Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kakistokrasi dan Rasa Pelawak di Indonesia
4 Mei 2018 2:58 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:09 WIB
Tulisan dari Fahrul Roji Misbahuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saya teringat akan tulisan yang dimuat dalam kolom opini harian Kompas tanggal 21 April 2018 lalu oleh Subhan SD yang berjudul Kakistokrasi. Istilah ini mulai mencuat ketika seorang mantan petinggi Centeral Intelligence Agency (CIA), John Brennan, menulis sebuat cuitan di akun twitter pribadinya “Karistokrasi anda akan runtuh setelah perjalanan yang meyedihkan. Sebagai bangsa besar, kita punya kesempatan bangun dari mimpi buruk yang lebih kuat dan lebih berkomitmen untuk memastikan kehidupan yang lebih baik bagi semua orang Amerika, termasuk mereka yang anda tipu”. Cuitan tersebut menuju kepada Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Bernnan menggangap Trump memimpin negara penuh dengan kekacauan, memimpin negara selayaknya perusahaan, memecat tanpa pertimbangan, berbicara kasar layaknya bukan seorang politikus ulung di akun media sosial pribadinya. Istilah Kakistokrasi ini sepertinya cukup asing di telinga kita. Istilah Kakistokrasi merujuk pada pemerintahan yang kacau, amburadul atau bobrok.
ADVERTISEMENT
Lantas bagaimana dengan Indonesia? Jika kita lihat beberapa media massa, kita melihat para politisi kita saling menghujat di media sosial, forum-forum tidak resmi, berita hoaks dijadikan berita. Alangkah menakutkannya kita melihat kejadian itu. Sempat pula kita terperangah melihat jawaban-jawaban tidak substansial para Menteri Kabinet di Pemerintahan Joko Widodo. Kita ingat ucapan Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman merespon pertanyaan tentang mahalnya harga daging sapi di pasaran dengan ucapan “Ganti saja dengan keong sawah”, ucapan Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Puan Maharani, yang berkelakar “menyarankan diet bagi orang miskin” saat ditanya mengenai meroketnya harga beras, belum lagi pernyataan Enggartiasto Lukita yang menyarankan “tanam saja sendiri pohon cabai” saat ditanya mengenai harga cabai yang naik di pasaran. Bahkan lebih lucu lagi, ketika seorang Presiden Joko Widodo dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) di Hotel Grand Sahid Jaya, 30 April 2018, menyarankan untuk mengumpulkan racun kalajengking yang menurut beliau harganya sangat fantastis. Pernyataan dari presiden itu keluar saat merespon tingginya angka pengangguran dan melesunya ekonomi di Indonesia. Sekilas, pernyataan-pernyataan tersebut sungguhlah dangkal, tidak solutif, tidak menjelaskan secara struktural ekonomi makro, bisa dibilang ucapan tersebut lebih pantas di diucap oleh seorang pelawak.
ADVERTISEMENT
Dalam memutuskan sebuah kebijakan, pemerintah banyak menarik kembali aturan tersebut, bahkan baru-baru ini, pemerintah menarik kembali keputusan libur cuti lebaran tahun ini. Jelas tidak komitmennya Pemerintah ini menjadi ketidakpastian dan kerugian di masyarakat. Beberapa masyarakat pun harus menjadwal ulang pembelian tiket mudik. Jika hal tersebut saja pemerintah kocar-kacir, masih pantaskah disebut profesional atau hanya amatiran belaka. Bisakah pemerintah saat ini disebut Kakistokrasi seperti yang disebut Bernnan terhadap Trump. Mungkin sudah saat pemerintah lebih berhati-hati meyimpulakan saran, mengedepankan nalar yang logis untuk bertindak.