Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Manusia Paling Berdaulat Itu Tinggal di Pinggir Rel Kereta Jakarta
30 April 2017 16:30 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
Tulisan dari Fahri Abdillah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kala itu aku ingin kembali ke kota dimana aku mengasingkan diri dari kegaduhan ibu kota, sejak empat setengah tahun lalu. Kereta adalah angkutan yang selalu aku jadikan andalan untuk mondar-mandir. Selain dia cepat, juga selalu mengingatkanku pada kehangatan interaksi antar manusia. Itu dulu waktu kereta ekonomi masih bisa buat jualan si mbok pecel dan akang-akang penjual kopi rokok tisu.
ADVERTISEMENT
“Cangcimen-cangcimen, nasi ayam-nasi ayaam,” dan ada satu pedagang yang selalu curang agar diberi jalan oleh penumpang, bunyinya begini, “awas awas air panas, air panas,” haha siapa juga yang tidak menghindar mendengar seperti itu. Tiba-tiba saja laki-laki paruh baya memecah lamunanku.
“Hei, nak Fahri,” sapanya dengan nada datar.
“E.. Eh iya, pak,” sedikit terkejut, aku tersadar. Tapi bagaimana ia tahu namaku? Apa sebelumnya kita pernah bertemu? Ah, tidak, aku tidak pernah bertemu sebelumnya. Tapi kenapa mukanya tidak asing.
“Bagaimana bapak tahu namaku? Kita kan belum pernah bertemu sebelumnya.”
“Jelas saya tahu, itu KTP-mu kan?” sambil mengarahkan dagunya ke meja yang menempel dengan dinding dibawah kaca kami duduk.
“Oh iya, itu punyaku, pantas ya bapak tahu namaku. Aku pikir bapak seorang peramal. Hehehe.”
ADVERTISEMENT
Ada sesuatu yang tiba-tiba saja dengan cepat menghampiri keningku. Sangat cepat. Toeeeng... Kepalaku terpental ke belakang.
“Aduh. Kok kepalaku di toyor sih pak? Aku kan enggak salah apa-apa,” aku protes. Bisa-bisanya baru ketemu tapi dia sudah seenaknya menoyor kepalaku. Sementara, bapak itu tetap duduk dengan tenang sambil kaki kirinya ditaruh di atas paha kanannya. Mukanya datar. Seakan perlakuannya padaku sudah hal wajar baginya.
“Biar kamu cerdas, le.” Sial, cuma menduganya peramal dia sampai menoyor kepalaku.
“Hmm, okelah. Tapi kayaknya saya kenal dengan wajah bapak. Bapak ini Ahmad Tohari kan?”
“Iya, saya Ahmad Tohari. Kenapa? Mau minta tanda tangan saya?”
“Enggak.” Aku masih sakit hati dengan perlakuannya tadi. Sejenak bibirnya tersenyum dan matanya sayu. Ia seperti menertawakan tingkahku seperti anak yang sedang ngambeg ke ayahnya. Kemudian seorang pria dengan memanggul nampan berisi kopi dan teh lewat dengan seragam berwarna biru khas pegawai kereta api.
ADVERTISEMENT
“Kopinya dua ya.” Ia mengeluarkan dompet dan memberikan sejumlah uang kepada laki-laki itu. Kemudian kedua kopi itu dipegangnya satu ditangan kiri, kemudian kopi yang ada di tangan kanannya diberikan kepadaku.
“Ini diminum. Sekalian temani saya ngobrol.” Dasar. Sudah menoyorku, sekarang dia memintaku untuk menemaninya ngobrol. Kemudian ia menyeruput kopi cupnya perlahan.
“Kamu suka naik kereta, le?”
“Suka, pak. Saya biasa bepergian bolak-balik Purwokerto ke Jakarta naik kereta.”
“Saya punya cerita untuk kamu dengarkan.”
Belum juga mendapat kata sepakat dariku, ia sudah memulai ceritanya. Memang benar-benar semaunya sendiri orang ini. Tapi, ya sudahlah, dia sudah memberikan kopi kepadaku dan tidak mungkin aku menolaknya. Dasar cerdik.
“Cerita ini tentang satu keluarga yang hidup dipinggir rel sepanjang Jatinegara menuju Pasar Senen.” Pak Ahmad Tohari sudah memulai ceritanya. Ia tetap memegang kopi cup sambil sedikit-sedikit menyeruputnya. Sedang aku tetap diam mencoba mendengarkan. Akankah membosankan, atau dia berhasil merebut perhatianku dengan ceritanya.
ADVERTISEMENT
Disuatu pagi, kereta dari arah timur mendadak berhenti saat menjelang Stasiun Pasar Senen. Pagi itu, penumpang yang sudah lelah terpaksa harus menunggu. Ada yang mulai menggerutu, terutama laki-laki yang mulutnya sudah asam karena belum menghisap tembakau berjam-jam. Ditambah lagi ibu-ibu yang mulai gelisah karena anak-anaknya mulai rewel. Kebanyakan dari mereka baru terbangun dari tidurnya semalaman di kereta. Suasana di dalam kereta pun tidak menyenangkan.
Kereta itu tepat berhenti di wilayah kehidupan orang-orang pinggir rel. Ada suatu kehidupan yang merdeka juga berdaulat. Sebagian masih terbaring dalam gubuk-gubuk kardus yang menyandar ke tembok pembatas jalur rel. Beberapa hanya nampak kakinya di bawah atap lembaran rongsok yang rendah.
Pada sebelah kanan rangkaian kereta, di balik semak yang meranggas dan berdebu, seorang laki-laki dan anak kecilnya sudah terbangun. Tepat di sebelah mereka perempuan sedang terbaring lelap, berbantal buntalan kain melingkar. Wajah perempuan itu nampak lelah nampun lelap, gincu bibir dan bedaknya terlihat masih tebal. Mungkin saja semalam perempuan itu habis berjualan berahi sampai pagi.
ADVERTISEMENT
Laki-laki itu beranjak dengan sebungkus mie instan di tangan kanannya. Ia berjalan menyeberang menuju warung kopi yang sudah mulai buka dengan penjaga perempuan yang sedang menata dagangan. Laki-laki itu dengan hati-hati mulai menyobek sudut bungkus mie instan sekedar membuat lubang dan ia menuangkan bumbu-bumbu. Laki-laki itu menyodorkan uang ribuan kepada si perempuan warung, kemudian perempuan itu menuangkan air panas kedalam bungkus mie. Mereka berdua terlihat akrab, seperti sudah biasa bekerjasama. Air panas perlahan mengalir dari termos ke lubang mie instan.
“Air panas dituang ke mie instan yang masih dalam bungkus? Dia mau memasak mie dengan cara seperti itu? Emangnya bisa, pak?” Sambil kepalaku maju kearah Ahmad Tohari aku bertanya setengah bingung. Apa enak mie dimasak dengan cara seperti itu?
ADVERTISEMENT
Toeeeng… “Kenapa aku ditoyor lagi?” Dua kali aku ditoyornya. Tapi kali ini ia tidak menjawab pertanyaanku. Tanpa memperdulikan gerutuku dia melanjutkan ceritanya. Sementara aku masih mengusap-usap dahiku.
“Saya lanjut lagi nih ceritanya,” sambil matanya melihat keluar jendela, mengamati petani sedang membajak sawah. Ia mengisyaratkan ceritanya akan berlanjut.
Sehabis urusan laki-laki itu dengan warung selesai, ia berjalan kembali sambil tangan kanannya menjepit mie instan kemudian mengocok-kocok dan menggoyang-goyangkan bungkus mie itu agar bumbu, kuah, dan mie tercampur membuat rasa. Tentunya juga biar mie di dalamnya melunak.
Laki-laki itu sudah berada di depan anak kecilnya. Rasanya laki-laki itu sadar di hadapannya ada sepasang mata bocah yang terus menatap penuh harap. Mata anak kecil itu mendadak terbelalak, mengikuti gerak ayunan tangan ayahnya yang menjimpit kantung mie instan. Roman wajah bocah itu mulai menunjukkan ketidaksabaran, mengharapkan siliran mie instan segera masuk ke mulutnya. Dia seperti sudah lama menahan lapar. Bibir bocah itu terus bergerak-gerak, kadang lidahnya agak terjulur dan liurnya menitik di sudut mulut. Anak kecil itu sudah belasan kali menelan ludah. Tetapi, laki-laki itu tidak segera mengeluarkan sulur mie dari bungkusnya, justru sambil monyong mulutnya meniup kedalam bungkus mie.
ADVERTISEMENT
“Pa!” Sambil menepuk-nepuk kedua pahanya, anak kecil itu merengek kepada ayahnya untuk segera memberikan silir-silir mie yang ada di dalam bungkus.
“Sabar nak, ini masih panas. Kamu tidak mau kan mulutmu melepuh?” Laki-laki itu mencoba memberi penjelasan ke anak kecilnya.
“Pa! Ayolaah. Perutku sudah lapar, aromanya lezat sekali, pa. Ayo, pa! Aku sangat lapar!” Masih menepuk-tepuk kedua paha sambil kepalanya menjulur kearah bungkus mie instan yang ada di tangan kanan laki-laki itu. Tiba-tiba saja anak kecil itu bangkit kemudian membalikkan badannya.
“Hus! Kamu jangan kencing disitu. Kamu bisa mengenai punggung emakmu. Minggir sedikit,” tegas si Ayah. Anak itu mengejan, mengekang kemaluannya, dan kencingnya berhenti mengucur. Bocah itu memutar badannya sembilan puluh derajat, kemudian cairan kekuningan mengucur lagi dari kemaluan yang masih mungil.
ADVERTISEMENT
“Nah, begitu, kamu tidak boleh kencing dekat punggung emakmu. Ayo, mie ini sudah agak dingin,” ucap si Ayah.
Selepas membuang air seninya, anak kecil itu kembali duduk di hadapan laki-laki tadi. Jari telunjuk dan ibu jari laki-laki itu mulai masuk ke dalam bungkus mie. Dikeluarkanlah sulur mie sambil mulutnya monyong meniup mie memastikan agar benar-benar hilang rasa panasnya. Lagi, mata anak yang bundar itu terbelalak menyaksikan sulur mie yang keluar dari bungkus.
Kini, laki-laki itu menggerakkan tangan kanan yang menjepit tiga sulur mie sambil menaik turunkan sulur mie itu. Anaknya jongkok dengan wajah agak menengadah, mulutnya terbuka, matanya setengah terpejam. Si Ayah dengan hati-hati menjatuhkan ujung sulur mi eke dalam mulut anaknya. Mulut mungil itu cepat mengatup; telunjuk dan ibu jari si ayah melepaskan jepitan; bagian ujung sulur mie lainnya terkulai ke bawah dagu si anak. Tetapi semuanya cepat melesat naik. Ada bunyi slurup ketika sulur mie terhisap oleh sedotan kuat mulut yang masih mungil tapi amat lapar. Anak laki-laki itu hampir tersedak.
ADVERTISEMENT
“Sabarlah! Enak, nak?”
“Enak sekali pa.” sambil tersenyum badan anak itu meloncat-loncat mengharap sulur mie berikutnya segera datang.
“Ya. Ayo, buka lagi mulutmu,” sambil jari telunjut dan ibu jari tangan kanannya kembali menjepit beberapa sulur mie yang tidak lagi mengepulkan uap, si Ayah memerintahkan anaknya. Seperti suapan pertama, sulur mie itu segera dan menghilang dengan bunyi slurup ke dalam mulut si bocah. Wajah anak usia lima tahunan itu mulai memperlihatkan rona kepuasan dan nikmat.
“Pa, aku seperti anak yang di TV-nya ibu warung kopi, kan?
“Seperti di TV, bagaimana?”
“Iya, Pa. Di TV juga ada anak nyedot mie kan? Anaknya cakep. Bajunya baguuus banget. Terus rumahnya itu bagus banget. Jadi sekarang aku sama seperti anak yang makan mie di TV kan pa?” roman wajah yang sejati itu muncul dari si bocah yang bertanya ke ayahnya. Sejenak si Ayah kelihatan terpana, tidak berucap sepatah kata pun. Tiba-tiba saja, sesaat kemudian tawanya meledak. Tubuhnya terguncang. Kuah mie instan sampai muncrat dari lubang kantung plastic yang sedang dipegang dengan tangan kirinya.
ADVERTISEMENT
“Kok bapa tertawa, emangnya kenapa?” Anak itu heran dengan reaksi ayahnya.
“Ah, tidak apa-apa. Tapi kamu lebih hebat dari anak yang makan mie di TV itu.”
“Aku lebih hebat pa?”
“Iya kamu lebih hebat, karena kamu sudah bisa kencing agak jauh dari punggung emakmu. Hebat kan? Ayo makan lagi, bapa akan terus suapi kamu.”
“Pa, aku ingin minum kuahnya juga, pa.”
“Kuahnya masih terlalu panas. Lagi pula kuah mie selalu buat emak. Dia suka sekali, kamu jangan serakah.”
“Tapi emak masih tidur.”
“Nanti kan bangun. Ayo buka mulut lagi,” perintah si Ayah dan anak itu tidak memberi tanggapan.
Pagi sudah terang, perempuan itu menggeliat lalu duduk bertopang tangan kiri. Sosok perempuan itu menjadi lebih jelas. Gincu dan bedak di pipinya memang tebal. Atau lebih tebal di awal malam ketika dia mulai berjualan. Dan kehidupan yang amat berdebu dan jauh dari air membuat perempuan itu sewarna dengan sekelilingnya.
ADVERTISEMENT
“Nah, emak bangun. Emak suka mengenyot-enyot kuah mie dari kantung plastik, kan?” Anak itu sudah tahu kebiasaan emaknya. Ia selalu memperhatikan Ayahnya yang seperti terhipnotis memandangi emaknya mengenyot-enyot kuah mie dari bungkusnya.
Tidak ada tanggapan. Si Ayah telah mengulurkan kantung mie dengan tangan kanan kepada istri atau apanya yang baru bangun. Perempuan itu kelihatan sangat lahap mengenyot kuah mie instan langsung dari bungkusnya. Sepasang mata bocah yang mungil dan bening itu menatap gerak mulut dan pipi emaknya yang sedang mengenyot-enyot. Bocah itu kemudian mengarahkan pandangan matanya untuk melihat ekspresi wajah sang ayah. Ternyata benar, ayahnya memperlihatkan tatapan wajah gembira saat memperhatikan gerak mulut dan pipi istri atau apanya itu mengenyot-enyot kuah mie dari bungkusnya. Wajah anak itu pun terlihat senang. Sambil memperhatikan kedua orang tua itu, ia tersenyum dan alis sekaligus matanya terangkat.
ADVERTISEMENT
“Ayah memang hebat,” teriak anak itu sambil bertepuk tangan. “Ayah benar-benar suka melihat emak sedang ngenyot kuah dari kantung plastik. Seperti anak kecil ya? Hore!” Anak kecil itu gembira.
“Pa Ahmad tunggu dulu, jangan hentikan ceritanya,” tiba-tiba saja aku kebelet buat air kecil. Setelah kembali aku pun meminta Pa Ahmad untuk melanjutkan ceritanya.
“Sampai mana tadi ya?” Tanyanya kepadaku. Tidak seberapa lama aku tinggal buang air kecil, dia sudah lupa sampai mana ceritanya sendiri. Aku benar-benar menikmati ceritanya, sampai-sampai aku harus berlari ke kamar mandi dan sesegera mungkin menyelesaikan tugasku di kamar mandi. Sepertinya aku lupa menyiramnya. Tak apalah, cerita ini sangat menarik bagiku untuk dilewatkan semenitpun.
“Sampai anak kecil itu tepuk tangan ngeliat muka bapanya yang lagi ngeliatin emaknya ngenyot-enyot kuah mie.”
ADVERTISEMENT
“Oh iya, sebentar saya minum sisa terakhir kopi ini dulu ya.” Ia sangat menikmati seruputan kopi terakhir di cup itu. Sampai-sampai membuatku tak sabar.
“Ayo pa, lama amat minum kopinya,” protesku.
“Bukannya awal tadi kamu setengah hati buat mendengarkan ceritaku? Sekarang malah minta cepat-cepat.” Sial. Pa Ahmad mengejekku yang mulai menikmati ceritanya. Baiklah. Kali ini dia menang, karena aku harus jujur benar-benar menikmati jalan ceritanya.
Si Ayah bergeming, tidak mengubah arah pandangan bahkan tidak juga mengedipkan mata. Laki-laki itu memandang penuh ke arah istri atau apanya itu yang kini duduk setengah menengadah, mulutnya tersambung sempurna dengan lubang sobekan pada sudut kantung mie instan yang ada di atas wajahnya. Sampailah pada sisa tetes-tetes terakhir kuah mie. Mulut perempuan itu berdecap-decap ketika mengecap endapan bumbu kimia yang mengental dalam tetes-tetes terakhir kuah mie. Kemudian jari kanannya menyentil-nyentil kantung mie itu, agar remah mie yang tersisa bisa jatuh ke mulutnya.
ADVERTISEMENT
Kantung mie itu sudah sempurna kosong, kemudian perempuan itu melemparnya sembarang tanpa sikap peduli. Kantung mie itu tersangkut di ranting semak yang meranggas dan berdebu. Tetiba saja anjing kuning belang putih melintas, kemudian tepat di kaki tonggak besi penyangga lampu sinyal itu ia berhenti. Anjing itu mengangkat kaki belakang yang kiri, pinggul dimiringkan, lalu kencing membasahi tonggak besi itu. Anak kecil yang sedang bersama ayah dan emaknya itu memandangi ulah anjing dan tersihir. Namun, ia mendadak tertegun oleh suara keras ayahnya.
“Jangan kencing disitu! Nanti kena buntalan pakaian emakmu. Tadi kamu hampir kencing dekat punggung, sekarang mau kencing dekat buntalan pakaian.”
Anak itu mengembalikan letak celananya. Dia memang tidak terdesak untuk segera kencing, tapi hanya tersihir oleh ulah anjing tadi.
ADVERTISEMENT
“Kencing dekat punggung emak ngga boleh. Kencing dekat buntalan pakaian juga ngga boleh. Terus bolehnya dimana, Pa?”
Laki-laki paruh baya itu tersenyum. Rawut wajahnya sungguh menampakkan wajah manusia bebas-merdeka, khas wajah warga kehidupan pinggir rel kereta api.
“Nah, dengar ini! Kamu boleh kencing dimana pun di seluruh Jakarta; di Menteng, di pinggir Jalan Thamrin, di lapangan belakang Stasiun Gambir, di sepanjang gili-gili Kebayoran Baru, juga boleh kencing di Senayan. Dengar itu?”
Mata bocah lima tahunan itu terbelalak membulat, kedua alisnya terangkat. Ia bingung, karena tidak tahu dimana tempat-tempat itu. Tiba-tiba terdengar suara lelaki batuk dari arah belakang. Serentak ketiga warga pinggir rel itu menoleh ke belakang. Mereka terpana. Disana, pintu kereta api yang sangat dekat sudah terbuka. Dan sepertinya sudah lama terbuka. Disana berdiri satu kondektur dan satu penumpang. Rasanya mereka seperti menonton pentas dari alam yang berbeda. Kemudian kedua laki-laki itu merapat ke sisi yang berlawanan bermaksud memberi jalan kepada orang ketiga yang ingin muncul. Orang ketiga adalah perempuan pramusaji.
ADVERTISEMENT
Perempuan berparas cantik itu membawa kantung plastik berwarna hitam di tangan kanannya, sudah pasti berisi sampah sisa makanan. Kantung itu dilempar ke bawah dan jatuh kiranya 4 meter di hadapan tiga warga rel itu. Sisa nasi, tulang-tulang ayam goreng, dan ada paha ayam goreng yang masih utuh, serta potongan daging ayam lainnya berserakan di pelataran batu koral. Tidak ada yang tahu maksud pramusaji itu. Apakah sisa makanan itu ditujukan bagi ketiga warga pinggir rel itu? Mahasuci Tuhan Yang Mahatahu.
Mata bocah kecil itu menyala dan membulat ketika melihat ada paha ayam goreng tergeletak di antara serakan makanan sisa. Saat itu juga, anjing yang tadi mengencingi tonggak besi lampu sinyal bergerak lebih cepat. Bocah itupun tertahan. Ditambah lagi sang ayah menekan pundak anaknya agar tidak melangkah. Terasa ada semacam ketegangan. Bocah itu bisa merasakan tangan ayahnya yang dingin dan sedikit gemetar.
ADVERTISEMENT
“Mari kita pergi,” si ayah mencoba mengajak anak dan istri atau apanya itu. “Di sini kita malah jadi tontonan.”
Kemudian tidak sampai satu menit ketiga warga rel itu berkemas. Si ayah mengambil satu kotak kardus kecil dari bawah semak berdebu yang meranggas. Si istri atau apanya menyambar buntalan pakaian, dan si anak laki-laki usia lima tahunan itu mengambil harta kesayangannya berupa bekas antenna kanopi radio. Setelah beres berkemas, ketiganya bergerak melawan arah datangnya kereta api. Setelah agak jauh di sana mereka tertawa-tawa.
“Sewaktu tadi kalian bicara apa? Anak ini mau mengencingi Jakarta?” tanya si istri atau apanya laki-laki itu. Si ayah dan si anak berpandangan, mereka tersenyum lalu tertawa sangat lepas. Benar, tiga warga pinggir rel itu menikmati hidup yang gembira dan merdeka. Ketiga warga itu adalah sebebas-bebasnya manusia Jakarta. Semerdeka-merdekanya manusia Jakarta
ADVERTISEMENT
Ahmad Tohari kemudian menempelkan bagian belakang badannya ke permukaan tempat ia duduk. Ceritanya selesai. Aku tak cepat bereaksi. Atau mungkin ia tidak sama sekali peduli dengan reaksiku. Kemudian aku menatapnya dengan penuh tanya.
“Bagaimana bapa bisa menceritakan semua itu? Semerdeka itukah mereka?” Aku berusaha meyakinkan diriku tentang semua logika yang dibangun melalui cerita Ahmad Tohari. Aku tidak yakin bahwa ketiga warga pinggir rel Jakarta itu benar-benar merdeka. Faktanya mereka hidup dengan serba kekurangan, terasingkan dan terkucilkan.
“Tidak kah kamu berpikir bahwa tidak ada orang-orang di Jakarta yang hidup bebas seperti mereka?” Masih dalam posisi bersandar dengan posisi kaki kirinya di atas paha kaki kanan, Ahmad Tohari menuntutku berpikir. “Mereka bebas melakukan apa yang mereka inginkan, bebas berbicara, berimajinasi. Tidak ada satupun yang mengendalikan kehidupan mereka, kecuali mereka sendiri. Adakah sesuatu yang mereka takuti? Saya rasa tidak.” Lanjut Ahmad Tohari menjawab kebingunganku.
ADVERTISEMENT
“Bagaimana dengan para pejabat? Pengusaha, Eksekutif muda? Mereka tidak harus berbagi makanan, punya rumah yang bagus, dan bisa beli apa saja yang mereka inginkan. Tidakkah mereka merdeka?” Aku bertanya butuh kepastian. Logikanya tak masuk dalam nalar otakku.
“Tidak!” Tanpa spasi. Ahmad Tohari terlalu cepat menjawab pertanyaanku. Badannya kemudian condong ke depan. Ibu jari dan telujuk menjulur menahan dagu, sedang tangan kiri terbuka lebar membuat lekuan siku yang ditopangkan pada paha kirinya.
“Mereka dilanda ketakutan dan tekanan. Terbatas oleh norma dan opini masyarakat. Merekapun tunduk pada sistem yang berlaku. Takut dipenjara, takut bangkrut, juga takut dipecat. Bahkan lebih dari itu. Mereka dibawah kendali.” Begitu kata Ahmad Tohari. Tubuhnya tersandar kembali.
ADVERTISEMENT
Kali ini aku mulai paham. Tidak ada respon dariku, dan Ahmad Tohari terlihat tidak juga mengharap respon. Ia sedang terpikat oleh apa yang ada di balik jendela kereta. Aku bersandar pada tempat duduk, berpikir, mencoba lebih untuk menelaah.
Napasku menghela. Sawah, hutan, dan rumah-rumah menjadi objek satu-satunya pandanganku saat ini. Ketiga penghuni gubuk pinggir rel itu masih menguasai pikiranku. Membayangkan aku adalah anak kecil usia lima tahun itu dengan keliaran imajinasi. Membayangkan bagaimana ayah anak itu mengisi perutnya. Membayangkan siapa sebenarnya perempuan yang disebut emak itu. Sedikit mengernyitkan dahi, perlakuan pramusaji itu masih menjadi pertanyaan. Aku tenggelam dalam cerita pendek Ahmar Tohari yang diberinya judul ‘Anak Ini Mau Mengencingi Jakarta?’ Dan kemudian aku tersenyum nakal. Anak itu mau mengencingi Jakarta? Sepertinya bukan cuma anak itu.
ADVERTISEMENT
Oleh: Fahri Abdillah
(Cerita ini adalah refleksi atas tulisan Ahmad Tohari yang berjudul "Anak itu mau mengencingi Jakarta?" yang diterbitkan pada kumpulan cerpen KOMPAS)
Sumber Foto: Istimewa