Konten dari Pengguna

Politik Identitas dalam Pemilu 2024: Tantangan Demokrasi dan Integrasi Sosial

Faisal Dudayef
Pendidikan Sosiologi (S1) Universitas Sultan Ageng Tirtayasa , Ilmu Komunikasi (S2) Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
27 Maret 2023 5:59 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Faisal Dudayef tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Warga menggunakan hak politiknya ketika mengikuti Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilu 2019 di TPS 02, Pasar Baru, Jakarta, Sabtu (27/4). Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
zoom-in-whitePerbesar
Warga menggunakan hak politiknya ketika mengikuti Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilu 2019 di TPS 02, Pasar Baru, Jakarta, Sabtu (27/4). Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
ADVERTISEMENT
Pemilihan umum atau pemilu merupakan salah satu wujud pelaksanaan demokrasi dalam negara Indonesia. Namun, pemilu juga kerap diwarnai oleh politik identitas dapat mengancam stabilitas demokrasi dan integrasi sosial.
ADVERTISEMENT
Pada pemilu 2019, politik identitas telah meningkat dan menunjukkan dampak signifikan pada hasil pemilihan dan kondisi sosial-politik pasca-pemilu.
Dalam menghadapi pemilu 2024, tantangan politik identitas menjadi hal yang krusial untuk diperhatikan agar demokrasi dan integrasi sosial dapat terjaga. Perpecahan dan konflik sosial, pengabaian isu-isu nasional dan kepentingan publik, serta berkembangnya politisasi agama menjadi tantangan yang harus diatasi.
Politik identitas dapat didefinisikan sebagai strategi atau taktik politik yang berfokus pada identitas kelompok tertentu, seperti agama, etnis, gender, orientasi seksual, atau status sosial. Tujuannya adalah untuk memobilisasi dukungan politik dari kelompok-kelompok ini dengan menekankan persamaan dan perbedaan yang melekat pada identitas mereka.
Ilustrasi politik identitas. Foto: Shutter Stock
Menurut Francis Fukuyama dalam bukunya "Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment" (2018), politik identitas adalah bentuk politik yang didasarkan pada identitas kelompok, seperti etnis, agama, jenis kelamin, atau orientasi seksual.
ADVERTISEMENT
Politik identitas muncul ketika kelompok-kelompok tersebut merasa tidak terwakili dalam politik dan institusi negara, sehingga mereka berjuang untuk mengeklaim hak mereka sebagai kelompok dan mengejar kepentingan kelompoknya.
Oleh karena itu, Fukuyama menekankan pentingnya membangun politik yang inklusif dan menghormati keberagaman identitas kelompok dalam masyarakat, namun juga menghindari polarisasi yang berpotensi mengancam keamanan dan stabilitas negara.
Sedangkan menurut Agnes Haller mengambil definisi politik identitas sebagai konsep dan gerakan politik yang fokus perhatiannya adalah perbedaan (difference) sebagai suatu kategori politik yang utama. Setelah kegagalan narasi besar (grand narative), ide perbedaan telah menjanjikan suatu kebebasan (freedom), toleransi dan kebebasan bermain (free play), meskipun kemudian ancaman baru muncul.
Politik perbedaan menjadi suatu nama baru dari politik identitas; rasisme (race thinking), biofeminimisme dan perselisihan etnis menduduki tempat yang terlarang oleh gagasan besar lama. Berbagai bentuk baru intoleransi, praktik-praktik kekerasan pun muncul.
ADVERTISEMENT

Melacak Politik Identitas di Indonesia

Ilustrasi politik identitas. Foto: Shutter Stock
Politik identitas dalam pemilihan di Indonesia telah muncul sejak masa Orde Baru. Pada masa itu, pemerintah menggunakan politik identitas untuk mengukuhkan kekuasaannya. Salah satu contohnya adalah penggunaan SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) untuk memecah belah masyarakat dan menjaga stabilitas kekuasaan.
Setelah masa Orde Baru berakhir, politik identitas masih tetap menjadi isu yang krusial dalam pemilihan di Indonesia. Pemilihan presiden tahun 2014 dan 2019, misalnya, banyak dilihat sebagai pertarungan antara kandidat yang mewakili identitas Jawa dan non-Jawa.
Politik identitas memiliki peran yang besar dalam kampanye pilpres 2019. Bahkan, dapat dikatakan bahwa data dan fakta dinilai tidak banyak meningkatkan suara electoral. Politik identitas kerap kali digunakan sebagai senjata dalam memenangkan suara masyarakat. Adanya politik identitas dalam pemilu terbukti melahirkan polarisasi yang tajam (Ardipandanto, 2020).
ADVERTISEMENT
Exit Poll Indikator Politik terhadap 2.975 responden yang memberikan hak pilihnya pada tahun 2019 memberikan gambaran terpecahnya masyarakat di Indonesia.
Presiden Joko widodo menerima Wakil Presiden Ma'ruf Amin di Istana Merdeka, Jakarta pada Senin (9/5/2022). Foto: Kris/Biro Pers Sekretariat Presiden
Indikator menemukan bahwa kelompok muslim tradisionalis dan nonmuslim cenderung memilih Joko Widodo dan Ma’ruf Amin, sedangkan muslim modernis cenderung memilih Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno.
Pemilih nonmuslim yang memilih Jokowi dan Ma’aruf Amin naik 15 persen menjadi 97 persen dibandingkan pada tahun 2014. Demikian juga dengan pemilih yang dekat dengan NU memilih Jokowi-Ma’ruf. Pada Pilpres 2019, 56 persen warga Nahdiyin mengaku memilih Jokowi-Ma’ruf, naik 12 persen dibandingkan pemilu pada tahun 2014.
Sebaliknya, Prabowo-Sandiaga menang telak di kalangan warga Muhammadiyah, Persis, dan ormas-ormas modernis lainnya. Dikarenakan oleh politik identitas ini pemilih sudah memutuskan pilihannya jauh sebelum masa kampanye terbuka dimulai (Ristianto, 2019).
ADVERTISEMENT
Hal ini tentu membuktikan bahwa penggunaan politik identitas masih menjadi cara yang efektif bagi para kontestan pemilu dalam menarik suara masyarakat.

Tantangan Demokrasi dan Integrasi Sosial

Ilustrasi seminar politik. Foto: Shutter Stock
Jika politik identitas tidak diatur dengan baik, maka akan memicu konflik dan polarisasi di masyarakat. Hal ini dapat mengancam stabilitas negara dan merusak kerukunan sosial. Selain itu, politik identitas yang tidak terkendali dapat memperkuat stereotip dan prasangka yang telah ada, sehingga memperburuk kondisi sosial dan politik.
Dalam konteks pemilu, politik identitas yang tidak terkendali dapat menyebabkan masyarakat memilih calon berdasarkan identitas mereka, bukan karena kualitas dan kapasitas calon.
Hal ini dapat mengurangi kualitas kepemimpinan dan memperlemah demokrasi, karena calon yang dipilih mungkin tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat secara keseluruhan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, politik identitas yang tidak terkendali juga dapat menghambat diskusi dan dialog yang terbuka, yang pada akhirnya dapat menghalangi upaya integrasi sosial.
Oleh karena itu, dibutuhkan upaya untuk mengatasi tantangan politik identitas pada pemilu 2024. Langkah-langkah yang dapat diambil antara lain adalah memperkuat pendidikan politik yang mendorong nilai-nilai demokrasi dan toleransi, memperkuat lembaga-lembaga demokrasi seperti KPU dan Bawaslu, mendorong partai politik untuk mempromosikan pemilihan yang adil dan demokratis, serta memanfaatkan media sosial untuk mendukung dialog dan diskusi yang membuka kesempatan bagi berbagai pandangan dan opini.
Dengan mengambil langkah-langkah tersebut, diharapkan politik identitas pada pemilu 2024 dapat diatur dengan baik dan tidak memicu konflik dan polarisasi di masyarakat. Selain itu, upaya ini juga dapat memperkuat demokrasi dan integrasi sosial di Indonesia.
ADVERTISEMENT