Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten dari Pengguna
Menjadi Orang Baik di Tengah Gempuran Berita Hoax
15 April 2018 0:00 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:09 WIB
Tulisan dari Fahmin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Siang itu hujan menghalangi saya untuk pulang, pria paruh baya yang sudah lama saya kenal memberi nasihat bagaimana menjadi lelaki baik dan bertanggung jawab. Saya cuma mengangguk berusaha mencerna perkataannya yang terbata-bata meskipun sesekali bulu hidungnya melambai-lambai mengganggu konsentrasi saya dalam meresapi setiap kata yang meluncur darinya.
ADVERTISEMENT
Saya menyepakati semua yang disampaikannya kecuali satu hal: saya enggan seperti dirinya yang memasrahkan seluruh gaji bulanannya pada istrinya. Tapi selain itu, saya ingin menghabiskan hidup seperti dirinya, menjadi Pegawai Negeri Sipil dengan lebih banyak menghabiskan waktu dengan ongkang-ongkang kaki di rumah, punya rumah mewah, dan hidup bahagia dengan istri yang cantik dan anak-anak yang soleh-solehah.
Ia orang yang baik jika kualifikasi menjadi orang baik tetap tak berubah: solat tak pernah bolong, membaca Quran, gemar menabung, suka menolong, bertutur lembut meskipun (dan sayangnya) orang yang sama acapkali menyebar hoax di akun facebook pribadinya.
Ia tak henti-hentinya membagikan atau memposting suatu hal yang ia dan golongannya anggap benar, dan itu sah-sah saja sepanjang tak merugikan dan menyinggung orang lain. Namun ketika tindakan serupa bertujuan memojokkan kubu lain dan tak mau menerima kebenaran dari sumber sebelah, itu seringkali membuat saya bergidik. Apakah otak manusia sudah mengalami evolusi sempurna? sehingga tidak ada kemungkinan lagi bagi otak manusia untuk bernalar lebih kritis.
ADVERTISEMENT
Beruntungnya saya mengenalnya lebih dulu di kehidupannya ketimbang lebih awal mengenalnya dari akun facebooknya. Melihat riwayat sepak terjang postingan di akun Facebooknya sepintas ingin sekali saya meng-unfriend atau sekalian memblok akunnya jika alur perkenalan kami berjalan sebaliknya.
Sampai di sini, selain solat, menolong orang, dan tidak menjadi bagian dari manusia yang mengetik kata "surut" di kolom komentar pada gambar wanita yang sedang berenang di laut, seharusnya membagikan suatu hal berguna di media sosial menjadi syarat tambahan menjadi orang baik di zaman huru hara ini.
Orang-orang seperti demikian tidak sendirian. Para pembenci memang seringkali mencari kerumunannya untuk membenarkan apa yang dilakukannya. Spesies-spesies itu menetas di facebook, sementara situasi politik sejak 2014 diam-diam mengerami kebencian dalam diri mereka. Namun betapapun panasnya dinding facebook akhir-akhir ini, saya berkali-kali bersyukur sebab tuhan melahirkan Mark Zuckernberg dengan facebooknya sehingga pertengkaran itu lebih banyak terjadi di kolom komentar alih-alih harus berjibaku di jalanan. Terimakasih Mark.
ADVERTISEMENT
Prilaku dan sikap kubu seberangpun sebetulnya tak jauh berbeda.
Mereka berkelahi dengan hoax sebagai senjata masing-masing. Di zaman ini Hoax adalah transformasi dari pisau, pedang, bedil dan kerikil pada masa perang di masa lalu.
Saya tidak tahu bagaimana mereka terus menerus memproduksi dan membudidayakan berita bohong dan menganggap berita bohong sebagai sebuah kebenaran, saya tidak tahu hal itu murni karena ketidaktahuan, (atau kebodohan?), kepolosan, atau preferensi mereka pada suatu hal sehingga memutus nalar berfikir mereka.
Jika mau adil dan menjadi orang baik seharusnya kita tidak menilai sesuatu dari satu sisi, lalu menyimpulkan, kemudian memberi label. Yang perlu kita pahami sebagai manusia di tengah kebenaran dan berita hoax yang berkelindan ialah mengedepankan klarifikasi atau tabayyun terhadap suatu isu, bukan menuruti ego yang cenderung dibutakan kepentingan-kepentingan. Jikapun memang orang lain berbeda pandangan dan ideologi, tidak lantas mengumbarnya menjadi kebencian.
ADVERTISEMENT
Atau memang kita sudah sampai di zaman di mana antara kebenaran dan berita bohong setipis buku tulis seribuan? Seperti Syahrini yang menganggap bahwa prilakunya di monumen Holokos sebagai suatu hal lumrah. Atau ketika seseorang lelaki yang membenarkan prilaku menyetrum anak-istrinya karena melihat anaknya sedang bermain ponsel saat jam belajar. Logika seseorang yang merasa benar memang identik, mereka enggan mengakui kesalahan mereka, dan membenarkan apa yang dilakukannya.
Saya teringat percakapan antara perempuan tua dengan Aomome dalam novel 1Q84 karya Haruki Murakami.
"Sebagian besar orang di dunia ini bukan percaya kepada kebenaran, melainkan rela percaya kepada sesuatu yang diharapkan sebagai kebenaran."