Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Pendidikan untuk Ulama di Pedesaan pada Masa Penjajahan Jepang
21 April 2022 15:10 WIB
Tulisan dari Fahtur Rahman Syah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ulama merupakan pemuka agama Islam yang disegani dan dihormati. Sering kali ulama ataupun pemuka agama dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk berbagai kepentingan. Masuknya Jepang pada tahun 1942 disambut dengan gembira oleh masyarakat Indonesia. Namun lama-kelamaan perasaan gembira itu mulai berubah karena motif Jepang telah diketahui oleh berbagai pihak. Untuk mengatasi masalah tersebut Jepang melakukan propaganda dengan memanfaatkan ulama.
ADVERTISEMENT
Pemanfaatan ulama tersebut dikarenakan ketakutan Jepang akan gerakan-gerakan pemberontakan yang dilakukan oleh para ulama seperti pada pemerintahan Hindia Belanda. Untuk merealisasikan propaganda tersebut Jepang membentuk departemen independen bernama shumubu atau kantor urusan agama. Salah satu pemimpin shumubu adalah Kyai Hasyim Asy'ari. Shumubu awalnya hanya difokuskan pada penelitian dan persiapan terhadap Islam namun pada akhir 1942 mulai mengambil tindakan penuh dalam perkembangan Islam.
Dalam mengontrol ulama Islam didirikanlah seksi agama shumuka dikantor-kantor kerisedenan pada April 1944. Urusan agama yang dikelola shumuka berkaitan dengan perkawinan, peradilan, pengelolaan masjid dan zakat fitrah. Setelah pembembentukannya, pemimpin shumuka disetiap keresidenan dipanggil ke Jakarta untuk mengikuti konferensi pada 17-18 April 1944. Ada 6 tujuan shumuka yaitu:
ADVERTISEMENT
Hampir 1000 orang ulama dilatih dalam pelatihan khusus yang diberikan oleh Jepang. Pelatihan tersebut terdiri dari kuliah, tamasya, olahraga, menonton film dan lain sebagainya. Ulama-ulama pedesaan juga dikenalkan dengan budaya kota yang jarang mereka lihat dipedesaan. Setelah menyelesaikan pelatihan ini peserta akan diberikan sertifikat atau ijazah. Sertifikat ini memiliki wewenang kuat di masyarakat.
Pelatihan tersebut memiliki arti penting dalam perubahan peran ulama pedesaan. Ulama kemudian menjadi alat propaganda Jepang dalam kegiatan keagamaan. Dengan memanfaatkan kegiatan keagamaan Jepang memberikan materi propaganda politik melalui khotbah dari para ulama. Tugas ulama menjadi penting ketika propaganda 3A tidak lagi dapat mengakomodasi masyarakat dalam menarik simpatisan romusha. Salah satu contoh perubahan peran ulama terjadi pada Kiai Harun dari Banyuwangi yang memberikan ceramah kepada calon-calon romusha.
ADVERTISEMENT
Ulama juga berperan dalam mengarahkan kehidupan sosial masyarakat agar tidak terjadi permusuhan antara pangreh praja dan pemimpin politik sekular. Namun tujuan utamanya adalah tersebut untuk memadukan kekuatan kaum muslim dengan pangreh praja melalui penyatuan ulama ke dalam lembaga-lembaga semi pemerintahan dan memberikan peran utama kepada mereka.
Referensi :
Kurasawa, A. 2015. Kuasa Jepang di Jawa: Perubahan Sosial di Pedesaan 1942-1945. Depok:Komunitas Bambu
Fadila, M. R. dan Kumalasari, D. 2019. Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pada Masa Kependudukan Jepang. Sejarah dan Budaya, 13 (2), hlm. 189-205
Amanah. 2015. Kebijakan Jepang Terhadap Pendidikan Kaum Muslimin di Indonesia (1942-1945). Skripsi. Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah