Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Dua Ujian Berat bagi Keketuaan Indonesia di ASEAN
Penulis bernama lengkap Fahrizal Lazuardi. Lahir di Majalengka, 21 Agustus 1994. Saat ini berdomisili di Surakarta. Penulis sedang menempuh Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional UGM. Penulis bisa dihubungi melalui [email protected].
15 Agustus 2021 10:14 WIB
·
waktu baca 2 menitTulisan dari Fahrizal Lazuardi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Indonesia akan menerima estafet keketuaan di Association of South East Asian Nations (ASEAN ) pada tahun 2023 mendatang. ASEAN itu sendiri merupakan organisasi regional yang memfasilitasi dialog dan kerja sama antar 10 negara di Asia Tenggara. Di fora internasional, ASEAN menjadi salah satu perhimpunan yang turut diperhitungkan karena memiliki sejumlah potensi baik secara ekonomi, geografis, maupun demografi.
ADVERTISEMENT
Dari kacamata ekonomi, ASEAN secara kumulatif digadang-gadang sebagai kekuatan ekonomi terbesar kelima di dunia dengan total Produk Domestik Bruto (PDB) sekitar USD3,2 triliun pada tahun 2019. Angka PDB tersebut meningkat dua kali lipat dibandingkan dengan perolehan pada satu dekade lalu (USD1,6 triliun pada tahun 2008) dan hampir lima kali lipat nilainya ketimbang pencapaian pada tahun 2000 (USD0,6 triliun).
Sedangkan secara geografis, wilayah ASEAN terletak di antara dua samudera (Samudra Hindia dan Samudra Pasifik) dan dua benua (Benua Asia dan Benua Australia) sehingga menjadikan kawasan ini sebagai jalur strategis bagi lalu-lalang sepertiga perdagangan dunia. Di samping itu, ASEAN juga memiliki komposisi demografi yang potensial di mana kawasan ini menjadi rumah bagi 655,9 juta jiwa dengan 59,6% di antaranya merupakan kelompok usia produktif (umur 15-64 tahun).
ADVERTISEMENT
Menilik daya tawar ASEAN tersebut, maka keketuaan di ASEAN pada tahun 2023 kelak menjadi kesempatan baik untuk Indonesia. Namun demikian, sepak terjang keketuaan Indonesia di ASEAN nanti nampaknya tidak akan berjalan dengan mudah. Dalam hal ini, terdapat dua isu yang disinyalir akan menjadi ujian berat bagi Indonesia saat mengemban tampuk keketuaan ASEAN.
Pertama, isu mengenai pemulihan ekonomi pasca coronavirus disease (COVID-19 ). Dilansir Badan Kesehatan Dunia (WHO), angka kasus COVID-19 di kawasan Asia Tenggara per 11 Agustus 2021 telah mencapai 39,486,375 kasus terkonfirmasi dan 599,738 kasus meninggal. Dalam merespons situasi ini, negara-negara ASEAN pada umumnya mengadopsi kebijakan pembatasan, seperti karantina, lockdown, penutupan perbatasan, hingga larangan bepergian. Kebijakan pembatasan hingga kini masih diyakini sebagai langkah terbaik dalam membendung penyebaran COVID-19.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari efektivitasnya dalam meredam penyebaran COVID-19, laporan yang disusun Sekretariat ASEAN menyebut bahwa kebijakan pembatasan juga dapat menimbulkan disrupsi terhadap aktivitas ekonomi di kawasan. Kajian serupa yang di gagas International Monetary Fund (IMF) menemukan jika semakin ketat suatu negara menerapkan lockdown, maka semakin tajam pula kontraksi PDB yang terjadi di negara tersebut.
Dalam konteks kawasan, data yang dimuat pada laman resmi IMF menunjukkan PDB negara-negara ASEAN tercatat mengalami pertumbuhan ekonomi minus sepanjang tahun 2020. Beberapa negara seperti Laos, Indonesia, Kamboja, Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina bahkan jatuh terperosok dalam jurang resesi.
Sementara pada sektor lapangan pekerjaan, kebijakan lockdown juga telah menyebabkan lebih dari 30 juta penduduk Asia Tenggara menganggur. Imbasnya, lebih dari 18 juta orang diperkirakan jatuh miskin di mana 3 juta di antaranya merupakan kelompok miskin ekstrem.
ADVERTISEMENT
Kondisi ini sekilas menunjukkan bahwa pemulihan ekonomi akan menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia jelang keketuaan di ASEAN. Sebagai ketua ASEAN, Indonesia perlu merumuskan rekomendasi kebijakan untuk mendorong ekonomi di kawasan kembali berjalan. Meskipun begitu, membuka keran ekonomi secara penuh tanpa memperhatikan kesiapan sektor kesehatan dikhawatirkan akan membawa ASEAN pada lingkaran krisis ekonomi dan kolapsnya infrastruktur kesehatan yang berkepanjangan.
Salah satu akademisi termahsyur, Profesor Amitav Acharya mengatakan bahwa vaksin adalah alat realistis dan jauh lebih efektif dalam menekan laju COVID-19 ketimbang kebijakan karantina. Maka dari itu, sukses atau tidaknya pemulihan ekonomi akan sangat bergantung pada seberapa cepat dan luas jangkauan daripada program vaksinasi di ASEAN. Inilah isu kedua yang krusial untuk di angkat Indonesia dalam menyongsong keketuaan di ASEAN.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, jumlah total vaksinasi (satu dosis dan dosis penuh) di ASEAN secara akumulasi baru mencapai 128,71 juta atau hanya sekitar 16,9% dari seluruh populasi. Di sisi lain, akselerasi vaksinasi antar negara ASEAN cenderung timpang. Singapura secara progresif telah mencakup 77 persen total populasinya, sedangkan Vietnam baru mencapai 12 persen. Myanmar bahkan tidak memiliki data pasti mengenai program vaksinasi yang telah dilakukan.
Beranjak pada realitas di atas, Indonesia perlu mendorong kerja sama ASEAN untuk percepatan dan pemerataan program vaksinasi COVID-19. Untuk itu, Indonesia sejatinya dapat memanfaatkan momentum keketuaan ASEAN dengan cara menawarkan PT Bio Farma sebagai hub regional untuk produksi vaksin. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang farmasi ini merupakan satu-satunya pemasok vaksin yang diakui WHO di kawasan ASEAN.
ADVERTISEMENT
Terakhir, Indonesia juga harus mengangkat vaksin sebagai public goods dalam rangka mencapai herd immunity (kekebalan populasi) masyarakat ASEAN. Adapun ambang batas herd immunity yang disarankan WHO setidaknya mencakup 50–67 persen dari jumlah seluruh populasi. Dengan kata lain, program vaksinasi perlu terus digenjot minimal hingga mencakup 439 juta jiwa penduduk ASEAN. Apabila syarat herd immunity tersebut berhasil dicapai pada masa keketuaan Indonesia di ASEAN tahun 2023 nanti, maka capaian ini akan menjadi jalan hijau untuk mulai membuka kembali roda perekonomian di kawasan secara penuh.