news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Melihat Lebih Dekat Cara Produser Bekerja dari Kacamata Salman Aristo

Fahri Hardiansyah
Mahasiswa Jurnalistik Fikom Unpad
Konten dari Pengguna
1 Mei 2021 5:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fahri Hardiansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Tangkapan layar rekaman kuliah umum prodi TVF Fikom Unpad (Fahri Hardiansyah).
zoom-in-whitePerbesar
Tangkapan layar rekaman kuliah umum prodi TVF Fikom Unpad (Fahri Hardiansyah).
ADVERTISEMENT
Kesuksesan sebuah film tidak hanya ditentukan oleh para aktor dan aktris yang berlaga di depan layar saja. Terdapat berbagai unsur di balik layar, seperti produser, sutradara, hingga penulis skenario yang kehadirannya tidak kalah penting.
ADVERTISEMENT
Dari sekian banyak nama, beberapa dari kita tentu sudah tidak asing dengan seorang pria bernama Salman Aristo. Ya, pria kelahiran Jakarta, 13 April 1976 ini adalah sosok di balik penulisan skenario film Garuda di Dadaku yang populer pada pertengahan tahun 2009 silam.
Kecintaan Salman terhadap dunia perfilman sudah muncul sejak usianya masih lima tahun. Waktu itu ayahnya sering mengajaknya pergi ke bioskop untuk menonton film. Namun sayang industri perfilman Indonesia saat itu berada dalam keadaan lesu. Hanya film-film Holywood dan film Indonesia bergenre gairah seks saja yang diputar di bioskop kala itu. Keadaan itulah yang membuat keinginannya menjadi seorang film maker harus ia kubur dalam-dalam.
Keinginan untuk menjadi seorang film maker yang waktu itu sulit terwujud, membuat Salman akhirnya memutuskan untuk memilih jalan lain. Musik menjadi pilihannya hingga ia duduk di bangku kuliah. Saat di kampus, ia mengajak teman-temannya untuk membuat sebuah band. Waktu itu pergerakan skena musik indie di Bandung sedang gencar-gencarnya.
ADVERTISEMENT
“Patungan goceng-goceng ke studio gitu, di ujung gang, nyewa studio kecil dan akhirnya ngeband,” kenang Salman.
Sampai suatu hari, ketika Salman hendak untuk latihan band, seorang kawan satu bandnya bernama Fajar, mengajaknya untuk nongkrong di Gelanggang Seni Sastra, Teater, dan Film (GSSTF), salah satu UKM di Unpad. Saat itu ia mendengar jika anak-anak GSSTF ingin membuat sebuah film. Kejadian tersebut menyadarkan Salman jika memproduksi sebuah film bukan merupakan hal yang mustahil. Sejak saat itu, ia mulai rajin untuk menulis skenario film pendek.
Salman yang kini lebih banyak menghabiskan waktunya untuk memproduseri sebuah film dan mengurus perusahaan filmnya sendiri bernama Wahana Kreator, berbagi pengalamannya ketika ia menjadi seorang produser. Menurutnya, masih banyak orang yang salah mengartikan pekerjaan yang satu ini. Masyarakat masih beranggapan bahwa seorang produser adalah orang yang mendanai pembuatan sebuah film.
ADVERTISEMENT
“Kalau diibaratkan sebuah tim bola, produser itu pelatih. Sutradara itu kapten di lapangan. Produserlah yang memiliki visi, kemudian sutradara yang mengerjakannya di lapangan,” ujar pria yang juga alumni Jurnalistik Unpad ini.
Menjadi seorang produser berarti menjadi seorang film maker. Salman mengutip perkataan seorang produser film senior, Mira Lesmana, “film yang bagus adalah milik sutradara, sedangkan film jelek adalah milik produser”. Artinya, seorang produser memiliki tanggung jawab yang besar dalam memproduksi sebuah film.
Dalam memproduksi sebuah film, menurut Salman, langkah pertama yang dilakukan oleh seorang produser adalah membuat skenario. Di sini produser tidak bekerja secara mandiri. Ia harus duduk dan berdiskusi dengan sutradara dan penulis skenario di dalam sebuah ruangan yang disebut development room. Dari development room inilah banyak bermunculan ide-ide kreatif yang nantinya dituangkan dalam sebuah film.
ADVERTISEMENT
Agar kolaborasi antara produser, sutradara, dan penulis skenario dapat berjalan secara kooperatif, seorang produser dituntut untuk mampu menciptakan sebuah development room yang sehat. Untuk mewujudkannya, hal mendasar yang harus dimiliki oleh seorang produser adalah rasa empati. Produser harus dapat memahami bagaimana karakteristik rekan kerjanya.
Setelah rasa empati itu tumbuh, langkah selanjutnya adalah seorang produser wajib memenuhi hak dari setiap orang yang bekerja sama dengannya. Salman mengingatkan, jangan sesekali seorang produser mencurangi rekan kerjanya.
Seorang produser juga harus memiliki kepekaan untuk memahami keahlian, mental, dan fisik rekan kerjanya. Terakhir, seorang produser harus mampu menempatkan dirinya pada posisi antara being kind dan being right.
Ketika suatu development room yang sehat dapat terwujud, seorang produser akan terhindar dari apa yang disebut dengan development hell. Development hell dapat terjadi saat seorang produser tidak mampu mengontrol development roomnya sendiri, sehingga menciptakan kekacauan.
ADVERTISEMENT
Development room harus dapat dijadikan tempat yang nyaman. Karena di sini akan akan menjadi tempat seseorang untuk mengeluarkan isi hati, pikiran, dan pandangannya tanpa harus menerima judgment yang membuat dia tidak nyaman dan tidak aman,” pungkas Salman.