Konten dari Pengguna

Apa yang Bisa Kamu Harapkan dari Internet?

26 Februari 2017 4:12 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Faisal Fathur tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Kemajuan teknologi, khususnya internet, dengan segala isinya menghadirkan sikap dilematis seperti itu. Mungkin Anda memiliki teman yang pada siang harinya getol memanfaatkan internet untuk merampungkan skripsi. Mulai dari mencari jurnal, e-book gratisan, hingga penelitian-penelitian lama untuk di-copas metodologinya. Lalu, pada malamnya, Anda sepertinya juga paham, bahwa teman Anda si kampret nan pervert itu mulai memanfaatkan internet untuk berselancar pornografi. Pelampiasan jenuh, katanya. Singkatnya, internet menghadirkan dua sisi yang cukup paradoks. Satu manusia bisa menyerap yang positif dan negatif sekaligus. Itu semua berdasarkan hukum moralitas tentunya.
Belakangan ini saya sedang tertarik dengan isu-isu kemajuan teknologi yang kerap memunculkan pertanyaan: Benarkah kemajuan teknologi sungguh menghadirkan kemajuan pola pikir terhadap para penggunanya? Belum lama mantan presiden kebanggaan kita, Susilo Bambang Yudhoyono, misuh-misuh di linimasa akibat “merasa” disadap. Padahal, semestinya ia juga paham, sejak 2013 lalu dirinya sudah “dibombardir” oleh badan intel Australia. Informasi tersebut berasal dari salah satu pembangkang paling fenomenal dekade ini, Edward Snowden. Namun, jangan gegabah terlebih dahulu. Saya tidak ingin membicarakan SBY yang sepertinya banyak dirundung gelisah belakangan ini. Fenomena menariknya adalah apakah internet, kemajuan zaman, globalisasi, dan kehidupan tanpa sekat lainnya tak ayal hanya akan membuat kita tampak bodoh di mata satu sama lain?
ADVERTISEMENT
Jika Anda merasa ubun-ubun ingin pecah saat melihat om-tante kompak berbagi kabar hoax di grup WhatsApp keluarga, gumoh saat melihat teman hobi bersiar langsung via Instagram padahal cuma disaksikan 2 orang, atau mungkin jengah saat kenalan yang tidak akrab-akrab banget ternyata doyan nimbrung di postingan media sosial Anda. Tentulah semua itu sungguh belum ada apa-apanya dibanding absurditas dunia maya sepenuhnya. Sampai sini berbagai pertanyaan kembali menggerayangi kepala saya, mengapa kita mesti saling terbuka dan berjejaring hingga sejauh ini? Dan, apakah masih ada ruang privasi yang cukup di dunia maya yang menjadi panutan generasi milenial belakangan?
Berkaca pada apa yang dikisahkan Snowden bahwa nyatanya sangat besar kemungkinan bagi salah satu pihak untuk menyadap pihak lainnya. Sudah ada teknologi yang mampu meretas kamera web, perbincangan telepon, dan lainnya. Kita mestinya paham bahwa kemajuan teknologi sesungguhnya hadir membawa persoalan yang pelik. Mark Zuckerberg, si empunya Facebook itu saja, tidak percaya sepenuhnya dengan teknologi. Ia sehari-hari akrab dengan teknologi tapi ia merasa tak sepenuhnya percaya dengan apa yang digunakannya. Mengutip The Guardian, dalam salah satu postingan di media sosialnya, Zuckerberg memposting ruang kerja yang ia miliki. Sekilas cukup biasa, tetapi jika diperhatikan ada yang menarik dari perangkat keras yang digunakan Zuckerberg. Ia menutup kamera web pada laptop dan saluran microphone-nya dengan solasi. Apakah Mark Zuckerberg merasa tak aman dengan privasinya?
ADVERTISEMENT
Lain hal yang diurai dalam dokumenter Deep Web (Alex Winter, 2015). Internet yang selama kita kenal ini hanyalah surface web, dan di luar itu, terdapat deep web sebagai dasar dari internet yang tidak terlihat. Ada perumpamaan yang mengatakan bahwa deep web adalah dasar/pondasi gunung es yang tertutup oleh perairan. Sungguhlah deep web memang jauh lebih luas daripada surface web itu sendiri. Lebih spesifik, terdapat area tersembunyi dari deep web yang disebut dark net. Area tersebut mesti diakses menggunakan perangkat lunak TOR (The Onion Router) yang dahulu digunakan oleh militer AS. Sekalipun kini, TOR sudah menjadi perangkat open source yang didanai oleh publik.
Terlihat gelap dan penuh kebebasan, deep web tak sepenuhnya buruk. Ia menjadi tempat privasi banyak hal. Mulai bank data instansi pemerintah, jurnalis, dan aktivis di banyak belahan dunia pun menggunakan deep web. Sedikit merefleksi bahwa hadirnya deep web juga dapat dikatakan sebagai antitesa arus umum internet yang minim privasi. Banyak orang membutuhkan interaksi tanpa perlu pihak ketiga (dalam artian operator jaringan, pemerintah, intel, dsb.) untuk ikut-ikutan mengetahui.
ADVERTISEMENT
Satu contoh yang menarik adalah apa yang telah dilakukan Silk Road di Amerika. Pada 2011 iklan Silk Road pertama kali muncul di dark net. Silk Road adalah platform jual beli barang, tetapi yang paling umum ditransaksikan adalah narkoba. Untuk melanggengkan misinya, Silk Road menggunakan mata uang anonim bernama Bitcoin. Bitcoin cukup aman sebab tak terdeteksi dengan aturan pemerintah dan bank. Yang jika dipahami lebih mendalam, para pengguna Silk Road tidak menjual barang dengan maksud membahayakan orang yang tidak bersalah atau membawa orang yang tak bersalah ke pasar. Ada kedewasaan yang mereka anut sekalipun yang ditransaksikan dianggap ilegal dalam hukum positif.
Dan jika memang benar demikian, kasus cepu-mencepu seperti yang terjadi di pasar narkoba di dunia nyata tidak mungkin akan terjadi dalam Silk Road. Satu hal besar yang dapat digarisbahawi dari kehadiran Silk Road adalah bukan pada aspek legalitas hukum transaksi narkoba yang sejatinya dibentuk oleh pemerintah. Kehadiran Silk Road sesungguhnya dapat dibaca sebagai upaya jalan tengah, jika tak ingin disebut menentang, terhadap berbagai aturan yang telah mengekang kebebasan individu. Silk Road adalah wujud libertarian dan crypto-anarchy yang layak dikaji lebih jauh pada dekade ini.
ADVERTISEMENT
Telalu pelik memang dan itu kembali menghadirkan banyak persoalan yang dapat dipertanyakan tindak-tanduknya lebih mendalam juga spesifik. Seperti potensi penyadapan lain yang sempat dicurigakan pada Google Street View misal, urgensi terhadap ilmuan masa kini yang diupayakan tidak hanya menguasai sains, tetapi juga ilmu komputer, perihal pemberontakan terhadap kebudayaan/aturan yang telah mapan, kesadaran untuk menghormati privasi, hingga upaya memahami berbagai peristiwa di internet sebelum gegabah berkomentar.
Sayang, di Indonesia sendiri, kepedulian itu rasanya masih jauh. Bangsa ini masih mandek pada aspek moralitas, baik-buruk, haram-halal, kofar-kafir, dll. seperti pada kasus pemblokiran situs pornografi yang jelas terlihat sebagai upaya sia-sia. Banyak uang sudah digelontorkan. Padahal hampir semua pengguna internet jelas tahu, bahkan mesin pencari Google pun dengan siaga membantu bila kemudian pertentangannya hanya untuk melepas blokiran. Sayang, jika untuk mengatasi persoalan seperti ini saja kita masih keblinger, bagaimana negara ini mampu menghadapi gejolak dunia siber yang sejatinya lebih kompleks lagi? Mungkin Bapak Rudiantara tahu jawabannya. Ada sepeda gratis bila jawabannya benar kok, Pak.
ADVERTISEMENT
(sumber: https://www.theguardian.com/technology/2016/jun/22/mark-zuckerberg-tape-webcam-microphone-facebook)