Menilik Perbedaan Kebijakan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah

Fahrurozi
Wristwatch, football, and law enthusiast. Proud part of @thewatch.spot and @govlawsociety. Opinions are my own.
Konten dari Pengguna
9 Januari 2021 11:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fahrurozi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sejak adanya pandemi Covid-19, kerap terdengar adanya selisih kebijakan dan pendapat antara pemerintah pusat dan daerah. Selisih pendapat ini meliputi berbagai hal. Mulai dari masalah penerapan pembatasan sosial, penegakan protokol kesehatan, dan berbagai hal lainnya.
ADVERTISEMENT
Puncaknya adalah ketika Menteri Dalam Negeri menerbitkan Instruksi No. 6 Tahun 2020 Tentang Penegakan Protokol Kesehatan Untuk Pengendalian Penyebaran Covid-19.
Instruksi ini pada intinya menekankan bahwa kepala daerah yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan dapat diberhentikan. Termasuk melanggar regulasi terkait Covid-19.
Memang, Kepala Daerah dapat diberhentikan dari jabatannya, sepanjang memenuhi unsur dalam Pasal 78 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Namun demikian, proses pemberhentian Kepala Daerah membutuhkan proses yang panjang sebagaimana diatur dalam Pasal 78 s.d. Pasal 83 UU Pemda.
Proses pemberhentian dapat melalui usulan DPRD melibatkan Mahkamah Agung (MA). Apabila Kepala Daerah yang bersangkutan terbukti melakukan tindak pidana berat, maka ia dapat diberhentikan melalui Keputusan Presiden untuk Gubernur, dan Keputusan Menteri Dalam Negeri untuk Bupati/Walikota.
ADVERTISEMENT
Saling-Silang
Sebenarnya, saling-silang pendapat antara pusat dan daerah sudah berlangsung cukup lama. Bahkan sejak era reformasi.
Hal yang dipermasalahkan pun beragam. Mulai dari kebijakan soal investasi, pemanfaatan sumber daya, wilayah, dan sebagainya.
Bahkan tidak jarang pertentangan ini berujung di meja hijau. Sudah banyak Kepala Daerah memohon pengujian Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 di Mahkamah Konstitusi.
Salah satu contoh yang masih hangat di ingatan adalah ketika mantan Gubernur DKI Jakarta yang akrab disapa Ahok, mengajukan judicial review terkait ketentuan cuti petahana Pasal 70 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Sepintas, memang hal ini terlihat kurang etis untuk dilakukan. Pertama, dalam Penjelasan UU Pemda diterangkan bahwa sebagai negara kesatuan, Indonesia tidak mengenal kedaulatan pada daerah. Maka dari itu, seluas apa pun otonomi yang diberikan kepada daerah, tanggung jawab akhir penyelenggaraan pemerintahan daerah akan tetap ada ditangan pemerintah dusat.
ADVERTISEMENT
Kedua, Kepala Daerah bagaimanapun juga merupakan wakil dari pemerintah pusat. Hal ini dipertegas dengan adanya Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat.
Namun perlu diingat, terkait adanya praktek pengajuan permohonan judicial review oleh Kepala Daerah, memang dalam Pasal 51 ayat (1) UU 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi membuka ruang bagi lembaga negara untuk mengajukan permohonan judicial review. Sehingga meskipun terlihat tidak etis, hal ini diperbolehkan secara hukum.
Disamping itu, perbedaan pendapat adalah hal yang biasa dalam negara demokrasi. Perbedaan pendapat yang dikemukakan oleh berbagai tokoh politik dari berbagai kelas merupakan esensi dari demokrasi itu sendiri (Nwogu, 2015).
Bahkan di Amerika Serikat yang sudah menerapkan demokrasi sejak 243 tahun lalu, saling-silang antara Presiden selaku pimpinan negara federal dengan Gubernur selaku pimpinan negara bagian masih sering terjadi. Baru-baru ini misalnya, Presiden Trump berseteru dengan Gubernur New York Andrew Cuomo mengenai masalah penanganan Covid-19.
ADVERTISEMENT
Tumpang Tindih Regulasi
Negara Bagian di AS cenderung memiliki kebiasaan menerbitkan regulasi yang tidak memiliki urgensi dan manfaat bagi masyarakat (Glaeser dan Sunstein, 2014). Fenomena yang serupa terjadi Indonesia. Dimana pemerintah daerah sering menerbitkan regulasi yang tidak memiliki urgensi, menimbulkan tumpang tindih, bertentangan dengan kebijakan pemerintah pusat, dan tidak selaras dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Jika perbedaan pendapat adalah hal yang didorong oleh demokrasi, maka tidak demikian halnya dengan tumpang tindih peraturan perundang-undangan. Karena pertentangan aturan pemerintah pusat dan daerah akan menimbulkan kebingungan di masyarakat dan menyebabkan ketidakpastian penegakan hukum.
Penyebabnya antara lain adalah perbedaan pemahaman dan penafsiran terhadap norma-norma dalam UU Pemda. Tidak dapat dipungkiri bahwa UU Pemda adalah regulasi yang amat kompleks.
ADVERTISEMENT
Dengan total 411 Pasal tidak termasuk lampiran dan penjelasannya, serta 3 (tiga) kali perubahan, memang tidak mudah untuk dapat benar-benar menguasai dan memahami regulasi tersebut. Belum lagi adanya perbedaan penafsiran-penafsiran dari Pasal yang ada.
Disamping itu, banyak penelitian yang menyebutkan bahwa UU Pemda menambah kerumitan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Regulasi yang semula diharapkan mampu memperbaiki kekurangan dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, justru malah menimbulkan adanya permasalahan-permasalahan baru khususnya terkait pembagian urusan kewenangan pemerintah pusat dan daerah (Yusdianto, 2015). Hal ini berimplikasi terhadap tumpang tindihnya produk hukum yang diterbitkan baik oleh pemerintah pusat maupun daerah.
Komunikasi Yang Baik
Harus diakui bahwa materi muatan dalam UU Pemda tidak sempurna, dan memang tidak akan pernah ada satupun produk hukum buat manusia yang sempurna.
ADVERTISEMENT
Meskipun demikian, fakta ini tidak secara otomatis mengindikasikan bahwa UU Pemda harus diubah, karena permasalahan yang ada bisa jadi berada pada level pemahaman di masyarakat, penafsiran di level aparat, atau sebatas komunikasi antar pejabat.
Solusi yang paling realistis adalah dengan membangun komunikasi dua arah yang baik dalam setiap pengambilan kebijakan. Baik itu kebijakan level pusat maupun daerah.
Dengan komunikasi yang harmonis antara pusat dan daerah, maka pengambilan kebijakan ataupun regulasi dapat menjadi lebih selaras. Karena tanpa adanya komunikasi yang baik, hal ini berpotensi menimbulkan kecurigaan dan justru malah akan menimbulkan pertentangan dalam penerbitan peraturan.
Sekali lagi, perbedaan pendapat antara pusat dan daerah adalah hal yang lumrah. Bagi negara demokrasi, perbedaan pendapat memang merupakan ciri yang dibutuhkan.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, jangan sampai perbedaan tersebut sampai tertuang secara harfiah dalam instrumen hukum. Karena jika sudah begini, yang dirugikan tidak lain adalah masyarakat dan penegakan hukum di bumi pertiwi ini.