proses pendidikan agama dan pembiasaan akhlak mulia.
Hal serupa ditegaskan oleh Ketua Umum PP ‘Aisyiyah Siti Noordjannah Djohantini. Kebijakan pemerintah diharapkan memberikan kelonggaran kepada sekolah yang diselenggarakan pemerintah daerah untuk membuat pengaturan yang positif yang arahnya menganjurkan, membolehkan, dan mendidik para siswa untuk taat menjalankan ajaran agama sesuai keyakinannya. Setiap peraturan yang dibuat oleh pemerintah tak boleh melanggar aturan yang lebih tinggi.
Bukankah melaksanakan ajaran agama dijamin oleh Pasal 29 UUD 1945, apalagi Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama Pancasila mempertegas bahwa negeri ini harus dibingkai dengan nilai-nilai agama. Sebagaimana yang juga dirumuskan dalam tujuan pendidikan nasional dalam Pasal 31 ayat (3) UUD 1945, yaitu untuk meningkatkan keimanan, ketakwaan, dan akhlak yang mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
ADVERTISEMENT
Lalu, alasan apa lagi yang dibuat oleh pemerintah untuk memaksakan SKB 3 Menteri ini?
Pendidikan di sekolah bukan sekadar transfer ilmu pengetahuan, tapi juga penanaman nilai-nilai, pengamalan ilmu dan keteladanan. Jika pelaksanaan kewajiban agama menjadi urusan orang tua siswa, sama saja ingin memisahkan sinergi antara orang tua dan sekolah dalam proses pendidikan.
Seorang siswa SD dengan masker di wajahnya berjalan meninggalkan sekolah usai melakukan pendaftaran ulang pada hari pertama sekolah di Jayapura, Papua. Foto: Gusti Tanati/ANTARA FOTO

Sinergitas Pendidikan

Sekolah dan orang tua bukanlah entitas yang terpisah. Keduanya harus bekerja sama dalam mendidik generasi bangsa ini, terutama dalam pendidikan akhlak. Meminjam istilah revolusi mental yang dikampanyekan Presiden Jokowi, maka pendidikan akhlak merupakan fondasi utama dalam membentuk karakter peserta didik. Dalam Islam, akhlak itu tak sekadar perilaku positif yang dilakukan oleh anak-anak kita. Seperti diungkapkan oleh istri Nabi, ‘Aisyah r.a., bahwa akhlak nabi adalah Qur’an, artinya orang yang berakhlak adalah yang mengikuti aturan hidup dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
ADVERTISEMENT
Usia sekolah adalah usia emas dalam pendidikan, yang dimulai dari usia dini dengan penanaman teladan dari orang tuanya. Ketika anak-anak kita berada di sekolah, orang tua sesungguhnya menitipkan amanah pendidikan akhlak untuk dilakukan oleh para guru. Selain keteladanan, pendidikan juga bisa diterapkan dengan model pembiasaan. Karena itu, ketika anak sudah berusia 7 tahun, Rasulullah memerintahkan orang tua untuk menyuruh anak mengerjakan salat dan jika ada pelanggaran, hukuman harus ditegakkan ketika anak berusia10 tahun (HR Ahmad dan Abu Daud).
Menjalankan perintah agama secara sadar membutuhkan proses pendidikan yang panjang, dimulai dari keteladanan, pembiasaan dan ketegasan. Anak didik yang dibiasakan permisif dengan berbagai pelanggaran maka ia tidak bisa konsisten untuk memegang kebenaran yang diyakininya. Ia akan mudah terbawa arus pergaulan yang negatif. Karena itulah, para guru yang mewakili orang tua dalam mendidik anak di sekolah, ikut berperan dan bertanggung jawab untuk membentuk generasi masa depan yang tangguh menghadapi berbagai persoalan yang semakin kompleks. Jilbab sesungguhnya hanya sebagian kecil syariat Islam yang harus dijalankan oleh muslimah. Jilbab adalah bagian dari kehormatan seorang perempuan untuk menjaga dirinya dari berbagai pengaruh negatif. Jilbab telah menjadi simbol pembebasan wanita dari belenggu materialisme dan perbudakan kapitalisme. Tentu, tak cukup peserta didik sekadarn mengenakan jilbab, tapi tak ditanamkan kesadaran akhlak dalam berjilbab. Celakanya banyak terdakwa kasus korupsi di pengadilan yang tampil memakai jilbab, padahal sebelumnya tidak pernah. Maaf, itu bukan untuk dicontoh apalagi dijadikan dalih pembenaran bahwa jilbab tak menjamin perbaikan akhlak.
ADVERTISEMENT
SKB Tiga Menteri awalnya dipicu oleh kewajiban berjilbab di sebuah SMK Negeri di Kota Padang. Padahal, kewajiban ini hanya diberlakukan bagi siswi muslimah. Bagi yang beragama di luar Islam, tentu diberi kebebasan sesuai dengan semangat toleransi dalam Islam. Aturan yang mencerminkan adat istiadat Minang yang bersendikan syara' dipersoalkan bahkan dipaksa untuk dicabut dengan ancaman sanksi seperti penghentian Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan bantuan lainnya. Padahal, negara wajib membiayai pendidikan sesuai dengan amanah pasal 31 UUD 1945 ayat 2. Pemerintah jangan reaktif menanggapi persoalan ini. Masyarakat bisa menilai kenapa kasus pelarangan siswi berjilbab yang terjadi di Bali dan Manokwari tidak ada respons adil pemerintah pusat? Pemerintah harus belajar untuk mendengar aspirasi dari umat Islam, seperti yang disampaikan MUI, PP Aisyiah dan tokoh ulama lainnya. Pemerintah harus mulai berpikir tentang keberkahan negeri ini. Terbukti banyak orang yang hanya pintar, tapi miskin akhlaknya. Korupsi dan berbagai tindak kejahatan lainnya tumbuh subur, buah dari pendidikan kita yang gagal.
ADVERTISEMENT
Jika agama disingkirkan dari pola pendidikan anak-anak bangsa, bisakah Indonesia menjadi negeri sebagaimana yang dicita-citakan para pendiri bangsa ini. Lalu, di manakah Pancasila yang sama-sama kita yakini sebagai perekat kehidupan berbangsa dan bernegara ini?
Wallohu 'alam.
**Oleh Fahmi Salim
Wakil Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah dan Dosen Fakultas Agama Islam UHAMKA