2 Catatan Penting Jelang Presidensi Indonesia di G20

Fahrizal Lazuardi
Penulis bernama lengkap Fahrizal Lazuardi. Lahir di Majalengka, 21 Agustus 1994. Saat ini berdomisili di Surakarta. Penulis sedang menempuh Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional UGM. Penulis bisa dihubungi melalui [email protected].
Konten dari Pengguna
6 Agustus 2021 21:55 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fahrizal Lazuardi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato secara virtual pada Sesi II Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 (sumber: BPMI Setpres/Muchlis Jr.)
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato secara virtual pada Sesi II Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 (sumber: BPMI Setpres/Muchlis Jr.)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Indonesia akan mengemban mandat presidensi di G20 (Group of Twenty) pada tahun 2022 mendatang. G20 itu sendiri merupakan forum internasional yang telah terbentuk sejak 1999. Anggota G20 terdiri dari 19 negara dan Uni Eropa, serta perwakilan International Monetary Fund (IMF) dan World Bank (WB).
ADVERTISEMENT
Dari segi ekonomi, anggota G20 memiliki tingkat perekonomian yang bervariasi, mulai dari ekonomi advanced, ekonomi emerging, hingga ekonomi emerging/developing. Apabila dikalkulasikan secara keseluruhan, G20 menjadi mesin utama pertumbuhan ekonomi dunia yang menyumbang sebesar 85 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB) global, 75 persen perdagangan internasional dan rumah bagi dua pertiga populasi dunia.
Melihat pentingnya forum G20 tersebut, maka presidensi Indonesia di G20 pada tahun 2022 kelak akan menjadi momentum prestisius yang tentunya perlu dioptimalkan. Sayangnya, segudang kebijakan dan kesepakatan dari pelbagai pertemuan G20 sebelumnya dinilai belum mampu memberikan dampak konkret dan seringkali luput terhadap masyarakat akar rumput.
Hal ini terjadi karena sebagian besar kebijakan G20 tersebut terkesan sangat kental dengan orientasinya yang berhaluan kepada keamanan dan ekonomi negara saja. Padahal, isu seputar keamanan manusia juga tidak kalah penting untuk diangkat sebagai topik prioritas dalam forum tersebut.
ADVERTISEMENT
Merujuk pada laporan yang dirilis United Nations Development Programme (UNDP) pada tahun 1994 terkait pembangunan manusia, definisi keamanan manusia meliputi freedom from want dan freedom from fear. Keamanan manusia diartikulasikan sebagai suatu konsep yang mengalihkan fokus keamanan dari keamanan negara/nasional ke arah keamanan manusia. Di samping itu, UNDP mendiversifikasi tipe keamanan manusia itu sendiri ke dalam tujuh kategori, di antaranya: keamanan politik, keamanan kesehatan, keamanan lingkungan, keamanan ekonomi, keamanan personal, keamanan komunitas, dan keamanan pangan.
Berangkat dari hal tersebut, terdapat sedikitnya 2 (dua) catatan penting presidensi Indonesia di G20 terutama dalam kaitannya dengan keamanan manusia, yakni: 1) transformasi cara pandang dan kerangka kerja operasional G20 yang semula elitis, state-centric, dan tidak representatif menjadi lebih representatif, human-centric, dan tidak elitis; dan 2) mendorong transisi aspek manajerial G20 menjadi lebih normatif dan value driven.
ADVERTISEMENT
Pada catatan pertama, kendala utama G20 dalam merespons isu keamanan manusia bertumpu pada cara pandang atau kerangka kerjanya yang masih bersifat elitis, state-centric, dan tidak representatif. Artinya, isu yang mencuat dalam ranah G20 adalah seputar bagaimana mentransformasikan cara berpikir yang kolot tersebut menjadi lebih representatif, human-centric, dan tidak elitis.
Tidak dapat dipungkiri bahwa G20 masih melihat keamanan manusia sebagai status quo, yang berarti berpusat pada negara, direduksi sebagai negara, atau digeneralisasi menjadi negara. Oleh karena itu, hal yang perlu dilakukan adalah transformasi statecraft untuk mengubah status quo tersebut.
Dengan kata lain, negara bukan sumber kekuasaan kepemerintahan yang cenderung elitis dan tidak representatif, tetapi menjadi bagian dari assemblage (kumpulan) kepemerintahan. Hal ini sejalan dengan pandangan Lloyd Axworthy yang menyatakan bahwa keamanan negara memang penting, tetapi tidak cukup untuk menjamin keamanan masyarakat dunia (Axworhty, 2001). Pendapat senada diutarakan Sadako Ogata dan Johan Cels yang mengatakan bahwa keamanan negara penting tetapi tidak selalu menjamin keselamatan individu dan komunitas (Ogata & Cels, 2003).
ADVERTISEMENT
Berangkat dari pembahasan di atas, maka G20 perlu melibatkan peran serta grassroot community sehingga muncul konsep keamanan manusia dari akar yang lebih representatif, human-centric, dan tidak elitis. Dengan begitu, kebijakan dan kesepakatan yang dihasilkan dalam forum G20 tidak lagi abai terhadap masyarakat akar rumput.
Catatan selanjutnya adalah mengenai implementasi konsep keamanan manusia dalam G20 yang masih sebatas instrumen kebijakan (policy tools/instrument) saja.
Hal ini menjadikan G20 itu sendiri cenderung bersifat manajerial. Aspek manajerial ini dapat ditemukan, misalnya dalam laporan-laporan yang diterbitkan G20 baik berupa dokumen deklarasi maupun dokumen kebijakan lainnya.
Sebagai contoh teranyar, dalam dokumen Deklarasi Menteri G20 yang dipublikasikan pada 6 Agustus 2021 lalu, konsep keamanan manusia masih sangat kentara semata-mata hanya sebagai instrumen atau kerangka kebijakan saja.
ADVERTISEMENT
Manusia juga seringkali hanya dilihat sebagai angka statistik, padahal semestinya harus dipahami sebagai sebuah nilai atau values. Berkaca pada hal ini, potensi emansipasi yang dapat diangkat adalah memasukkan aspek-aspek non-manajerial, seperti values driven dan norms terkait keamanan manusia dalam G20.
Mengutip pemikiran Axworthy, untuk mewujudkan konsep keamanan manusia, semua aktor baik negara, organisasi internasional, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan korporasi perlu mengembangkan dan menetapkan norma internasional baru tentang perlindungan masyarakat, dan memasukkan dimensi manusia ke dalam kerangka kerja operasional global governance (Axworhty, 2001).
Oleh karena itu, layak untuk dinantikan apakah presidensi Indonesia pada G20 nanti berhasil memformulasikan serangkaian kebijakan konkret dan isu prioritas yang mengarah kepada keamanan manusia, atau justru perspektif keamanan negara dan kepentingan ekonomi masih menjadi fundamental yang kuat bagi G20.
ADVERTISEMENT
Referensi
Axworhty, L. (2001). Human Security and Global Governance: Putting People First. Global Governance, 20.
Annan, K. (2005). In Larger Freedom: Towards Development, Security and Human Rights for All. New York: United Nations.
Ogata, S., & Cels, J. (2003). Human Security-Protecting and Empowering the People. Global Governance, 273-282.