Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten dari Pengguna
Pembunuh Budi Cahyanto Adalah Kita
14 Februari 2018 9:43 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:11 WIB
Tulisan dari Fahmin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Senin, 12 Februari, yang terhomat bapak Muhadjir Effendy melakukan kunjungan ke Sampang dalam rangka meninjau langsung kasus penganiayaan seorang guru yang beberapa minggu terakhir menjadi perhatian nasional. Sebagai warga Sampang, kami menyesal, mengapa tidak nasi kobel yang menjadi headline dari kota ini.
ADVERTISEMENT
Ini menambah berita buruk di tengah berita buruk lainnya: hiruk pikuk menjelang pilkada Sampang dan kekhawatiran warga kota Bahari tentang banjir yang acapkali menghantui saat hujan mendera kota ini.
Berita ini menyita perhatian semua kalangan tak terkecuali ibu saya yang saya yakin masih tidak tahu atau tidak mau tahu siapa saja bakal calon Bupati Sampang mendatang. Beliau justru langsung bertanya tentang kebenaran kasus penganiayaan guru keesokan harinya setelah berita itu viral semalam sebelumnya. Wajar saja, sebab ini menjadi ironi bagi warga kota Sampang, kota yang masyarakatnya sendiri seringkali mengklaim sebagai kota santri.
Kematian guru Budi adalah episode lanjutan mengenai epos penuh ironi tentang kisah Oemar Bakrie yang dihidupkan Iwan Fals sejak 1981. Di tengah cerita usang yang tak kunjung kelar seperti; honor yang tak seberapa, pembayaran gaji yang ditunggak, ironi lain yang dihadapi para pendidik saat ini ialah adalah terkikisnya adab murid terhadap keberadaan mereka.
ADVERTISEMENT
Sejak dulu budaya menghormati guru memang sudah mengakar dalam budaya kami. Santri-santri akan menunduk jika berpapasan dengan bapak ibu guru atau ustaz sebagai bentuk rasa takzim mereka. Orang tua zaman dahulu bahkan rela jika guru menempeleng anaknya, sebab orang tua kami, persis yang diucapkan Sujiwo Tedjo, menganut prinsip mending anaknya ditempeleng guru duluan agar tak kurang ajar daripada nantinya ditempeleng masyarakat.
Meskipun saya pikir tindak kekerasan, apapun tujuannya, semestinya dihindarkan dari dunia pendidikan kita.
Hampir 20 tahun bergelut di dunia akademik baik sebagai siswa, sebagai mahasiswa Pendidikan, maupun saat menjadi guru honorer membuat saya sedikit banyak bisa membandingkan bagaimana adab siswa terhadap guru selama 2 dasawarsa ini.
ADVERTISEMENT
Saya pernah ditempeleng guru BK akibat kesalahan teman saya yang menyembunyikan busa kursi guru Matematika, dan dipecut pakai sabuk saat kami membuat atap kelas bolong karena bermain bola di dalam kelas.
Itu bukan perilaku keren dan tidak patut kamu contoh. Dan mindset orang Indonesia yang cenderung menganggap keren sesuatu yang tidak baik, memang sebaiknya segera diubah.
Tapi setidaknya, senakal-nakalnya kami, kami tidak pernah memukul, melawan atau sampai membuat guru sendiri meregang nyawa.
Dan gambaran mengenai sikap siswa pada guru yang sudah bergeser saya rasakan sendiri saat saya menjadi guru honorer beberapa waktu lalu. Tidak bermaksud menggeneralisir bahwa semua murid berprilaku bobrok. Saya percaya di Indonesia masih banyak siswa yang hormat pada guru. Tapi dari apa yang pernah saya alami, maupun dari cerita yang saya dengar dari teman-teman yang berprofesi sebagai guru serta dari video viral di lini masa akhir-akhir ini. Adab murid terhadap guru sepertinya telah tereduksi. Murid-murid tidak sungkan lagi menggosipi guru mereka, mengunci guru di ruang kelas, siswa yang menantang kelahi kepala sekolah, hingga guru yang dipukul siswa sampai berdarah-darah.
ADVERTISEMENT
Siapa yang harus disalahkan dalam kondisi ini?
Adab dan keseganan terhadap guru akhir-akhir ini umpama puncak gunung es yang menunggu kehancurannya sendiri. Dan saya pikir pemerintah, orang tua, murid, lingkungan, dan guru itu sendiri memiliki andil dalam runtuhnya puncak es tersebut.
Menyalahkan siswa sebagai pelaku tunggal bukanlah penilaian bijak, semua elemen yang berkaitan ada baiknya bersama-sama bertanggung jawab atas sejumlah kejadian yang menimpa dunia pendidikan akhir-akhir ini.
Pada peringatan hari ulang tahun Persatuan Guru Seluruh Indonesia (PGRI) yang ke-72 Desember lalu, Ketua Umum PGRI Unifah Rosyida mengeluhkan soal sistem administrasi yang kerap kali menganggu kinerja para guru. Presiden Jokowi yang pada saat itu juga hadir langsung meminta kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy menyederhanakan hal-hal yang berkaitan dengan administrasi guru.
ADVERTISEMENT
Guru yang seharusnya lebih banyak bersama peserta didik justru dirisak oleh pemberkasan yang njelimet dan melelahkan.
Imbasnya, guru abai pada hakikat tujuan pendidikan seperti yang tercantum dalam Undang Undang nomor 20 tahun 2003 tenang sistem Pendidikan Nasional, pasal 3 yakni mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Di sisi lain orang tua yang bertugas mengontrol anak ketika di luar sekolah meyakini bahwa sekolah sudah memberi anaknya bekal cukup sehingga tidak perlu mengontrol dan mengawasi lagi perilaku anaknya. Sementara lingkungan dan media sosial sebagai alternatif pelarian, memang cenderung tidak sehat.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya puncak gunung es itu runtuh ketika kabar Ahmad Budi Cahyono seorang guru kesenian di SMA Torjun, Sampang, yang dipukul muridnya dan berujung kematian sang guru.
Kronologi kejadian seperti yang dikutip oleh beberapa sumber terjadi akibat siswa yang berinisial H tak terima karena di tegur guru di tengah pelajaran. Si murid yang kesal lantas memukul hingga merusak pembuluh darah sang guru.
Karena kasus ini semua kalangan tampak satu suara mengutuk tindakan pelaku dan meminta pelaku dihukum seberat-beratnya. Kabar terbaru, pelaku akan dijerat dengan pasal 338 KUHP Subsider pasal 351 ayat 3 dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara.
Pak Budi adalah korban, pun sebetulnya pelaku adalah korban dari sistem yang kacau. Dan alangkah bijaknya jika kita menunjuk wajah kita sendiri sebagai pihak paling bertanggung jawab atas kematian guru Budi.
ADVERTISEMENT