Konten dari Pengguna

Politik Luar Negeri Indonesia Dalam Skema REDD+, Bagaimana Hambatannya?

Fairuz Lathifa
Mahasiswa Hubungan Internasional UPN Veteran Yogyakarta
9 Desember 2022 15:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fairuz Lathifa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Photo by Marita Kavelashvili on Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Photo by Marita Kavelashvili on Unsplash
ADVERTISEMENT
REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) adalah inisiatif negara maju sebagai produsen karbon yang cukup besar memberikan insentif terhadap negara berkembang. Negara berkembang ini nanti akan menggunakan insentif yang diberikan untuk berjuang melestarikan hutan dan lahan gambut yang dimilikinya. Skema REDD+ jadi satu dari solusi bagi negara maju yang tidak dapat menerapkan pengurangan produksi karbonnya karena kegiatan industri dalam negerinya yang cepat. Skema ini menarik untuk karena biasanya negara berkembang yang memiliki ketergantungan kepada negara maju, sekarang sebaliknya REDD+ menimbulkan kebutuhan dan ketergantungan negara maju kepada negara berkembang dalam bidang lingkungan.
ADVERTISEMENT
Indonesia merupakan negara dengan luas hutan terbesar ketiga di dunia. Sekaligus menjadi pemegang tingkat deforestrasi yang cukup tinggi. Sedangkan Norwegia merupakan negara yang terkenal dengan ekspor industri kertas. Selain kertas, Norwegia juga terkenal dengan ekspor logamnya. Dengan banyaknya aktivitas industri Norwegia, negara ini berperan sebagai pemerhati isu-isu terkait perubahan iklim.
Isu lingkungan hidup merupakan hal yang masih menjadi perbincangan baik dalam skala lokal maupun global. Banjir di Korea Selatan, Kebakaran di Amazon, dan gelombang panas yang terjadi di eropa mempercepat perubahan iklim dari planet ini. Usaha dalam strategi memperbaiki perubahan iklim menjadi lebih penting. Pendekatan yang dilakukan salah satunya adalah melalui insiatif REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation). Pengurangan emisi gas rumah kaca yang diakibatkan oleh deforestasi dan degradasi hutan ini dibantu dengan adanya pemberian insentif dana.
ADVERTISEMENT
Indonesia dengan kepemilikan hutan hujan tropis 479 ribu ha merupakan negara yang tergabung dalam Inisiatif REDD+ (Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2017). Namun, Indonesia merupakan satu diantara produsen gas emisi terbesar di dunia. Deforestasi dan degradasi terjadi pada hutan tropis Indonesia seluas 308 ribu ha. Selain itu, sering terjadi banyak kebakaran hutan akibat musim kemarau yang berkepanjangan yang menyebabkan sumbangan gas emisi dari Indonesia semakin bertambah. Penebangan liar, alih fungsi lahan, dan konsumsi hasil hutan yang tinggi juga menjadi penyebab dari deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia.
Sementara itu, Norwegia merupakan negara industri dengan tingkat kesadaran terhadap isu lingkungan yang cukup tinggi. Keterlibatan Norwegia dalam kerjasama mengenai isu-isu lingkungan dapat terlihat dari tergabungnya negara ini dalam program REDD+. Kenaikan permukaan air di wilayah artik dan habitat hewan yang terganggu akibat perubahan cuaca menunjukkan nyatanya dampak dari perubahan iklim terhadap negara Norwegia. Kerjasama yang dilakukan dalam bentuk pemberian bantuan dana sebesar 1 miliar dollar Amerika Serikat untuk menyelematkan keberadaan hutan hujan sekaligus fungsinya.
ADVERTISEMENT
Indonesia dan Norwegia sebagai anggota yang tergabung untuk menyukseskan inisiatif REDD+ ini menyepakati Letter of Intent (LoI) pada tahun 2009. Target yang yang tercapai adalah besar pengurangan emisi sebanyak 26% dan pemberian bantuan dana internasional sebanyak 41% . Proses berjalannya usaha pengurangan emisi dari aktivitas deforestasi dan degradasi memperlihatkan potensi yang bagus untuk terus dilanjutkan. Sehingga nantinya diharapkan dapat mencapai proses penstabilan iklim di bawah 2 derajat celcius secara global.
Selanjutnya pada tahun 2016-2017 Indonesia dapat dinilai sukses untuk pencapaian penurunan hingga 4,8 juta ton CO2eq emisi gas karbon. Diikuti dengan nilai yang lebih besar, pada tahun 2018-2020 penurunan emisi karbon mengalami peningkatan sebesar 11,2 juta ton CO2eq yang mana harga berdasarkan ketentuan World Bank per ton terhitung sebesar US$5. Sebagai insentif penurunan sebesar 26% Indonesia mendapatkan pembayaran sebesar US$ 56 juta atau setara dengan 840 milyar rupiah.
ADVERTISEMENT
Tantangan yang hadir dalam penerapan skema REDD+ sendiri adalah masih banyak daerah yang ada di Indonesia belum menerapkan program yang sudah direncanakan tersebut. Bagaimana bisa tercapai? Diperlukan adanya bantuan dan keterlibatan dari pemerintah daerah untuk memantau penerapan skema program REDD+ agar dapat berjalan efektif. Kerjasama ini direncanakan selesai pada tahun 2016, namun sampai dengan saat ini masih terus diusahakan untuk dilakukan peningkatan. Hambatan lainnya adalah penebangan hutan dalam skala besar di beberapa daerah yang masih terjadi secara terus-menerus.
Selain itu, alam yang merupakan sumber utama perekonomian Indonesia. Alam memberikan kontribusi 70% sumber pendapatan non-pajak Indonesia. Investor asing adalah satu diantara penyumbang devisa negara. Sehingga hal ini membuat banyaknya pergantian lahan menjadi sektor-sektor industri.
ADVERTISEMENT
Hambatan selanjutnya adalah bagaimana administrasi pemerintah pusat dan daerah. Dalam praktiknya menjalani birokrasi dalam perizinan untuk pengelolaan lahan hutan. Kesepakatan penerapan skema ini akan diperpanjang sampai dengan 2030. Indonesia berhasil untuk menunjukkan komitmennya dalam proses realisasi dari kesepakatan penurunan emisi. Norwegia masih mempercayakan hal ini kepada Indonesia sekaligus pemberian insentif sebesar US$1 milyar untuk penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 41%.