Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten dari Pengguna
Sepak Bola, Pencucian Uang, dan Matinya Financial Fair Play
19 Juli 2020 17:41 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:16 WIB
Tulisan dari Fahrurozi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tahun 2003, seorang miliarder muda asal Russia didampingi beberapa bawahannya, berkunjung ke Les Ambassadeurs. Di casino yang berlokasi di kota London tersebut, ia bertemu dengan agen sepakbola Pini Zahavi bersama Sven-Göran Eriksson, yang kala itu menjabat sebagai pelatih tim nasional Inggris.
ADVERTISEMENT
Miliarder itu tidak lain adalah Roman Abramovic.
Abramovic saat itu mengutarakan keinginannya untuk berinvestasi di klub sepakbola Inggris. Pada kesempatan itu, ia meminta pendapat dari Zahavi dan Eriksson. Memang saat itu, ia belum memutuskan klub mana yang akan dibeli.
Beberapa pekan selanjutnya disaat sedang berlibur, Eriksson mendapat telfon dari orang kepercayaan Abramovic. Pria berkebangsaan Swedia ini dimintakan pendapat oleh Abramovic yang memutuskan ingin membeli salah satu klub di London. Antara Tottenham Hotspurs atau Chelsea.
“Apa yang ingin dia lakukan?” tanya Eriksson kepada si tangan kanan Abramovic.
“Dia bilang dia ingin menang.” Jawab si penelefon.
“Kalau begitu, beli Chelsea!” balas Eriksson menanggapi. “Kalau beli Chelsea, kamu hanya perlu mengganti setengah dari timnya. Kalau beli Tottenham, kamu harus mengganti seluruh timnya”.
ADVERTISEMENT
Mendengar masukan dari Eriksson, serta melakukan berbagai penilaian bersama bankir profesional yang dibayarnya, akhirnya pria Russia itu memutuskan untuk membeli Chelsea seharga 140 juta poundsterling.
Sejak itu, kesebelasan yang berbasis di London barat ini secara drastis berubah menjadi kekuatan baru di dunia sepakbola. Dukungan finansial yang seakan tak terbatas membuat Chelsea mampu mematahkan dominasi Manchester United dan Arsenal yang pada awal millenium itu tidak tersentuh oleh klub-klub lain.
Pembelian Chelsea menimbulkan tren baru di dunia sepakbola. Jutawan-jutawan lain yang memiliki kekuatan ekonomi lebih kuat mulai ikut merambah bisnis si kulit bundar.
Sebut saja Manchester City yang dibeli oleh konsorsium bisnis Uni Emirat Arab (2008), dan Paris Saint-Germain yang disulap oleh taipan minyak Qatar (2011), menjadi kekuatan baru sepakbola dengan fasilitas moneter yang nyaris tidak tertandingi. Belum lagi jika pembelian Newcastle United oleh keluarga kerajaan Arab Saudi terwujud dalam waktu dekat.
ADVERTISEMENT
Meskipun Abramovic telah sukses meraih semua gelar bergengsi bersama Chelsea, tetapi baru pada tahun 2012 Chelsea benar-benar mencatat keuntungan finansial. Lantas pertanyaannya, mengapa para konglomerat ini memutuskan untuk membeli klub sepakbola, meskipun mereka sadar bahwa ini bukanlah bisnis yang mudah mendapatkan keuntungan?
Passion dan Prestise
Sepakbola memang olahraga yang sangat populer dan universal. Olahraga ini tidak mengenal kelas, kebangsaan, ataupun gender.
Siapa pun bisa bermain dan menonton olahraga tersebut tanpa harus memiliki atribut olahraga tertentu seperti raket atau stik. Cukup dengan satu bola sepak dan gawang yang bahkan bisa dibuat-buat dengan sandal, sepakbola bisa dimainkan.
Inilah mengapa sepakbola begitu dicintai dan memiliki banyak penggemar. Tidak heran Piala Dunia merupakan ajang olahraga dengan penonton terbanyak hingga saat ini.
ADVERTISEMENT
Kecintaan sebagai fans merupakan salah satu alasan banyak pemiliki tim sepakbola merupakan pendukung fanatik tim tersebut. Salah satunya Mike Ashley, pemilik klub Newcastle United, adalah pendukung setia klub berseragam hitam putih tersebut. Begitu pula dengan Alan Sugar yang pernah menjadi pemilik Tottenham Hotspurs pada tahun 1991-2001.
Pemilik semacam ini memiliki passion terhadap klub yang dimilikinya. Walaupun memang passion tidak terlalu memiliki andil dalam menentukan arah klub. Buktinya, baik Ashley maupun Sugar dianggap gagal sebagai bos Newcastle dan Hotspurs. Sampai-sampai fans mereka meminta agar keduanya segera melepas kepemilikannya.
Selain passion, ada pula yang namanya prestise. Eugene Tenenbaum yang dipercaya mengendalikan bisnis Chelsea, melihat Abramovic sebagai sosok yang kompetitif dan pemenang.
ADVERTISEMENT
“Dia menyukai tantangan,” kilah Tenenbaum tentang Abramovic. “Dia menyukai kemenangan dan dia ingin membantu,” tambahnya.
Tenenbaum menilai, memiliki dan melihat Chelsea memenangi kompetisi di kasta tertinggi adalah suatu kebanggaan bagi Abramovic. Hal ini ditunjukkannya dengan langsung membeli pemain, pelatih, dan staf berkualitas tinggi meskipun harus membayar mahal di awal kepemilikannya pada tahun 2003. Abramovic ingin sekali menang, ia sangat menginginkan prestise tersebut.
Prestise juga ditunjukkan oleh pemilik klub-klub lainnya. Ketika melihat Paris Saint-Germain dibeli oleh perusahaan negara Qatar. Rasanya sangat mungkin pembelian tersebut merupakan reaksi atas dibelinya Manchester City oleh keluarga kerajaan Uni Emirat Arab. Ditambah lagi rumor kuat bahwa keluarga kerajaan Saudi Arabia, bukan sekadar pengusaha biasa, juga ingin mencicipi rasanya memiliki klub sepakbola.
ADVERTISEMENT
Persaingan taipan minyak timur tengah ini rasanya bukan kebetulan. Faktor geopolitik sebagai negara tetangga yang sama-sama memproduksi minyak ini sebenarnya adalah bentuk persaingan.
Lihat saja bagaimana tensi yang terbangun antara negara-negara timur tengah ini. Mereka berlomba-lomba mendirikan pusat bisnis, gedung megah, dan maskapai penerbangan mandiri dengan menyediakan Airport Hub yang biayanya sangatlah besar. Maskapai-maskapai ini (Etihad, Emirates, dan Qatar) juga berkompetisi menjadi sponsor-sponsor klub besar.
Profit
Selain passion dan prestise, tentu sangat manusiawi jika ada pemilik klub bola yang mengharapkan keuntungan finansial. Pemilik semacam ini biasanya tidak terlalu nekat dalam membuang-buang uang untuk membeli pemain atau pelatih.
Sebut saja Stan Kroenke (Arsenal), Malcolm Glazer (Manchester United), atau bahkan John W. Henry (Liverpool) yang baru-baru ini sukses membawa Liverpol juara, tetapi tidak mampu membeli pemain-pemain top untuk musim depan karena adanya pandemi.
ADVERTISEMENT
Pemilik-pemilik semacam ini sangat enggan untuk mengalami kerugian, tetapi ada juga sebagian di antaranya yang memang berusaha mementingkan keuntungan pribadi di atas keuntungan klub. Artinya, semakin sedikit pengeluaran klub, semakin besar dividen yang dapat diraup sebagai pemegang saham terbesar. Daripada harus bertaruh membeli pemain dengan biaya tinggi tapi belum tentu membuahkan hasil yang diharapkan, mereka cenderung bermain aman.
Pembelian-pembelian yang harganya tidak masuk akal sangat jarang dilakukan oleh pemilik yang berorientasi profit. Mereka baru belanja pemain berharga tinggi dengan bergantung pada keuntungan yang didapat dari menjual pemain lain. Misalnya di Liverpool beberapa tahun silam, pembelian Alisson Becker dan Virgil Van Dijk dibiayai dengan uang hasil penjualan Phillippe Coutinho. Namun pembelian Liverpool ini masih tidak sebanding dengan pola belanja ala Manchester City atau Paris Saint-Germain dalam lima tahun kebelakang.
ADVERTISEMENT
Pun begitu halnya dengan pemilik-pemilik klub kecil yang tidak mampu bersaing dengan uang yang dimiliki oleh para trillionaire. Tidak bangkrut saja, mereka sudah sangat bersyukur.
Fenomena konglomerasi sepakbola dinilai lama kelamaan dapat membuat industri sepakbola hancur. Persaingan yang tidak adil menuntut adanya perubahan agar klub yang menang tidak hanya yang itu-itu saja. Jika gap persaingan ini makin tinggi, klub-klub papan menengah ke bawah akan semakin sering menderita kekalahan.
Lambat laun, mereka mulai ditinggalkan oleh pendukung yang membeli tiket mahal untuk menonton di stadion atau berlangganan streaming. Hal ini akan berimplikasi pada menurunnya pemasukan dari hak siar dan sponsor, berkurangnya penjualan merchandise, terlilit utang dan semakin sulit untuk melunasi utang-utangnya.
ADVERTISEMENT
Jika tidak ada upaya menyelamatkan, pelan tapi pasti, klub-klub ini akan mati.
Pencucian Uang
Tidak hanya profit yang resmi dan sah di mata hukum, sepakbola juga kerap menjadi lahan bagi banyak pengusaha sebagai moda pencucian uang. Sederhananya, para pencuci uang ini mencampuradukkan “uang haramnya” dengan “uang halal”.
Financial Action Task Force (FATF) menyebut praktik mencampuraduk uang ini dengan istilah co-mingling (FATF, 2018). Tujuannya tidak lain agar uang haram tersebut dikelola sedemikian rupa dengan uang halal, untuk selanjutnya dibukukan agar uang itu terkesan halal. Jika sudah terlihat halal, maka para pemilik uang-uang tersebut dapat mempergunakannya secara sah.
Arus uang haram dalam sepakbola ini menjadi sangat penting untuk diantisipasi. Sederhananya karena uang haram yang tidak tercatat resmi biasanya dihasilkan dari praktik yang haram juga seperti transaksi narkoba, pemerasan, penyuapan, penjualan barang-barang palsu dan imitasi, hingga perdagangan manusia. Oleh karenanya, pencucian uang akan selalu identik dengan kejahatan terorganisir. Karena biasanya memang kegiatan bisnis semacam inilah yang sangat memerlukan uangnya untuk “dibersihkan”.
ADVERTISEMENT
Transparency International menemukan bahwa pencucian uang dalam dunia sepakbola dilakukan dengan berbagai cara. Pertama, manipulasi pembukuan dan pemasukan klub dengan penjualan tiket yang tidak sesuai dengan jumlah pengunjung dan harga yang tidak masuk akal. Kedua, membuat bisnis fiktif sebagai sumber penghasilan yang biasanya dipraktekkan dengan bisnis properti di dekat stadion. Ketiga, harga jual-beli pemain yang dikondisikan dan cenderung tidak masuk akal dan melebihi nilai pemain yang sebenarnya. Keempat, menunjuk pemilik fiktif sehingga pemilik sesungguhnya tidak terbebani dengan pajak (Arjun Medhi, 2018).
Kelima dan yang terpenting, kepemilikan sepakbola tersebut dilibatkan dengan penentuan skor (match fixing). Pengaturan skor ini dapat mengkondisikan siapa yang menang dan ke mana keuntungan tersebut diarahkan. Dengan pengaturan skor, bisa saja pemilik klub sengaja membiarkan timnya kalah, seri, atau kebobolan sekian gol karena dengan begitu ia akan mendapatkan uang hasil taruhan yang jauh lebih menguntungkan (FATF, 2018).
ADVERTISEMENT
Inilah mengapa pencucian uang sangat berpotensi merusak keseimbangan dan integritas sepakbola. Mencegah peredaran uang haram ini bahkan lebih penting dan lebih besar daripada sepakbola itu sendiri.
Financial Fair Play: Macan Tak Bergigi
Potensi runtuhnya dunia sepakbola, setidaknya di Eropa sana, mendorong UEFA untuk melakukan upaya penyelamatan atas klub-klub dengan latar finansial terbatas. Upaya tersebut dikenal dengan nama Financial Fair Play (FFP). FFP ini sudah lama digadang-gadang, salah satunya karena melihat kesuksesan Roman Abramovic bersama Chelsea yang dinilai tidak sportif.
FFP ini dimaksudkan agar tiap klub tetap berkompetisi dengan memperhatikan kondisi keuangannya. Mereka dilarang untuk memiliki neraca rugi 45 juta euro dalam tiga musim, atau 15 juta euro di setiap musimnya.
ADVERTISEMENT
Contoh yang paling sederhana, jika klub hanya memiliki keuntungan bersih 15 juta euro, maka ia tidak dibenarkan membeli pemain dengan harga yang melebihi 15 juta euro. Anggapannya adalah belanja tersebut nantinya didanai secara curang oleh pemilik yang memiliki dana berlebih, atau berakibat utang yang tidak baik bagi kondisi keuangan klub.
Salah satu raksasa Italia, AC Milan, merasakan hukuman FFP akibat belanja yang boros namun kerugiannya melewati batas maksimal yang ditetapkan. Alhasil, mereka dijatuhi sanksi dan dilarang mengikuti kompetisi Eropa pada dua musim, yaitu 2018-2019 dan 2019-2020.
Sayangnya, FFP ini tidak terlalu memikirkan pencegahan pencucian uang. Malah banyak kesebelasan menggunakan pencucian uang untuk mengakomodir ketentuan FFP. Paling hangat adalah kasus Manchester City yang diduga menggelembungkan dana sponsor untuk memenuhi belanja pemain mereka yang selalu gila-gilaan.
ADVERTISEMENT
Singkat cerita, keluarga kaya raya Abu Dhabi yang memiliki klub Manchester City, mendapatkan sponsor besar dari Etihad, yang juga dimiliki oleh keluarga kaya raya Abu Dhabi. Ibarat keluar kocek kanan, masuk kocek kiri.
Praktik ini pada dasarnya adalah praktik pencucian uang yang sangat mudah terlihat. Meskipun Court of Arbitration for Sport (CAS) memutus lain (dan integritas mereka patut dipertanyakan), jelas bahwa konflik kepentingan di klub berwarna biru muda ini mengundang curiga akan adanya transaksi yang berupaya mengakali FFP. Argumen kemenangan City di CAS tentunya akan menjadi model yang akan ditempuh klub kaya lainnya untuk mengakali FPP jika mereka sampai divonis bersalah oleh UEFA.
Tidak hanya kasus Manchester City, kasus lain yang membuat pamor FFP merosot adalah kasus transfer Miralem Pjanic - Arthur Melo antara Juventus dengan Barcelona. Juventus membeli Arthur dari Barcelona dengan harga 80 juta euro. Sedangkan Barcelona membeli Miralem Pjanic yang sudah berusia 30 tahun seharga 70 juta euro.
ADVERTISEMENT
Dari kacamata awam, bisnis ini terlihat seperti Juventus membeli Arthur seharga 10 juta euro ditambah Miralem Pjanic. Namun bukan itulah yang disebut-sebut oleh kedua klub. Karena memang ada unsur permainan akuntansi dalam kedua transaksi ini. Mengutip Swiss Ramble, dari segi akuntansi dimungkinkan kedua klub tersebut tercatat mengantongi profit sebesar 60 juta euro dengan model transaksi yang demikian.
Sebenarnya praktek ini sudah pernah dilakukan Barcelona kala “menukar” Jasper Cilessen ke Valencia dan mendapatkan Neto dari klub yang sama. Praktik ini berbeda dengan pertukaran antara Alexis Sanchez (Arsenal) dan Henrikh Mkhitaryan (Manchester United) yang tidak ramai disebut nilai transfernya.
Transfer Alexis – Mkhitaryan terlihat murni sebagai pertukaran pemain langsung (straight swap) antara kedua kesebelasan. Bukan perkara mengakali pembukuan.
ADVERTISEMENT
Entah untuk mengelabui FFP atau ada tujuan lain, praktik yang dilakukan oleh Barcelona, Juventus, dan Valencia sesungguhnya mengaburkan intensi dari FFP itu sendiri. FFP dimaksudkan agar klub besar tidak bisa belanja sesuka hati. Bukan justru melakukan transaksi spesifik yang bisa dilakukan secara leluasa oleh klub-klub besar.
Meskipun apa yang dilakukan oleh Barcelona, Juventus, dan Valencia tidak dianggap melanggar aturan main FFP, bisnis jual beli pemain yang bersifat menguntungkan para pihak (resiprokal) dan harganya tidak masuk akal dibandingkan nilai sesungguhnya, merupakan salah satu moda pencucian uang (FATF, 2018). Walaupun uang transfer ketiga tim mapan ini (mungkin) bukan berasal dari sumber haram.
Praktik yang mereka lakukan, meskipun legal, adalah bentuk preseden negatif yang dapat diikuti oleh para kriminal dalam mencuci uangnya, dan pernah dilakukan sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Salah satu contohnya adalah Uniao de Leiria, klub sepakbola Portugal yang pernah ditangani Mourinho ini didakwa melakukan pencucian uang pada tahun 2016. Salah satunya dengan melakukan jual beli pemain dengan harga yang tidak masuk akal di bursa transfer (over-valuing or under-valuing players on the transfer market).
Tindak pidana yang dilakukan sekelompok mafia yang mayoritas berasal dari Russia ini selanjutnya mendapatkan penanganan serius oleh aparat penegak hukum. Gabungan satuan tugas yang melibatkan Kepolisian Portugal (Polícia Judiciária) dan Kepolisian Uni Eropa (Europol) menangkap aktor-aktor organisasi kriminal transnasional tersebut yang ternyata sudah beraksi melakukan kejahatannya di berbagai negara yaitu Austria, Estonia, Jerman, Latvia, Moldova dan Inggris.
Pada akhirnya, transfer pemain antara Barcelona dan Juventus dan putusan arbitrase CAS terhadap Manchester City merupakan bentuk kegagalan UEFA dan FFP dalam mencapai misinya. Sekalipun CAS adalah organisasi otonom dan diluar kendali UEFA, setidaknya dari sisi UEFA harus ada evaluasi mengapa The Citizens bisa mengalahkan FFP di CAS.
ADVERTISEMENT
Selain itu, siasat pembukuan Barcelona dalam mengakali FFP juga harus menjadi pembelajaran penting bagi UEFA. Artinya, harus ada revisi dari aturan FFP tersebut. Jika hal ini tidak dilakukan, maka FFP hanya akan menjadi pisau yang tajam ke klub-klub kecil, tapi tumpul ke klub-klub besar.