Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten dari Pengguna
Mendorong Penggunaan Masker Dengan Membentuk Peer Pressure
22 Desember 2020 18:57 WIB
Tulisan dari Fahrurozi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Juru bicara Satuan Tugas Covid-19, Wiku Adisasmito, mengakui bahwa komunikasi yang dibangun kepada masyarakat mengenai Covid-19 masih belum efektif.
ADVERTISEMENT
Pernyataan ini disampaikan beliau beberapa waktu lalu karena masih banyak masyarakat yang tidak mempercayai bahaya Covid-19.
Mereka menganggap, Covid-19 tidak berbahaya, palsu, senjata negara maju, hingga bisnis milyuner tertentu. Pemberitaan di media massa dinilai melebih-lebihkan.
Anggapan bahwa virus yang muncul di tahun 2019 itu tidak berbahaya, didorong dengan banyaknya disinformasi dengan berbagai teori konspirasi.
Teori konspirasi memang cenderung lebih mudah dipercayai masyarakat dalam situasi krisis dan ketidakpastian. Dan ini merupakan tantangan yang sangat berat. Apalagi di era kebebasan teknologi dalam berkomunikasi.
Sepanjang ada unsur logis dalam narasi konspirasi, walaupun jauh berbeda dengan faktanya, maka masyarakat akan mudah percaya. Istilah populernya: cocoklogi.
Sehingga masih banyak yang enggan menggunakan masker dan menjaga jarak dengan alasan yang tidak rasional.
ADVERTISEMENT
Masker: Vaksin yang Efektif
Virus ini menyebar begitu cepat, sama cepatnya dengan persebaran informasi yang menyesatkan.
Padahal, kita tidak punya waktu banyak. Meskipun vaksin sudah ditemukan, virus ini masih berada di sekitar kita. Sepanjang populasi yang divaksinasi masih sedikit, masih banyak jiwa yang rentan dan terancam.
Di Indonesia dan beberapa negara lain, bahkan negara maju, menggunakan masker saja masih diperdebatkan, dipermasalahkan.
Padahal banyak pakar kesehatan yang berargumen, masker adalah "vaksin" yang sangat efektif sampai sejauh ini.
Mau tidak mau, sampai Covid-19 bisa benar-benar hilang dari muka bumi, atau kita sudah memiliki kekebalan dan berdamai dengan virus tersebut, maka menggunakan masker adalah keharusan.
Peraturan dan sanksi saja tidak cukup. Aparat juga tidak akan mampu menindak, jika yang melanggar aturan jumlahnya mencapai jutaan orang.
ADVERTISEMENT
Membentuk Peer Pressure
Ada salah satu cara yang dapat digunakan oleh pemerintah Indonesia terkait mendorong warganya untuk menggunakan masker.
Caranya adalah dengan memastikan bahwa tokoh-tokoh penting yang berpengaruh, menggunakan masker.
Tokoh-tokoh penting ini meliputi politisi, ahli agama, pejabat, pimpinan adat, atlet, bahkan influencers dengan ribuan followers.
Unggahan "staycation" di sosial media dengan berkerumun, tanpa masker, dapat dianggap sebagai preseden yang mengesankan bahwa tidak ada yang perlu ditakuti terkait Covid-19. Dan akhirnya ditiru oleh para pengikutnya.
Pemerintah harus memastikan orang-orang penting ini menggunakan masker.
Bahkan orang yang berseberangan dengan pemerintah, harus dirangkul demi mengatasi pandemi ini. Caranya? Dengan duduk bersama, berdiskusi, dan edukasi.
Kalau memang tokoh-tokoh ini sulit mengerti, pemerintah memiliki budget untuk membayar mereka agar satu suara. Setidaknya dalam masalah nyawa.
ADVERTISEMENT
Ciptakan peer pressure sehingga orang yang tidak memakai masker merasa malu, bersalah, dan terlihat aneh. Sehingga pada akhirnya mereka akan memakai masker meskipun bukan karena sebatas alasan kesehatan. Tapi karena tekanan sosial.
Bayangkan jika 9 dari 10 orang di satu ruangan menggunakan masker. Maka 1 orang yang tidak memakai masker akan merasa terdorong untuk memakai masker.
Meskipun tidak selalu berjalan 100%, tapi teori ini telah diuji oleh Albert Bandura dalam Social Cognitive Theory.
Singkatnya, Bandura menemukan bahwa manusia dalam bertindak seringkali dipengaruhi oleh tindakan orang lain. Apalagi orang yang dihormati.
WHO juga menyadari pentingnya pendekatan peer pressure ini untuk meyakinkan masyarakat dunia agar berkenan menggunakan vaksin.
Karena selain masker, banyak juga teori konspirasi akan bahaya vaksin.
ADVERTISEMENT
Mengakhiri Pandemi
Kesampingkan perbedaan kepercayaan, ideologi, dan kepentingan. Menyelamatkan nyawa bukan soal kontestasi, tapi demi menyelamatkan diri.
Virus ini tidak memandang status sosial, siapapun bisa menjadi korban.
Tidak peduli apa ideologi politik kita, agama kita, afiliasi kita. Virus ini dapat menghajar siapapun, tanpa ampun.
Maka dari itu, jadikan virus ini sebagai common enemy.
Dengan menjadikan Covid-19 sebagai musuh bersama, setidaknya masyarakat Indonesia yang heterogen sedang memiliki persepsi yang kurang lebih sama. Beda kendaraan tapi satu tujuan.
Buatlah keadaan dimana orang-orang yang acuh akan Covid-19 merasa terpinggirkan, jika tidak mematuhi protokol kesehatan.
Karena Covid-19 tidak dapat dilawan seorang diri. Tidak ada jalan lain selain bertarung bersama-sama menghadapi pandemi ini.
ADVERTISEMENT