Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten dari Pengguna
Menyoal Pemblokiran Rekening dan Aset Lainnya
8 Januari 2021 21:18 WIB
Tulisan dari Fahrurozi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Setelah di akhir tahun 2020 ramai pemberitaan pembubaran Front Pembela Islam (FPI), awal tahun 2021 ini masih diwarnai berita terkait organisasi tersebut. Bedanya, kali ini beritanya terfokus pada masalah pemblokiran rekening FPI.
ADVERTISEMENT
Awalnya, isu pemblokiran ini masih simpang siur. Polri mengeklaim bahwa soal pemblokiran rekening bukan merupakan domain Polri. Namun pada Selasa, 5 Januari 2021, PPATK mengkonfirmasi hal tersebut melalui rilis resminya.
Tidak tanggung-tanggung, terdapat 59 Berita Acara Penghentian Transaksi dari beberapa Penyedia Jasa Keuangan atas rekening FPI dan pihak yang terafiliasi dengan organisasi yang dulu bermarkas di Petamburan tersebut.
Terlepas dari persepsi publik mengenai status pembubaran FPI, upaya pemblokiran rekening dan aset lainnya memang merupakan tindakan yang dapat menimbulkan efek jera. Ortblad (2008) menyebut bahwa meskipun pembekuan rekening umumnya merupakan tindakan pencegahan, efek yang dirasakan adalah punitif. Atau yang merasakan mengalami kerugian.
Antara Pemblokiran Dan Sanksi
Perihal pemblokiran atau pembekuan rekening memang dikenal dalam berbagai instrumen hukum Indonesia. Di antaranya perihal pemberantasan terorisme, tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, dan perpajakan. Namun ke semua regulasi ini tidak menempatkan pemblokiran sebagai suatu sanksi.
ADVERTISEMENT
Sebagian daripada instrumen hukum tersebut mengatur pemblokiran sebagai bagian dari upaya awal dari suatu proses yustisi.
Hal ini dapat ditemukan dalam Pasal 22 Undang-undang No. 9 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Pasal tersebut mengatur perihal pemblokiran dana yang diketahui atau patut diduga digunakan atau akan digunakan, baik seluruh maupun sebagian, untuk tindak pidana terorisme.
Selain itu, pemblokiran juga diklasifikasikan sebagai bagian dari proses yustisi itu sendiri sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Di mana Pasal 29 ayat (4) mengatur aparat penegak hukum untuk meminta pemblokiran rekening simpanan milik tersangka atau terdakwa yang diduga merupakan hasil dari tindak pidana korupsi.
ADVERTISEMENT
Contoh lainnya terdapat dalam Pasal 71 ayat (1) Undang-undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Singkatnya, aparat penegak hukum berwenang memerintahkan pemblokiran harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana.
Sedikit berbeda, dalam Undang-undang No. 19 Tahun 1997 Tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, menempatkan pemblokiran rekening sebagai tindakan awal dari suatu penyitaan.
Penyitaan ini dilakukan apabila utang pajak tidak dilunasi. Sepintas, hal ini terlihat seperti sanksi karena pemblokiran dilaksanakan atas konsekuensi logis tidak dibayarkannya utang pajak.
Namun dalam aturan pelaksanaanya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 135 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penyitaan Dalam Rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, Pasal 1 angka 11 menjelaskan bahwa Pemblokiran adalah tindakan pengamanan harta kekayaan yang tersimpan pada bank dengan tujuan agar harta kekayaan dimaksud tidak terdapat perubahan apa pun, selain penambahan jumlah atau nilai.
ADVERTISEMENT
Artinya, pemblokiran dalam hal ini memang tetap tidak dapat dimaknai sebagai suatu bentuk penghukuman. Padahal, soal pemblokiran dapat diklasifikasikan sebagai bagian dari sanksi administratif.
Wicipto (2009) mengamati bahwa sanksi administratif terdiri dari: peringatan/teguran lisan, peringatan/teguran tertulis, tindakan paksa pemerintahan (bestuursdwang/politie dwang), penarikan kembali keputusan yang menguntungkan, denda administratif, dan pengenaan uang paksa (dwangsom).
Dalam pengklasifikasian tersebut, pemblokiran bisa digolongkan sebagai bagian dari tindakan paksa pemerintahan (bestuursdwang). Tindakan ini dilakukan oleh pejabat administrasi negara untuk menciptakan atau menghentikan suatu keadaan tertentu.
Pemblokiran Sebagai Sanksi Administratif Bagi Korporasi
Penerapan sanksi administratif dapat dilakukan secara langsung sesederhana menyampaikan surat perintah pemblokiran kepada bank atau jasa keuangan lain. Kemudian bank dan jasa keuangan tersebut wajib menindaklanjuti perintah tersebut.
ADVERTISEMENT
Proses ini jelas lebih mudah dibandingkan penjatuhan sanksi pidana atau perdata yang lebih rumit dan sangat kompleks.
Terlebih dalam hal pelanggaran hukum yang dilakukan oleh korporasi, pembekuan rekening dan aset lainnya tentu dapat menimbulkan efek punitif yang lebih tepat. Korporasi dalam hal ini bukan sebatas pada badan yang mencari keuntungan, tetapi juga organisasi sosial seperti yayasan dan perkumpulan yang juga berpotensi melakukan pelanggaran, atau dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu untuk melakukan aktivitas yang melanggar hukum.
Ketika tidak ada uang yang tidak dapat digunakan, maka kegiatan yang dibiayainya tentunya akan sulit untuk berjalan.
Khususnya bagi korporasi, jika asetnya dibekukan, maka tindakan korporasi tersebut tentunya akan terhenti. Pun begitu halnya bagi organisasi sosial. Sehingga memang efek yang ditimbulkan jauh lebih merugikan.
ADVERTISEMENT
Galli (2014) menyebut bahwa sistem hukum pidana mengalami pergeseran paradigma dan mendorong pendekatan sanksi administratif. Salah satu alasan utamanya karena pemidanaan bersifat memberikan hukuman atas kejadian yang sudah terjadi (past offences). Sedangkan yang tidak kalah penting adalah bagaimana pelanggaran tersebut tidak terjadi lagi di masa depan (future risks).
Di sinilah, pemblokiran aset dan rekening memiliki keuntungan karena memiliki 2 (dua) fungsi: dapat diklasifikasikan sebagai upaya pencegahan untuk setidaknya meminimalisir potensi pelanggaran ke depannya (future risks), sekaligus memberikan efek jera atas pelanggaran yang telah dilakukan (past offences).
Di samping itu, memang sudah semestinya masyarakat tidak lagi memilih hukum pidana untuk setiap pelanggaran yang terjadi. Karena hukum pidana adalah upaya terakhir setelah semua upaya ditempuh (ultimum remedium).
ADVERTISEMENT
Sehingga memang sudah sepatutnya pemblokiran harta kekayaan, rekening, dan aset lainnya dijadikan salah satu instrumen sanksi administratif yang tertulis secara jelas dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan korporasi. Tentunya dengan memperhatikan berbagai aspek dan kondisi agar pemblokiran ini taat asas, dengan alasan yang jelas, dan transparan.