Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Makna Pidato Presiden Jokowi di Depan Majelis Umum PBB
Penulis bernama lengkap Fahrizal Lazuardi. Lahir di Majalengka, 21 Agustus 1994. Saat ini berdomisili di Surakarta. Penulis sedang menempuh Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional UGM. Penulis bisa dihubungi melalui [email protected].
5 April 2021 15:34 WIB
Tulisan dari Fahrizal Lazuardi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pidato Presiden Joko Widodo pada Sidang Majelis Umum ke-75 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang telah dilaksanakan tanggal 23 September 2020 lalu, adalah pidato perdana sejak masa kepemimpinannya pada 2014.
ADVERTISEMENT
Salah satu yang menarik perhatian dalam pidato tersebut adalah penggunaan bahasa Indonesia. Hal ini bukan semata-mata karena beliau kurang fasih berbahasa Inggris, tetapi justru merupakan suatu upaya untuk menonjolkan simbol kedaulatan sekaligus identitas bangsa.
Hal ini senada dengan Kishor Kumar Das dalam Kongres Bahasa Indonesia ke-11 yang mengatakan bahwa bahasa dengan pesan-pesan tertentu dapat dimaknai sebagai soft power (Das, 2018). Dalam hal ini, menurut Das, penggunaan sebuah bahasa dalam diplomasi dinilai sangat signifikan karena bukan sekadar instrumen komunikasi dan sarana untuk menyampaikan pesan saja, tetapi menjadi inti dari strategi diplomatik untuk mencapai kepentingan nasional.
Penggunaan bahasa Indonesia di forum internasional apalagi di panggung besar seperti PBB tidak pernah dilakukan oleh kepala negara Indonesia pada periode-periode sebelumnya, sehingga patut diapresiasi. Di samping itu, penggunaan Bahasa Indonesia juga telah diatur dalam Pasal 5 Perpres 63/2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia, yang berbunyi “Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara yang lain yang disampaikan di dalam atau di luar negeri”.
ADVERTISEMENT
Hal menarik lainnya pada pidato tersebut yakni adanya penggalan-penggalan pesan yang sebenarnya merupakan pengulangan dari pidato sebelumnya (repetisi). Misalnya seperti “perpecahan dan rivalitas”, “kerja sama”, “pendekatan win-win pada hubungan negara yang saling menguntungkan”, dan seterusnya merupakan pesan-pesan yang telah disampaikan pula dalam perhelatan akbar Annual Meeting International Monetary Fund (IMF) dan World Bank (WB) di Bali pada 2018 silam.
Meminjam pendekatan Joseph Goebbels (mantan Menteri Propaganda Nazi Jerman) mengenai prinsip propaganda, tema propaganda menurutnya perlu terus menerus diulang hingga dapat dipahami secara komprehensif (Dooh, 1950). Dengan kata lain, Presiden Jokowi dalam pidatonya tersebut berusaha membangun kembali kepercayaan negara lain untuk memperkuat kerangka multilateralisme dan mengesampingkan rivalitas yang merugikan.
Berangkat dari definisi diplomasi merupakan usaha untuk memperoleh kepentingan nasional dalam komunitas internasional (Holsti, 1987), maka dapat dilihat bahwa pidato Presiden Jokowi juga menyiratkan beberapa komitmen dan posisi kepentingan nasional Indonesia. Sebagai contoh, “kontribusi bagi perdamaian dunia sesuai amanat konstitusi”, “Indonesia sebagai bridge builder dan bagian dari solusi”, dst.
ADVERTISEMENT
Melalui posisi kepentingan nasional tersebut, Presiden Jokowi kemudian menekankan dua hal, yaitu: 1) perjuangan kemerdekaan Palestina; dan 2) membangun arsitektur Indo-Pasifik melalui ASEAN Outlook on the Indo-pacific yang menegaskan ASEAN-led mechanisms untuk menjaga stabilitas perdamaian, keamanan dan kemakmuran di kawasan.
Hal menarik terakhir yang perlu disorot dalam pidato Presiden Jokowi adalah tiga pokok pemikiran beliau terhadap PBB, yakni: 1) PBB harus berbenah, reformasi, revitalisasi, dan efisiensi, membuktikan multilateralism deliver masuk pada saat krisis, harus responsif dan efektif dalam menyelesaikan tantangan global, relevan dan kontributif sesuai tantangan zaman; 2) collective global leadership harus diperkuat; dan 3) kerja sama penanganan Covid-19 harus diperkuat dari sisi kesehatan dan dampak sosial ekonomi, memastikan semua negara mendapatkan akses terhadap vaksin yang aman dengan harga yang terjangkau, tata kelola ketahanan kesehatan dunia harus diperkuat, dan reaktivasi kegiatan ekonomi harus mulai dilakukan dengan tetap memperhatikan aspek kesehatan.
ADVERTISEMENT
Referensi
Das, K. K. (2018). Diplomasi dan Strategi Bahasa dan Sastra: Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Pergaulan Internasional. Kongres Bahasa Indonesia XI. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Dooh, L. W. (1950). Goebbels' Principles of Propaganda. The Public Opinion Quarterly Vol. 14, No. 3 (Autumn, 1950), 419-442.
Holsti, K. (1987). International Politics: A Framework for Analysis. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall .