Konten dari Pengguna

Di Tribun Gelora Bangkalan, Semua Tidak Lagi Sama Bagi Madura

Fahmin
Bapak dua anak
17 September 2017 14:53 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fahmin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Persib pada duel versus Madura United. (Foto: Saiful Bahri/ANTARA)
zoom-in-whitePerbesar
Persib pada duel versus Madura United. (Foto: Saiful Bahri/ANTARA)
ADVERTISEMENT
Saya mengapresiasi teman saya yang memutuskan untuk membeli tiket pada calo alih-alih harus mengantri di loket. Saya tahu ia seorang pragmatis, tapi kali ini saya kira keputusannya tepat, harga 45.000 atau 5000 lebih mahal dari harga tiket yang dijual di loket tidak berarti apapun mengingat kami harus mengantri dan berdesak-desakan lebih lama di gate 6 Gelora Bangkalan.
ADVERTISEMENT
Pertandingan kira-kira sudah berjalan 10 menit ketika saya dan teman saya lepas dari kerumunan di gerbang masuk tribun timur. Sekali lagi, saya mengapresiasi keputusan teman saya yang membeli tiket pada calo, meskipun kami agak menyesal sebab tidak berangkat lebih awal mengingat jarak tempuh dari rumah kami ke stadion Gelora Bangkalan butuh hampir 2 jam perjalanan.
Kami berangkat sekitar pukul 13.00 dari rumah. Kami menggeber motor sekencang-kencangnya sebagai upaya melawan waktu. Teman saya mengenakan kostum away Madura berwarna biru hitam. Saya sendiri mengenakan kaos merchandise dari salah satu website sepak bola dengan atribut syal Bonek adik sepupu yang saya pinjam.
Sebetulnya mengenakan atribut tim lain di Indonesia agak riskan, meskipun saya tahu antara bonek dan kelompok suporter Madura memiliki hubungan baik, tapi anarkisme bisa menimpa siapapun dan intrik bisa jadi kapanpun. Saya tidak ingin menjadi Ricko baru ketika harus meregang nyawa justru oleh teman-temannya sendiri. Jadi saya menyembunyikan syal warna hijau itu dan mulai mengalungkan ke leher ketika menjumpai beberapa orang di jalan menuju stadion mengenakan syal dengan warna yang sama.
ADVERTISEMENT
Sekitar pukul 02.45 atau 15 menit sebelum kick off kami sampai. Di seputaran stadion atribut warna hijau yang saya kenakan tenggelam di antara dominasi warna loreng merah putih sebagai warna kebesaran Madura United.
Namun, di tribun stadion Gelora Bangkalan itu, di antara riuh gemuruh nyanyian, fanatisme dan antusiasme suporter, saya sadari Madura sudah tidak lagi sama.
Ilustrasi Stadion Bangkalan (Foto: YouTube)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Stadion Bangkalan (Foto: YouTube)
Salah satu yang dikhawatirkan pada wacana konstruktsi jembatan Suramadu ialah ketidaksiapan masyarakat Madura dalam menerima segala input modernitas. Madura ketika itu seperti anak lugu yang khawatir lahan bermainnya dikuasai orang asing.
Dengan segala macam upaya negosiasi terhadap tokoh-tokoh, termasuk sowan pada kyai-kyai yang memang memiliki peran sentral dalam struktur sosial masyarakat Madura, akhirnya jembatan ini diizinkan pembangunannya pada 2003 dan mulai beroperasi sejak 2009 lalu.
ADVERTISEMENT
Perlu diketahui sebelumnya, sebelum jembatan sepanjang 5.483 km ini berdiri, segala bentuk aktivitas dan transaksi inter lokal Jawa-Madura mesti malalui selat Madura yang menghubungkan ujung Kamal Bangkalan dan Tanjung Priok Surabaya. Kira-kira butuh waktu 30 menit hingga 1 jam untuk sampai di masing-masing sisi pelabuhan.
Keberadaan jembatan Suramadu membuat segala transaksi dan arus transportasi Jawa-Madura berjalan lebih cepat. Diakui atau tidak, berdirinya Suramadu menjadi titik balik wajah baru pulau Garam. Suramadu adalah penanda bahwa Madura berusaha keluar atau dipaksa keluar dari bentuk konservatifnya.
ADVERTISEMENT
Madura tidak bisa menampik itu. Meskipun dibukanya akses Suramadu berarti akan mengorbankan beberapa hal dan mengikis wajah asli Madura. Itu menjadi kepastian yang tak dapat ditolak.
Sejak saat itu pelan-pelan industrialisme dan segala bentuk gemerlap modernisnitas mulai menggerayangi pulau yang berada di ujung timur pulau Jawa ini. Dengan dalih investasi dan pembangunan beberapa titik telah dibangun pabrik-pabrik dan tempat pariwisata.
Lalu pertanyaannya, apa yang diperoleh Madura dan masyarakatnya setelah apa yang mereka korbankan jika dampak pembangunan di Pulau Garam hanya dirasakan oleh segelintir orang saja?
Pada kenyataannya selepas 8 tahun sejak beroperasinya Suramadu kesenjangan masih ada di mana-mana. 4 kabupaten di Madura masih masuk list sebagai daerah termiskin di Jawa Timur. Sampai saat ini tak ada perubahan signifikan ke arah perbaikan yang dirasakan oleh kalangan masyarakat kelas menengah ke bawah.
ADVERTISEMENT
Barangkali satu hal yang cukup membuat bangga bagi semua kalangan masyarakat Madura di era Suramadu ini ialah menggeliatnya persepakbolaan Madura. Sampai saat ini Madura memiliki beberapa klub yang manggung di kasta tertinggi sepak bola nasional. Di kompetisi liga Indonesia musim ini, mulai dari Liga 1 hingga Liga 3, setidaknya terdapat 7 kesebelasan asal Madura. Mereka adalah Madura United (Liga 1), Persepam Madura Utama, Perssu Sumenep Real Madura dan Madura F.C. (Liga 2) serta Pamekasan F.C, Perseba Bangkalan dan Persesa Sampang (Liga 3).
Geliat sepakbola Madura dimulai setelah Persepam Pamekasan yang kemudian beralih nama menjadi Persepam Madura United (PMU) lolos ke ISL musim 2012 untuk pertama kalinya dalam sejarah persepakbolaan Madura. Lalu tiba-tiba membuat pulau ini tampak riuh dan semarak. Infrastruktur semacam stadion-stadion di Madura mulai berbenah. Meskipun dalam proses pengerjaannya agak lelet dan menemui beberapa masalah, sebuah stadion yang di kemudian hari diberi nama Stadion Ratu Pemellingan di Pemekasan pembangunannya mulai dicanangkan, Stadion Gelora Bangkalan bahkan diresmikan sejak 2012 lalu.
Ilustrasi Stadion Bangkalan (Foto: YouTube)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Stadion Bangkalan (Foto: YouTube)
Saya menilai wajar jika animo dan antusiasme masyarakat sangat luar biasa, sebab dalam sejarahnya memang tidak ada catatan apapun yang diperoleh dari sepakbola Madura kecuali cuma riak-riak kecil tentang kesebelasan Perseba Bangkalan yang pernah mencuri perhatian pada 2009 lalu yang saya ketahui di koran Radar Madura di mading sekolah. Sedari dulu, pulau ini lebih dikenal dengan karapan sapi sebagai hiburan atau olahraga rakyat.
ADVERTISEMENT
Tapi sebagaimana daerah-daerah lain di Indonesia tidak ada yang menampik kalau animo masyarakat Madura terhadap sepak bola begitu besar. Sebelum hiruk pikuk Persepam dan Madura United, saya ingat sepupu saya dan orang-orang di sekitar saya mengklaim diri sebagai pendukung Persebaya/bonek.
Tetapi, saat ini sepakbola Madura tidak sekadar menjadi penonton atau menjadi pendukung klub sepak bola kota lain namun berusaha mengambil bagian sejarah persepakbolaan Nasional.
Sepak bola seharusnya menjadi kebahagiaan dan kebanggaan bagi masyarakat Madura di tengah segala macam ironi permasalahan dalam hidup. Para elit dan manajemen klub harus menyadari ini jangan sampai ada kesan bahwa animo dan dukungan masyarakat hanya dimanfaatkan untuk kepentingan masing-masing pribadi dan golongan.
Sore itu Madura United berhasil keluar sebagai pemenang melalui sundulan Greg Nwokolo memanfaatkan sepak pojok Slamet Nurcahyo. Saya berada di antara 5.765 penonton yang hadir di Gelora Bangkalan tapi saya lebih memilih saksama memperhatikan wajah-wajah yang hadir sore itu. Mereka berteriak, memisuh, bersorak, berlompatan. Dan di sela-sela mereka, ada ibu-ibu menjajakan kacang dan minuman dengan keringat yang bercucuran. Tapi justru dari raut wajah ibu-ibu itulah, saya melihat wajah Madura yang sebenarnya.
ADVERTISEMENT