Jaminan Fidusia Dalam Civil Law: Suatu Kontradiksi?

Fahrurozi
Wristwatch, football, and law enthusiast. Proud part of @thewatch.spot and @govlawsociety. Opinions are my own.
Konten dari Pengguna
5 Agustus 2020 5:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fahrurozi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Beberapa waktu lalu, media massa diramaikan dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi terkait eksekusi jaminan fidusia. Dalam Putusan No. 18/PUU-XVII/2019 tersebut, salah satu poin yang menjadi sorotan diantaranya perihal kekuatan eksekutorial dari Sertifikat Jaminan Fidusia. Dimana apabila: “tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”.
ADVERTISEMENT
Putusan tersebut menjadi perbincangan pelaku ekonomi. Khususnya di kalangan perusahan-perusahan leasing yang menerka bahwa hal ini menyulitkan pelaksanaan eksekusi barang yang dijaminkan. Dikarenakan eksekusinya harus mendapatkan penetapan Pengadilan terlebih dahulu.
Terlepas dari adanya Putusan tersebut, awal penerapan fidusia sendiri kedalam sistem hukum Indonesia memang tidak lepas dari pro dan kontra. Salah satunya dari perspektif sistem hukum Indonesia yang mengadopsi Eropa Kontinental (Civil Law) peninggalan Belanda. Pada tahun 1999, Indonesia mengadopsi Fidusia dari Belanda melalui UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia. Padahal sejak tahun 1992, Belanda telah melarang praktek fidusia. Menurut legislator Belanda, fidusia bertentangan dengan sistem hukum kebendaan Belanda yang juga Civil Law.
Kepemilikan Tunggal Kebendaan dalam Civil Law Belanda
ADVERTISEMENT
Fidusia pertama kali diperkenalkan di Belanda pada kasus Hoge Raad 14 Juni 1929 dan kasus Bierbrouwerij Arrest pada tahun 1929. Pada kasus tersebut, terdapat klausul penjualan kondisional yang menjadi inti suatu transaksi. Selanjutnya, diketahui bahwa penjualan kondisional tersebut ditujukan sebagai bentuk penjaminan (Hadimba R.H., 2016). Penjaminan ini kemudian diakui sebagai alternatif gadai dimana tidak perlu pengalihan benda secara fisik.
Dalam sistem hukum Civil Law Belanda, hak kebendaan memberikan kewenangan penuh pemilik benda atas benda yang dimilikinya. Sehingga pemilik benda memiliki hak ekonomis atas benda tersebut. Artinya, kepemilikan atas suatu benda dalam Civil Law bersifat tunggal dan absolut. Atau dikenal dengan istilah kepemilikan tunggal atas benda (unitary ownership).
ADVERTISEMENT
Sebagai bagian dari rezim Civil Law, Kitab Undang-undang Hukum Perdata Belanda yang disahkan pada tahun 1992 (Nieuw BW) menilai bahwa semua hak dan kekuasaan yang terkait dengan kepemilikan benda harus diawali oleh pengalihan secara utuh dalam 1 (satu) saat tertentu. Prinsip kepemilikan dalam Nieuw BW lebih ketat dibandingkan dengan BW Belanda tahun 1838. Dimana Nieuw BW menghapuskan kepemilikan bersama dan menggantinya dengan kepemilikan tunggal (unitary ownership). Sebagai catatan, BW Belanda tahun 1838 merupakan ruh dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia yang ditetapkan pada tahun 1847 dan masih berlaku hingga kini (Dedi Soemardi, 1992).
Gadai Diam-Diam
Nieuw BW yang disahkan pada tahun 1992 mengatur hal baru yang melarang pengalihan kepemilikan untuk tujuan penjaminan, atau lebih dikenal dengan larangan fidusia (fiducia ban). Singkatnya, Nieuw BW melarang hak kepemilikan sebagai perangkat jaminan (Hadimba R.H., 2016).
ADVERTISEMENT
Meskipun dalam prakteknya fidusia telah dilarang di Belanda, dalam perkembangan dunia bisnis masih diperlukan instrumen penjaminan benda bergerak selain gadai biasa. Dimana benda yang dijaminkan tetap bisa dipergunakan oleh debitur. Sedangkan gadai biasa, benda yang dijaminkan berada oleh pihak kreditur.
Para ahli hukum Belanda kemudian memikirkan metode baru yang tetap mengakomodir kepemilikan tunggal atas benda, namun disaat bersamaan tidak mempersulit masyarakat dalam hal penjaminan benda. Dalam Nieuw BW diperkenalkan pengembangan konsep gadai (pledge) biasa yaitu gadai diam-diam (silent pledge).
Silent pledge maksudnya adalah gadai yang tidak menguasai benda (non-possessory pledge). Silent pledge inilah yang menggantikan praktek fidusia di Belanda. Dalam silent pledge, aset yang dijaminkan tetap berada pada pemberi gadai (debitur) dan ia tetap dapat mengendalikan benda yang dijaminkan dan diperkenankan untuk menggunakan benda tersebut sebagaimana mestinya (Hadimba R.H., 2016).
ADVERTISEMENT
Konsep silent pledge juga diperkenalkan kedalam sistem hukum Italia (pegno non possessorio) yang juga menganut Civil Law (Giuliano Castellano, 2016). Artinya, keberadaan jaminan gadai yang asetnya tetap berada pada debitur memang sangat diperlukan dalam dunia usaha.
Melihat Manfaat
Dalam dunia usaha, khususnya bagi para pelaku usaha yang mengalami kesulitan finansial seperi usaha mikro, kecil, dan menengah, penguasaan benda tetap pada debitur ini tentunya memiliki keuntungan. Manfaat ekonomis dari benda tersebut (misalnya kendaraan bermotor) tetap dapat dimanfaatkan untuk menjalankan usahanya.
Ketika Belanda menghapuskan praktek fidusia (fiducia ban) dengan alasan kepemilikan tunggal dalam sistem hukum Civil Law, dan menggantinya dengan silent pledge yang notabene mirip dengan praktek fidusia, maka kita perlu mempertanyakan kembali bagaimana regulasi fidusia atau jaminan kebendaan lainnya. Apakah jaminan fidusia tetap perlu dipertahankan, atau perlu direvisi mengikuti pola Belanda?
ADVERTISEMENT
Diskursus ini akan menjadi penting dalam penyusunan instrumen regulasi jaminan fidusia yang baru. Terlebih dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengubah praktek eksekusi fidusia yang ada sebelum Putusan tersebut. Di satu sisi, praktek jaminan fidusia online yang berlaku di Indonesia memiliki manfaat yang besar di dunia usaha. Di sisi lain, praktek fidusia ini bertentangan dengan konsep unitary ownership sistem hukum Civil Law. Setidaknya yang diadopsi oleh Belanda.
Saat ini sudah sangat banyak benda yang dijaminkan secara fidusia dan fidusia sudah dipercaya oleh masyarakat. Apabila kita hendak merubah atau bahkan menghapus jaminan fidusia dalam tata hukum Indonesia, maka hal ini akan berpotensi menimbulkan permasalahan hukum ke depan. Akan tetapi, secara umum memang sudah sepatutnya Indonesia mencoba untuk melakukan reform jaminan kebendaan. Entah dengan benar-benar saklek menerapkan unitary ownership ala Belanda, atau berani mengadopsi best practices di negara-negara dengan sistem hukum lain misalnya Common Law. Yang terpenting, materi muatan yang diatur nantinya harus tetap memiliki manfaat seluas-luasnya bagi masyarakat Indonesia, agar mencapai kesejahteraan perekonomian nasional.
ADVERTISEMENT