Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Terpaksanya Menulis Sang Profesor
4 Mei 2018 3:09 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:09 WIB
Tulisan dari Fahrul Roji Misbahuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang jatuh setiap tanggal 2 Mei memang sudah terlewat beberapa hari lalu namun isu-isu pendidikan di negeri ini tetap diperbincangkan. Bukan sekedar anggaran pendidikan yang cukup besar, yakni 20% dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), atau kualitas pendidikan daerah yang masih tertiinggal atau kekerasan di dunia pendidikan. Cenderung dalam tulisan ini lebih memfokuskan pada pendidikan tinggi, salah satunya profesor atau guru besar.
ADVERTISEMENT
Profesor di mata orang awam atau mungkin anak-anak kecil yang sering menyaksikan cerita kartun atau animasi, sering menggambarkan seorang profesor adalah orang yang mampu menciptakan barang-barang ajaib, teknologi-teknologi muktahir, seperti roket, pesawat ulang-alik, atau sosok yang super jenius, tidaklah salah, toh banyak yang para Profesor yang menciptakan karya-karya muktahir. Perlu diingat bahwa gelar “profesor” bukanlah gelar tertinggi akademik, melainkkan gelar jabatan tinggi pada institusi pendidikan tinggi.
Lebih dari setahun lalu, Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi sempat mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 20 Tahun 2017, yang salah satu kebijakannya adalalah dalam kurun tiga tahun (2015-2017) seorang harus menghasilkan tiga karya tulis ilmiah di jurnal internasional atau satu karya ilmiah di jurnal bereputasi (Kompas, 6/2/2017), dan jika tidak maka, tunjangan tidak diberikan. Salah satu jurnal ilmiah bereputasi yang terkenal adalah Scopus. Namun apakah hal tersebut sangat memaksakan? Apa urgensinya? Mengutip ucapan dari Dedy Mulyana di kolom opini harian Kompas pada 21 Februari 2017 yang berjudul Hantu Scopus, ini dilatar belakangi oleh pemerintah dan penguruan tinggi yang ingin menjadi world class university.
ADVERTISEMENT
Jelas tidaklah mudah menulis di jurnal bereputasi, belum lagi, banyak diantara para guru besar menjabat struktural di perguruan tinggi tersebut, beban mengajar, hingga membuat laporan hingga waktu untuk menulis kurang tersedia. Bahkan di beberapa universitas, banyak guru besar dilibatkan dalam kegiatan pengabdian kepada masyarakat. Serta biaya untuk mendaftar ke Jurnal Scopus bukanlah biaya yang murah. Terlintas kebijakan ini sangat memaksakan, dan terlebih lagi hasrat menulis para akademisi sudah mulai pudar. Banyak para akademisi yang telah mendapat jabatan profesor tidak lagi aktif menulis, atau mengetahui isu-isu terkini. Intinya, sudah saatnya kembali para akademisi terus menulis, karena memanng output dari akademisi adalah sebuah kkarya tulis. Mungkin jika hasrat menulis para akademisi terus diasah, pemerintah tidak perlu khawatir akan world class university, atau harus perlu menulis di jurnal scopus.
ADVERTISEMENT