Tentang Pidana Denda Rp 5.000.000 Bagi Yang Menolak Vaksinasi Covid-19

Fahrurozi
Wristwatch, football, and law enthusiast. Proud part of @thewatch.spot and @govlawsociety. Opinions are my own.
Konten dari Pengguna
10 Januari 2021 18:41 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fahrurozi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Vaksin
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Vaksin
ADVERTISEMENT
Pasca pergantian tahun 2021, jumlah pasien positif Covid-19 terus meningkat. Rumah sakit rujukan dan pemakaman jenazah Covid-19 pun semakin penuh. Tenaga kesehatan juga terus berguguran dari hari ke hari.
ADVERTISEMENT
Meskipun memprihatinkan, setidaknya ada secercah harapan untuk mengakhiri pandemi Covid-19 ini. Titik terang tersebut tidak lain adalah ditemukannya vaksin Covid-19 oleh beberapa perusahaan ternama dunia.
Vaksin-vaksin baru ini pun terlihat menjanjikan dari klaim hasil uji coba yang telah dilakukan.
Vaksin buatan Pfizer-BioNTech misalnya, memiliki efikasi sekitar 95%. Begitu pula dengan vaksin Moderna yang memiliki tingkat efikasi di angka 95%.
Memang masih banyak vaksin lain yang hasil uji coba efikasinya berada di kisaran atas 70%. Sehingga terkesan bahwa vaksin ini tidak lebih baik ketimbang vaksin buatan Pfizer-BioNTech dan Moderna.
Akan tetapi, beberapa pakar menyatakan bahwa ambang batas minimum efikasi vaksin setidaknya berada di atas 60%-70% untuk dapat menurunkan angka penularan Covid-19 secara signifikan.
ADVERTISEMENT
Tentunya hal ini adalah kabar yang cukup menggemberikan.
Keberadaan vaksin ini sontak membuat masyarakat dunia tidak sabar untuk mendapatkan suntikan penguat antibodi tersebut. WHO menyebut terdapat lebih dari 50 jenis vaksin yang sedang dalam tahap uji coba.
Namun demikian, tidak jarang terdapat orang-orang yang enggan mendapatkan vaksin. Alasannya beragam, mulai dari kekhawatiran efek samping yang muncul, uji vaksin yang kurang transparan, hingga teori-teori konspirasi yang tidak berdasar.
Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat menanti-nanti keberadaan vaksin sebagai upaya mengatasi pandemi. Terlihat dengan diterbitkannya Peraturan Presiden No. 99 Tahun 2020 Tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi Dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Pemerintah juga menetapkan Keputusan Menteri Kesehatan No.HK.01.07 tentang Penetapan Jenis Vaksin untuk Pelaksanaan Vaksinasi Covid-19. Dalam keputusan tersebut, Pemerintah menentukan jenis vaksin yang akan dipergunakan di Indonesia yaitu vaksin yang dibuat oleh PT Bio Farma, AstraZenecca, Sinopharm, Moderna, Pfizer-BioNTech, dan Sinovac.
Rencana Timeline Vaksinasi Indonesia
Sebagai penyakit dengan tingkat penularan tinggi, tidak ada jalan lain selain memastikan agar vaksin ini terdistribusi dengan baik.
ADVERTISEMENT
Para pakar berpendapat, setidaknya 70% - 75% populasi penduduk harus divaksinasi untuk mencapai herd immunity. Dengan demikian, virus tersebut akan sulit untuk menginfeksi karena mayoritas masyarakat sudah memiliki kekebalan buatan yang diciptakan oleh vaksin.
Mewajibkan Vaksin
Untuk mencapai 70% - 75% penduduk yang divaksinasi, muncullah pertanyaan: apakah sebaiknya masyarakat indonesia wajib divaksinasi?
Ada dua pandangan pakar yang berseberangan dalam menjawab pertanyaan tersebut. Mengutip The Conversation, ada yang berpendapat bahwa vaksin harus diwajibkan setidaknya untuk kelompok masyarakat tertentu. Karena vaksin akan mengurangi potensi penularan dan angka kematian secara drastis.
Ada pula yang berpendapat bahwa vaksinasi tidak perlu diwajibkan. Alasannya karena antara negara yang mewajibkan dan tidak mewajibkan vaksin, tidak terlalu berbeda dalam menyediakan vaksin bagi rakyatnya.
ADVERTISEMENT
Pemerintah pusat sendiri memang belum memutuskan apakah vaksin menjadi wajib atau tidak.
Berbeda dengan pusat, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah menetapkan pidana denda sebesar Rp5.000.000 bagi penduduk DKI yang menolak divaksinasi. Denda ini diatur dalam Pasal 30 Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta No. 2 tahun 2020 tentang Penanggulangan Corona Virus Disease 2019 (Perda Penanggulangan Covid-19) yang berbunyi sebagai berikut:
Posisi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang mewajibkan vaksin dengan implikasi denda bagi yang menolak menimbulkan perdebatan.
Tidak berlangsung lama, Pasal 30 Perda Penanggulangan Covid-19 dimohonkan uji materi ke Mahkamah Agung.
ADVERTISEMENT
Pemohon melalui kuasa hukumnya menilai, pengenaan denda ini bertentangan dengan Undang-undang (UU) No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU No. 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Pemohon beranggapan bahwa vaksinasi seharusnya tidak perlu diwajibkan. Apalagi sampai dipidana denda Rp 5.000.000 bagi yang menolak.
Salah satu alasannya, angka Rp 5.000.000 dinilai memberatkan bagi masyarakat yang kurang mampu.
Kurang Tepat
Berdasarkan Pasal 15 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota saja.
ADVERTISEMENT
Mengacu pada ketentuan tersebut, jelas bahwa Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta berwenang untuk mengatur ketentuan pidana dalam Perda Penanganan Covid-19.
Selain itu, dengan adanya frase "...paling banyak sebesar Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah)" mensyaratkan bahwa maksimum denda yang dijatuhkan adalah Rp 5.000.000.
Artinya, denda yang dijeratkan kepada penolak vaksin jumlahnya dapat jauh lebih rendah dibawah Rp 5.000.000.
Meskipun begitu, pengaturan sanksi pidana berupa denda sebesar Rp 5.000.000 bagi yang menolak vaksin memang kurang tepat.
Secara yuridis, pasal tersebut bertentangan dengan UU No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular. Dimana dalam Pasal 6 ayat (1) UU No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, diatur bahwa upaya penanggulangan wabah dilakukan dengan mengikutsertakan masyarakat secara aktif.
ADVERTISEMENT
Dalam penjelasan Pasal tersebut, partisipasi masyarakat haruslah tidak mengandung paksaan, disertai kesadaran dan semangat gotong royong, dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.
Singkatnya, UU tersebut memerintahkan penyelenggara negara untuk tidak memaksakan masyarakatnya dalam penanganan pandemi. Termasuk soal vaksin. Apalagi sampai memberikan denda dalam jumlah yang tidak sedikit.
Meskipun regulasi ini sudah berusia lebih dari 25 tahun, namun bukan berarti UU tersebut dapat dikesampingkan begitu saja. Sepanjang masih berlaku, maka peraturan perundang-undangan dibawahnya tidak boleh bertentangan dengan ketentuan dalam UU tersebut.
Proses Rumit
Selain itu, untuk dapat menjatuhkan sanksi pidana masih memerlukan proses hukum tertentu. Padahal, Perda DKI tentang Penanggulangan Covid-19 memiliki variasi penghukuman berupa denda administratif bagi pelanggar protokol kesehatan.
ADVERTISEMENT
Bahkan Perda tersebut juga memiliki alternatif sanksi berupa pidana kerja sosial bagi masyarakat yang tidak memakai masker sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1). Walaupun menuai pro dan kontra karena justru mengakibatkan kerumunan, pidana kerja sosial ini dapat langsung dieksekusi di tempat oleh Pemprov DKI tanpa harus melalui tahapan-tahapan tertentu. Apalagi harus sampai ke meja pengadilan.
Terobosan hukum semacam ini seharusnya yang lebih dikedepankan daripada sekedar penjatuhan sanksi pidana yang seharusnya berada di paling akhir (ultimum remedium).
Di tengah pandemi ini yang juga menghajar perekonomian global maupun nasional, nilai uang sekecil apa pun menjadi lebih berharga. Sehingga kurang etis apabila ditengah kesulitan ekonomi semacam ini, tercipta regulasi yang sifatnya justru semakin mempersulit kondisi finansial dari pelanggarnya.
ADVERTISEMENT
Dengan menetapkan ketentuan denda pidana sebesar Rp 5.000.000, hal ini tidak hanya menyulitkan masyarakat yang tidak mampu membayar vaksin, tetapi aparat penegak hukum dari Pemda DKI sendiri juga akan direpotkan dengan mekanisme pemidanaan tersebut.
Apalagi jika kita menghitung biaya dan upaya yang perlu dilakukan oleh masyarakat maupun aparat. Di tengah pandemi Covid-19 ini, justru sebisa mungkin aktivitas yang memerlukan interaksi sosial harus sangat ditekan.
Jangan dilupakan bahwa tujuan daripada vaksinasi adalah memberikan perlindungan maksimal kepada masyarakat.
Jika memang ingin “menghukum” masyarakat yang menolak vaksin, harus ditemukan solusi berupa sanksi lain. Sanksi tersebut haruslah lebih efektif, tidak bertentangan dengan UU No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, berperikemanusiaan, dan tidak bertabrakan dengan protokol kesehatan.
ADVERTISEMENT