news-card-video
10 Ramadhan 1446 HSenin, 10 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Tax Amnesty Jilid III: Kebijakan atau Keistimewaan bagi Pelanggar Pajak?

FAISAL BAHRUL MUHIT
Mahasiswa D-IV Manajemen Keuangan Negara PKN STAN
2 Februari 2025 13:56 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari FAISAL BAHRUL MUHIT tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar ilustrasi AI
zoom-in-whitePerbesar
Gambar ilustrasi AI
ADVERTISEMENT

"Taxation without representation is robbery."

Kutipan ini mencerminkan ketidakadilan dalam sistem perpajakan yang tidak berpihak pada masyarakat. Pajak adalah kewajiban yang harus dibayar setiap warga negara, namun bagaimana jika ada sekelompok orang yang dengan sengaja menghindari pajak, lalu diberikan pengampunan begitu saja?
ADVERTISEMENT
Tax Amnesty atau Program Pengampunan Pajak bagi mereka yang belum melaporkan harta atau membayar pajak dengan benar, bukanlah kebijakan yang baru oleh pemerintah Indonesia. Secara historis Tax Amnesty pertama kali diterapkan pada tahun 1964, tepatnya era Presiden Soekarno bertujuan untuk mengembalikan dana revolusi. Kemudian tahun 1984 pada era Presiden Soeharto program Tax Amnesty kembali dilakukan untuk mengubah sistem perpajakan dari Official Assesment System menjadi Self Assessment System. Pada tahun 2016 Indonesia menerapkan program Tax Amnesty yang cukup berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, yaitu dengan dikeluarkannya Undang -Undang Nomor 11 tahun 2016 memberikan ampunan baik sanksi administrasi, pemeriksaan pajak, dan sanksi pajak bagi wajib pajak yang selama ini absen membayar pajak dan tidak pernah melaporkan kekayaannya dengan benar.
ADVERTISEMENT
Mengapa Tax Amnesty dapat Menimbulkan Masalah?
Program Tax Amnesty mulai menjadi perbincangan hangat oleh para pengamat kebijakan di Indonesia, karena program ini adalah kali ke-3 tepatnya tahun 2025 Tax Amnesty atau Pengampunan Pajak akan dilaksanakan untuk memberikan kesempatan kepada wajib pajak yang melanggar aturan untuk terbebas dari sanksi. Berdasarkan pengalaman Tax Amnesty Jilid I tahun 2016 tujuan awal Presiden Jokowi untuk menarik dana Rp11.000 triliun dari Luar Negeri tidak tercapai. Hasil repatriasi yang dilaporkan pada tax amnesty jilid I hanya mencapai Rp146 triliun. Pada Tax Amnesty Jilid II pada tahun 2022 dengan nama pengungkapan sukarela (PPS) rasio pajak terhadap PDB Indonesia hanya bergerak stagnan di kisaran 10%. Kemudian Pemerintah berencana mengadakan Tax Amnesty Jilid III pada tahun 2025 tidak ada jaminan bahwa penerapan program Tax Amnesty yang ketiga kalinya akan berhasil meningkatkan rasio pajak hingga target 23%. Jika dilakukan terlalu sering, justru kebijakan ini dapat mengurangi penerimaan pajak jangka panjang karena para wajib pajak menunggu pengampunan berikutnya.
ADVERTISEMENT
Studi kasus dari penerimaan pengampunan pajak dari India yang rutin dilaksanakan mulai dari tahun 1952, 1965, 1975, 1981, 1985, 1986, 1991, dan terakhir pada 1997 menunjukkan kegagalan. Karena masyarakat sudah tidak percaya dengan sistem perpajakan setelah kebijakan serupa diterapkan berulang kali tanpa dampak yang signifikan. Padahal rasio penerimaan pajak India terhadap PDB sedikit lebih besar dari Indonesia yaitu kisaran 11% namun hasilnya Tax Amnesty yang berulang kali dilaksanakan dengan jangka waktu yang sangat dekat dapat menyebabkan moral hazard atau tingkat kepatuhan wajib pajak semakin berkurang.
Apakah Tax Amnesty sudah Sesuai dengan UU KUP?
Meskipun Tax Amnesty diatur dalam UU No. 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, implementasinya tetap berkaitan erat dengan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Ada beberapa aspek penting dalam UU KUP yang menunjukkan bahwa Tax Amnesty tidak sejalan dengan prinsip dasar perpajakan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dalam Pasal 1 ayat 1 UU KUP, pajak didefinisikan sebagai kontribusi wajib kepada negara yang bersifat memaksa tanpa adanya imbalan langsung. Sehingga setiap wajib pajak harus mematuhi aturan tanpa pengecualian. Tentunya Tax Amnesty yang dilakukan berulang kali bertentangan dengan asas kepatuhan ini, karena hanya menguntungkan mereka yang sebelumnya tidak patuh sementara wajib pajak yang patuh hukum tetap membayar pajak secara penuh tanpa adanya kompensasi apapun.
Pasal 8 ayat 1 UU KUP juga menjelaskan bahwa wajib pajak diperbolehkan membetulkan Surat Pemberitahuan (SPT) dengan inisiatif sendiri, tanpa harus menunggu program Tax Amnesty. Jika ada kekurangan bayar dalam pembetulan SPT wajib pajak cukup membayar kekurangan tersebut beserta sanksi administrasi. UU KUP sudah mengatur untuk memberikan kesempatan bagi wajib pajak untuk memperbaiki kesalahannya tanpa harus menghilangkan sanksi seperti dalam Tax Amnesty, serta tetap memberikan konsekuensi bagi wajib pajak yang lalai.
ADVERTISEMENT
Kemudian Pasal 36 UU KUP memberikan kewenangan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk mengurangi atau menghapus sanksi administrasi dalam keadaan tertentu, misalnya wajib pajak memiliki alasan yang sah atau melalui mekanisme yang resmi tidak diberikan secara massal seperti dalam program Tax Amnesty. Jika Tax Amnesty Jilid III di tahun 2025 kembali dilaksanakan membuat peraturan dalam Pasal 36 UU KUP menjadi tidak efektif, karena dapat menyebabkan moral hazard atau wajib pajak cukup menunggu Amnesty berikutnya tanpa perlu mengikuti prosedur resmi pengurangan sanksi pajak.
Alternatif Solusi yang Adil dan Efektif
Pemerintah khususnya Presiden Prabowo Subianto, disarankan untuk mempertimbangkan ulang kebijakan dengan mengkaji lebih matang. Penerapan Tax Amnesty dalam waktu singkat sejak Jilid II akan menimbulkan kecurigaan publik bahwa kebijakan ini lebih bernuansa politik daripada kepentingan ekonomi nasional. Fokus harus dialihkan pada reformasi perpajakan yang lebih adil, bukan hanya memberi keuntungan bagi wajib pajak yang selama ini tidak patuh.
ADVERTISEMENT
Banyak wajib pajak di Indonesia, terutama pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM), tidak membayar pajak bukan karena niat untuk menghindar, tetapi karena sistem perpajakan yang ada saat ini dianggap rumit dan sulit diakses. Dengan Reformasi Sistem Perpajakan yang Lebih Transparan dan Adil melalui penyederhanaan aturan dan prosedur perpajakan menjadi solusi agar masyarakat lebih mudah memahami dan mengakses pembayaran dan pelaporan pajak.
Salah satu kelemahan terbesar dari Tax Amnesty adalah memberikan keuntungan bagi wajib pajak yang selama ini tidak taat, sementara mereka yang telah patuh selama bertahun-tahun tidak mendapatkan apa pun. Untuk menyelesaikan permasalahan ini, pemerintah seharusnya lebih fokus pada pemberian insentif bagi wajib pajak yang selalu melaporkan pajaknya dengan benar dan tepat waktu. Misalnya potongan tarif pajak bagi UMKM yang selalu melapor tepat waktu atau memprioritaskan dalam pengurusan izin bagi perusahaan yang taat membayar pajak.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan
Berdasarkan UU KUP sudah memiliki mekanisme yang cukup untuk menangani wajib pajak yang kurang patuh tanpa harus menunggu program Tax Amnesty atau pengampunan pajak. Tax Amnesty justru merusak prinsip kepastian hukum dan keadilan yang diatur dalam UU KUP. Penerapan Tax Amnesty yang berulang kali justru mengakibatkan moral hazard bagi wajib pajak, dimana mereka lebih memilih untuk menunda pembayaran pajak karena berharap siklus Tax Amnesty akan terus berlanjut dalam beberapa tahun kedepan.
Oleh karena itu, Pemerintah seharusnya lebih fokus untuk memperkuat penegakan hukum pajak, menyederhanakan sistem perpajakan agar lebih transparan dan mudah diakses, serta memberikan insentif kepada wajib pajak yang selama ini selalu taat dalam membayar pajak. Dengan langkah-langkah ini, asas kepatuhan pajak dapat tetap terlaksana dan meningkatkan kepatuhan pajak secara berkelanjutan, tanpa harus mengorbankan prinsip keadilan dalam sistem perpajakan.
ADVERTISEMENT