Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten dari Pengguna
Andro dan Mimpinya
25 Oktober 2017 9:37 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB
Tulisan dari Fahmin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Namanya Andro. Aku bertemu dengannya di perpustakaan umum di kotaku. Saat itu ia khusuk dengan akun Facebook-nya. Aku duduk di sebelahnya, di depan monitor yang tak bisa mengakses internet. Iseng aku menanyakan usianya dan memberitahunya batas usia minimal seseorang boleh memiliki akun facebook. Dia cuek dengan aturan itu dan memberitahuku bahwa teman-teman seusianya sudah lebih dulu memiliki akun.
ADVERTISEMENT
Andro di sebelah kiriku, sebelah kananku seorang perempuan cantik. Karena aku bukan agen 007 yang bisa memulai pembicaraan dengan seorang perempuan, jadi aku melanjutkan obrolan dengan Andro. Sambil terus memandangi monitor, ia bercerita mengenai cita-citanya menjadi tentara. Ia mengungkapkan alasan mengapa ia menjadi tentara lantaran tak mau kebudayaan Indonesia diklaim oleh negara lain. Suatu cita-cita yang mulia.
Ia tampak begitu bangga menjadi anak Indonesia bahkan ia bercerita suatu hari pernah memukul teman sekolahnya karena abai untuk hormat pada bendera merah putih saat upacara.
ADVERTISEMENT
Perempuan di sebelah kananku masih bergeming dan Andro tak berhenti bercerita tentang mimpi-mimpinya. Sesekali aku mencuri pandang ke akun Facebook-nya yang ternyata memang penuh dengan gambar prajurit prajurit TNI.
Aku kira anak-anak Indonesia berhak bermimpi dan menjadi apa saja, menjadi presiden, menjadi gubernur, menjadi tentara.
Namun saat ini ketika isu rasial menjadi senjata bagi sebagian kelompok untuk menyerang kelompok lain, saat istilah pribumi-non pribumi muncul lagi sebagai sekat, akan menjadi kendala bagi seorang anak yang lahir berbeda dengan anak Indonesia pada umumnya. Mereka yang mempunyai mata sipit dan kulit putih, misalnya. Seperti Andro.
Rasialisme ini memang tidak ada matinya. Isu yang sempat lumer pasca pemilihan Gubernur DKI Jakarta beberapa saat yang lalu atau selepas Ahok dipenjara, tiba-tiba mencuat kembali saat Anis Baswedan memakai diksi pribumi dalam pidato perdananya sebagai gubernur DKI Jakarta.
ADVERTISEMENT
Apabila kita betul-betul memahami konteks apa yang disampaikan Anies Baswedan pada pidatonya, aku percaya, sebagaimana ucapan Ahok di pulau Seribu, Anies Baswedanpun memakai kata pribumi tidak untuk memetakmetakkan rakyat Jakarta. Baik Anis atau Ahok adalah korban penafsiran semena-semena sebuah golongan untuk memuaskan hasrat mereka. Fanatisme dan glorifikasi yang berlebihan terhadap satu sosok membuat gelap mata dan malas menilai sesuatu secara objektif dan adil.
Lalu, siapa yang menjadi korban sikap picik semacam itu? Mungkin Ahok, mungkin Anies Baswedan, tapi yang luput dari perhatian kita ialah anak-anak seperti Andro yang tidak mengerti apa-apa.
Jika isu rasial ini tidak diredam dan selalu menjadi manuver politik pada setiap pilkada, pilgub atau pilpres, aku kira jika berbicara toleransi dan perbedaan sedikitpun sebetulnya kita tidak pernah beranjak kemana-mana ketika pada suatu masa bangsa ini pernah menghabisi ribuan manusia karena sentimen pada etnis tertentu.
ADVERTISEMENT
Obrolanku dan Andro berlanjut di parkiran ketika petugas perpustakaan mengatakan bahwa perpustakaan sudah harus tutup. Andro tak langsung pulang karena menunggu jemputan orang tuanya. Aku hampir menyarankannya untuk mengubah cita-citanya menjadi atlet bulu tangkis, tapi ia sudah kadung bercerita tentang Jumat Agung, melafalkan dengan fasih Sepuluh Firman Allah atau Dasa Tirtah (walaupun poin ke delapan ia lupa), bercerita tentang Messias, Telur Paskah, Al-Kitab.
Bagiku bertemu Andro di kota yang mayoritas dihuni muslim adalah suatu hal yang luar biasa. Jujur saja selama ini etnis Tionghoa hanya bisa aku temui di toko-toko emas sebagai konglomerat. Aku pun menduga Andro berasal dari keluarga yang sama.
Obrolan kami selesai setelah seorang wanita tua menjemput Andro dengan ontel. Orang tua itu mengenakan jaket lusuh dan rok dongker yang sudah pudar warnanya. Bayanganku mengenai Andro bahwa ia anak konglemerat sepertinya keliru. Ia sebagaimana kita tentu tak bisa memilih lahir dari siapa, beragama apa, beretnis apa dan besar di mana.
ADVERTISEMENT
Sore itu aku beruntung bertemu Andro. Anak kecil yang cerdas, cinta tanah air dan religius. Hanya dua hal yang sangat disayangkan pada pertemuan itu: pertama, sampai perpustakaan tutup, perempuan di sebelah kananku tak sedikitpun melirik ke arahku. Kedua, dalam situasi Indonesia seperti saat ini, Andro mungkin salah telah lahir dan besar di Indonesia.