Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Perlindungan atau Keamanan: Dilema Kepulangan WNI Eks Kombatan ISIS
Penulis bernama lengkap Fahrizal Lazuardi. Lahir di Majalengka, 21 Agustus 1994. Saat ini berdomisili di Surakarta. Penulis sedang menempuh Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional UGM. Penulis bisa dihubungi melalui [email protected].
5 April 2021 12:54 WIB
Tulisan dari Fahrizal Lazuardi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dilema Kepulangan WNI Eks Kombatan ISIS-Tindak kejahatan terorisme sejatinya merupakan isu yang telah lama berkembang. Pascaperistiwa serangan 11 September 2001 atau yang dikenal 9/11, negara-negara telah aktif membentuk unit-unit khusus anti-teror dan terlibat dalam pelbagai kerja sama penanganan terorisme baik regional maupun internasional. Namun demikian, dunia kini dihadapkan pada bentuk ancaman baru seiring dengan kemunculan the Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Eksistensi ISIS dinilai memberikan ancaman yang berbeda dan lebih berbahaya ketimbang kelompok teroris pada umumnya. Hal ini dikarenakan fondasi ancaman ISIS tidak hanya bermuara pada persoalan ideologi semata, melainkan juga bertujuan untuk menegakkan paham negara Islam di wilayahnya sehingga turut berpotensi memberikan ancaman nyata terhadap konstelasi keamanan internasional.
ADVERTISEMENT
Gencarnya gempuran pasukan koalisi yang dipimpin Amerika Serikat dan negara-negara Semenanjung Arab terhadap ISIS di Irak dan Suriah selama beberapa tahun terakhir telah berhasil mendesak dan meluluhlantakkan basis terakhir milisi ISIS di Baghouz pada bulan Maret 2019 lalu. Sayangnya, ancaman ISIS ternyata belum serta-merta menghilang. Kekalahan ISIS tersebut kini justru telah memunculkan sebuah tantangan keamanan non-tradisional baru khususnya bagi pemerintah Indonesia, yaitu meningkatnya gelombang Foreign Terrorist Fighters (FTF) dan simpatisan ISIS yang kembali ke Tanah Air. Hal ini menempatkan Pemerintah Indonesia ke dalam posisi dilematis, menimbang fakta bahwa FTF dan simpatisan ISIS masih terdaftar sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) yang memiliki hak perlindungan dari negara. Akan tetapi dalam aspek keamanan, terdapat sejumlah kekhawatiran bahwa kembalinya WNI yang terlibat ISIS tersebut justru akan memperkuat kapasitas organisasi teror lokal dan memperluas jejaring radikalisme di tengah masyarakat. Berangkat dari situasi demikian, tulisan kali ini akan fokus mengupas mengenai mengapa kepulangan WNI eks ISIS dianggap sebagai ancaman dan bagaimana kebijakan Pemerintah Indonesia dalam menyikapi persoalan tersebut.
ADVERTISEMENT
Daya Tarik ISIS bagi Warga Negara Indonesia (WNI)
Kampanye yang digaungkan ISIS dalam mendirikan kekhalifahan Islam sejak tahun 2014 telah menarik banyak orang untuk bergabung dalam kelompok radikalnya sebagai bagian dari kekuatan tempur. Secara global, data yang dirilis The Soufan Center pada tahun 2014 menunjukkan terdapat lebih dari 12.000 FTF di seluruh dunia di mana 80% di antaranya telah menyatakan bergabung dengan ISIS (Barret, 2017). Sejumlah WNI baik di dalam maupun di luar negeri pun turut bergabung sebagai FTF. Walaupun begitu, data mengenai jumlah pasti WNI yang terafiliasi dengan ISIS itu sendiri hingga saat ini masih simpang siur. Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) memperkirakan jumlah WNI yang ada di Irak dan Suriah hingga September 2017 telah mencapai 574 orang. Berdasarkan laporan ini, 97 orang di antaranya terbunuh, 66 orang berhasil dicegat otoritas bandara sebelum masuk ke wilayah Irak dan Suriah, dan 500 orang dideportasi dari Irak, Suriah, serta negara lainnya karena terindikasi telah teradikalisasi dan berpotensi terlibat dalam kegiatan violent extremism (Sumpter, 2018; IPAC, 2017; Barett, 2017). Sementara data yang dimiliki Kepolisian RI (Polri) pada Mei 2018, menyebut bahwa terdapat 500 WNI yang masih berada di Irak dan Suriah, 500 WNI yang telah kembali, dan 103 WNI lainnya tewas di dalam pertempuran (Sumpter, 2018; Hodge dan Rayda, 2018). Di sisi lain, penelitian Rahmanto pada tahun 2018 mengungkapkan bahwa terdapat 639 simpatisan ISIS yang masih terdapat di Suriah, dan 111 orang WNI tewas sebagai FTF (Rahmanto, 2019). Adapun data yang lebih detail diutarakan oleh Imron Rasyid dan para peneliti lainnya dari The Habibie Center dalam tabel di bawah ini:
Kondisi di atas lantas menyisakan pertanyaan, mengapa animo para simpatisan terhadap kelompok ISIS tersebut bisa begitu tinggi dan besar? Menurut Abdul Basit dalam artikelnya bertajuk Foreign Fighters in Iraq and Syria–Why So Many? propaganda ISIS yang menawarkan kehidupan lebih baik di bawah payung kekuasaan Khalifah dengan nuansa Islam telah menjadi semacam magnet yang menarik banyak FTF dan para simpatisan untuk bergabung ke dalam ISIS (Basit, 2014). Hal ini sesuai dengan pengakuan Aleeyah Mujahid (bukan nama sebenarnya) yang merupakan seorang lulusan Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki membeberkan bahwa keputusannya bergabung dengan NIIS pada Desember 2015 adalah untuk menggapai kehidupan yang lebih baik, terutama untuk meningkatkan kualitas agamanya (Riana, 2020). Contoh lain, seorang Direktur Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Badan Pengusahaan kawasan Batam yang berasal dari kalangan ekonomi menengah atas pun terbuai dengan ajakan ISIS karena kesamaan ideologi (BBC, 2015). Dengan kata lain, ketertarikan WNI terhadap ISIS tidak hanya karena faktor keterbelakangan ekonomi saja, tetapi juga diiming-imingi jaminan kehidupan yang lebih baik dengan narasi berkedok agama.
ADVERTISEMENT
Keberhasilan pasukan koalisi dalam memporak-porandakan basis terakhir ISIS di Baghouz tahun lalu telah meninggalkan ketidakpastian dan keputusasaan bagi para simpatisan ISIS yang telah terlanjur bergabung. Tidak sedikit simpatisan ISIS khususnya WNI yang kini terjebak dan terkatung-katung di Suriah, menuntut ingin pulang ke tanah air. Nada Fedulla misalkan, dalam wawancaranya dengan BBC News, ia mengaku sangat lelah berada di Suriah dan ingin segera kembali ke Indonesia (BBC, 'Bisakah kamu memaafkan ayah yang jadi anggota ISIS?' - BBC News Indonesia, 2020). Namun, gagasan mengenai kembalinya simpatisan ISIS ke Indonesia memicu pro-kontra di tengah masyarakat. Maka dari itu, selanjutnya akan dielaborasi lebih jauh terkait bagaimana argumen utama kedua pandangan tersebut dan apa solusi yang ditawarkannya.
ADVERTISEMENT
Dimensi Kewajiban: Perlindungan bagi WNI
Bagi kelompok yang mendukung pemulangan WNI eks ISIS, seperti Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menilai bahwa pemerintah tidak dapat melarang warganya untuk kembali. Menurutnya, setiap orang memiliki hak-hak asasi yang harus dijamin, termasuk hak atas kewarganegaraan, karenanya setiap negara wajib melindungi warganya (Susilo, 2020). Senada dengan hal ini, Direktur Imparsial Al Araf mengatakan bahwa sikap negara dianggap tidak elok apabila meninggalkan dan menelantarkan persoalan WNI di luar negeri. Lebih lanjut, ia menilai bahwa wacana pemulangan WNI eks ISIS harus ditempatkan dalam aspek konstitusi bahwa negara diatur untuk memiliki tanggung jawab terhadap warganya.
Singkatnya, aspek kemanusiaan dan kewajiban negara untuk melindungi setiap warganya merupakan pertimbangan yang tidak boleh diabaikan dalam wacana kepulangan WNI eks ISIS. Dalam konteks Indonesia, argumen utama yang dibangun dalam menjustifikasi hal tersebut beranjak dari keterikatan Pemerintah dengan UU No. 12/2006 yang menyatakan bahwa negara memiliki kewajiban untuk melindungi WNI dari status stateless (tidak berkewarnegaraan). Selain itu, pemerintah juga berkewajiban melindungi segenap Warga Negara Indonesia, baik itu di dalam maupun di luar negeri, sesuai dengan pernyataan yang tertera pada Pembukaan UUD 1945.
ADVERTISEMENT
Mempertimbangkan aspek tersebut di atas, maka langkah kebijakan yang dapat diambil oleh Pemerintah adalah mengidentifikasi dan menyeleksi mana WNI yang benar-benar terlibat ISIS dan mana yang tidak. Dalam hal ini Al Araf menawarkan opsi profiling, agar Pemerintah dapat mengambil sikap yang jelas dan nyata. Misal, bagi WNI yang terindikasi terlibat sebagai FTF dan sedang menjalani proses hukum, maka pemerintah dapat memberikan pendampingan hukum kepada WNI tersebut. Sedangkan apabila terdapat WNI yang tidak terlibat dengan FTF dan tidak memiliki kendala hukum, maka Pemerintah dapat memulangkan mereka.
Dimensi Keamanan: Potensi Ancaman terhadap Negara
Di lain pihak, tidak sedikit masyarakat merasa khawatir akan potensi ancaman yang dapat muncul dari repatriasi WNI eks ISIS. Banyak elemen masyarakat bahkan menuntut pencabutan kewarnegaraan simpatisan ISIS yang ada di Suriah (Rininta, 2019). Bahkan, salah satu kubu yang menentang keras rencana pemulangan eks kombatan ISIS datang dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) (Harbowo, 2020). Pada pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Ketua Umum PBNU, Said Aqil Siroj dengan tegas mengatakan bahwa PBNU menolak kepulangan kombatan ISIS. Nampaknya, Pemerintah Indonesia juga memiliki sejumlah kekhawatiran yang sama mengenai kembalinya FTF yang telah memiliki pengalaman perang dan kemampuan taktis.
ADVERTISEMENT
Terdapat setidaknya dua alasan kuat mengapa Pemerintah cenderung berhati-hati dan melihat WNI eks ISIS sebagai potensi ancaman terhadap keamanan. Pertama, repatriasi FTF dengan pengalaman tempur dikhawatirkan menjadi potensi ancaman baru terhadap keamanan karena mereka dapat memasukkan unsur profesionalisme di dalam perencanaan aksi teror di level domestik. Alhasil, selain serangan teror yang terencana dengan baik, eks kombatan ISIS juga dapat menimbulkan tingkat mortalitas dan dampak kerusakan yang tinggi. Hal ini senada dengan yang diutarakan oleh Direktur Aliansi Indonesia Damai (Aida), Hasibullah Satrawi yang mewanti-wanti bahwa eks kombatan ISIS terpapar radikalisme parah, terlatih, dan memiliki daya tempur tinggi (Yoshihara, Susilo, Werdiono, & Putra, 2020). Kedua, kepulangan WNI yang terafiliasi dengan kelompok ISIS ditakutkan akan menyebarkan paham-paham radikalnya kepada khalayak masyarakat dan berkumpul membentuk gerakan jaringan yang baru. Tidak dapat dipungkiri juga bahwa WNI eks ISIS tersebut nantinya malah menjalin komunikasi dengan kelompok terorisme di dalam negeri seperti Jamaah Ansharut Daulah (JAD), Jamaah Ansharut Khilafah (JAK), Jamaah Islamiyah (JI), Mujahidin Indonesia Timur (MIT), dan lainnya.
Respons Pemerintah Indonesia
ADVERTISEMENT
Terlepas dari pro-kontra di atas, berdasarkan keputusan rapat tertutup yang dipimpin Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, pemerintah pada akhirnya memutuskan untuk tidak memulangkan teroris lintas batas dari Indonesia (Susilo & Purnamasari, 2020). Keputusan ini diambil sebagai upaya antisipasi terhadap potensi ancaman terorisme baru di Indonesia dan kemungkinan meluasnya propaganda radikalisme kepada masyarakat. Artinya, keamanan seluruh rakyat Indonesia dalam hal ini menjadi poin yang dikedepankan Pemerintah.
Wacana menerima kembali WNI Eks ISIS melalui Deradikalisasi?
Pelbagai kajian sebelumnya menekankan bahwa program deradikalisasi merupakan langkah penting dalam menghentikan aksi para pelaku teroris. Namun, tidak sedikit pula kalangan yang kurang mempercayai efektivitas program deradikalisasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia saat ini. Seperti yang disampaikan Nainggolan dalam penelitiannya berjudul Mengapa Indonesia Sangat Rawan dari ISIS/IS?, yang menilai bahwa aksi deradikalisasi telah gagal dan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) justru menjadi tempat penyebaran propaganda ISIS/IS dan perekrutan pengikut baru (Nainggolan, 2016).
ADVERTISEMENT
Walaupun begitu, penulis berargumen bahwa wacana pemulangan eks kombatan ISIS seyogyanya masih perlu dikaji kembali secara lebih mendalam untuk dilihat kemungkinannya melalui program deradikalisasi yang ketat. Mengingat bahwa upaya pemulangan eks kombatan ISIS sendiri sebenarnya sudah pernah dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada tahun 2016 dan 2017. Saat itu, sedikitnya 50 orang berhasil kembali ke Indonesia dan menjalani program deradikalisasi, bahkan kini telah berbaur dengan masyarakat (Djamil, 2020). Berkaca dari hal ini, maka program deradikalisasi pun ternyata bisa berhasil.
Tanpa proses deradikalisasi yang baik, WNI yang terindikasi dan terbukti terlibat tindak violent extremism akan berkumpul kembali (regrouping) dan menyebarkan narasi radikalnya kepada masyarakat luas. Sebagai contoh, serangkaian aksi teror yang menarget dua gereja di Surabaya, serta pemukiman warga dan kantor polisi di Sidoarjo. Meskipun sebagian besar pelaku serangan teror di tahun 2018 adalah homegrown terrorist yang teradikalisasi secara mandiri (self-radicalization), diketahui bahwa kelompok-kelompok tersebut secara aktif menjalin komunikasi dari organisasi ISIS di Suriah. Salah satu pelaku bom bunuh diri diidentifikasi sebagai keluarga yang gagal berangkat ke Suriah karena tertangkap dan dideportasi oleh pemerintah negara lain.
ADVERTISEMENT
Referensi
Barret, R. (2017). Beyond the Caliphate: Foreign Fighters and the Threat of Returnees. The Soufan Center.
Basit, A. (2014). Foreign Fighters in Iraq and Syria - Why So Many? Counter Terrorist Trends and Analyses, Vol. 6, No. 9, 4-8.
BBC. (2015, November 6). BNPT: Warga Batam yang bergabung ISIS dilatari 'faktor ideologi'. Retrieved from BBC News Indonesia: https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/11/151106_indonesia_isis_batam
BBC. (2020, Februari 6). 'Bisakah kamu memaafkan ayah yang jadi anggota ISIS?' - BBC News Indonesia. Retrieved from BBC News Indonesia, Youtube: https://www.youtube.com/watch?v=GbjMdAFZhJk
Djamil, N. (2020, Februari 6). Eks ISIS, Perlukah Dipulangkan? - SATU MEJA THE FORUM. Retrieved from Kompas TV, Youtube: https://www.youtube.com/watch?v=VPE6R2KgWGM
Harbowo, N. (2020, Februati 11). Pemerintah Baru Akan Mendata WNI Eks NIIS. Retrieved from Kompas.id: https://kompas.id/baca/internasional/2020/02/11/pemerintah-baru-akan-mendata-wni-eks-niis/
ADVERTISEMENT
IPAC. (2014). Countering Violent Extremism in Indonesia: Need for a Rethink. IPAC Report No. 11.
Kompas. (2020, Februari 14). Jokowi Menegaskan Tak Ada Pemulangan Eks NIIS. Retrieved from Kompas.id: https://kompas.id/baca/video/2020/02/14/jokowi-menegaskan-tak-ada-pemulangan-eks-isis/
Nainggolan, P. P. (2016). Mengapa Indonesia Sangat Rawan dari ISIS/IS? Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI, 145-173.
Rahmanto, D. (2019). Indonesian Foreign Terrorist Fighters: History, Progress, and Challenges. paparan pada Seminar "Nasib WNI Simpatisan ISIS di Suriah dan Irak". Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global, Universitas Indonesia.
Rasyid, I., et. al. (2019). Kajian Kontra Terorisme dan Kebijakan: Tantangan dan Solusi Pemulangan Simpatisan ISIS. Jakarta: The Habibie Center.
Riana, F. (2020, Februari 8). Dijanjikan ISIS Hidup Baik, WNI Eks ISIS: Aslinya Bohong Beut. (S. Persada, Ed.) Retrieved Desember 13, 2020, from Tempo.co: https://nasional.tempo.co/read/1304993/dijanjikan-isis-hidup-baik-wni-eks-isis-aslinya-bohong-beut/full&view=ok
ADVERTISEMENT
Rininta, C. (2019, Juli 16). Should Indonesia Accept Islamic States Returnees? . Retrieved from East Asia Forum: https://www.eastasiaforum.org/2019/07/16/should-indonesia-accept-islamic-state-returnees/
Sumpter, C. (2018). Returning Indonesia's Extremists: Unclear Intentions and Unclear Response. The Hague: International Centre for Counterterrorism (report).
Susilo, N. (2020, Februari 13). Pemerintah Kirim Tim untuk Mendata Teroris asal Indonesia. Retrieved from Kompas.id: https://kompas.id/baca/polhuk/2020/02/13/pemerintah-kirim-tim-untuk-mendata-teroris-asal-indonesia/
Susilo, N., & Purnamasari, D. D. (2020, Februari 11). Pemerintah Putuskan Tak Pulangkan Teroris Lintas Batas. Retrieved from Kompas.id: https://kompas.id/baca/internasional/2020/02/11/pemerintah-putuskan-tak-pulangkan-teroris-lintas-batas/
Yoshihara, A., Susilo, N., Werdiono, D., & Putra, I. G. (2020, Februari 6). Jokowi Keberatan Pulangkan WNI eks ISIS. Retrieved from Kompas.id: https://kompas.id/baca/polhuk/2020/02/06/jokowi-keberatan-pulangkan-wni-eks-isis/