Konten dari Pengguna

Siapa Tokoh Dibalik Kesuksesan Karir Politik Jaka Tingkir?

2 Oktober 2024 11:38 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Faisal Muhammad Safii tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Sungai yang Dilewati Jaka Tingkir (Sumber: https://pixabay.com/id/photos/sungai-pohon-hutan-batang-pohon-977476/)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Sungai yang Dilewati Jaka Tingkir (Sumber: https://pixabay.com/id/photos/sungai-pohon-hutan-batang-pohon-977476/)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Di bawah kepemimpinan Jaka Tingkir yang dikenal dengan gelar Sultan Hadiwijaya, Kerajaan Pajang mengalami perkembangan signifikan di berbagai sektor, termasuk politik, ekonomi, agama, seni, dan budaya.
ADVERTISEMENT
Dalam ranah politik, pada abad ke-16, pengaruh Kerajaan Pajang meluas hingga mencakup wilayah pesisir utara Jawa, seperti Surabaya, Sedayu, Tuban, Demak, Jepara, Pati, Pemalang, Tegal, serta daerah pedalaman Jawa seperti Madiun, Kediri, Banyumas, Kedu, Bagelen, dan Mataram (Bambang Purwanto, 2017). Dapat dikatakan bahwa pada tahun 1580, hampir seluruh kerajaan di Pulau Jawa, kecuali Blambangan, telah berada di bawah kekuasaan Sultan Pajang, Jaka Tingkir (Fahmi, 2019).
Dalam aspek ekonomi, Kerajaan Pajang dikenal sebagai pusat penghasil beras. Sistem irigasi pertanian berfungsi dengan baik, didukung oleh aliran dari kali Pepe, kali Dengkeng, dan sungai Bengawan Solo, yang menghasilkan panen melimpah (Dede Maulana, 2015). Lebih lanjut, Jaka Tingkir juga berhasil mengembangkan perdagangan yang berlandaskan pada kebudayaan melalui Bandar Laweyan, di mana ia mendukung pembentukan kampung-kampung yang menghasilkan kerajinan, seperti kampung batik Laweyan dan kampung mutihan (Rokhman, 2013).
ADVERTISEMENT
Dalam hal keagamaan, Kerajaan Pajang secara resmi mengadopsi ajaran manunggaling kawula gusti yang diajarkan oleh Syekh Siti Jenar (Fahmi, 2019). Sementara itu, dalam bidang seni dan budaya, Kerajaan Pajang berhasil mengakulturasi unsur-unsur budaya Jawa, Hindu, Buddha, dan Islam, yang melahirkan berbagai produk seni dan budaya, seperti seni wayang, tradisi slametan, grebeg sekaten, serta arsitektur masjid Laweyan di Surakarta (M. Fajar Shodiq, 2023).
Kemajuan Kerajaan Pajang diperoleh melalui kepemimpinan dan pengelolaan pemerintahan yang efektif oleh Jaka Tingkir. Di bawah arahannya, Kerajaan Pajang mampu meraih puncak kejayaannya. Sebagai individu yang hidup dalam masyarakat, Jaka Tingkir tentu memerlukan dukungan serta bantuan dalam perjalanan karir politiknya. Oleh karena itu, siapa yang menjadi tokoh kunci di balik keberhasilan karir politik Jaka Tingkir?
ADVERTISEMENT
Masa Muda Jaka Tingkir
Jaka Tingkir, yang dikenal dengan nama kecil Mas Karebet, adalah putra dari Ki Ageng Kebokenanga, seorang penguasa di Pengging. Dalam kisah yang beredar, kelahiran Mas Karebet terjadi bersamaan dengan pertunjukan wayang berber, di mana saat itu cuaca sangat ekstrem dengan hujan deras, angin kencang, dan munculnya pelangi. Bayi tersebut memiliki wajah yang sangat menawan, dengan sinar yang cerah yang mencerminkan kemuliaan dan derajat yang tinggi. Kesan ini sangat mendalam bagi Ki Ageng Tingkir, saudara dari Ki Ageng Kebokenanga, ketika ia pertama kali menggendong bayi yang diberi nama Mas Karebet (Wayan Susetya, 2011).
Setelah kehilangan kedua orang tuanya, Mas Karebet diambil alih oleh Nyi Ageng Tingkir, istri dari Ki Ageng Tingkir yang telah meninggal. Dalam perannya, Mas Karebet turut serta dalam berbagai aktivitas keluarga, seperti bertani, menggembala hewan, dan mengumpulkan kayu. Ia tumbuh menjadi seorang pemuda yang berani dan gemar bertapa. Sejak diasuh oleh Nyi Ageng Tingkir, Mas Karebet dikenal dengan sebutan Jaka Tingkir, yang berarti lelaki dari Tingkir. Atas saran ibunya, Jaka Tingkir bertolak ke Selo (sebuah desa kecil yang terletak di tenggara Grobogan) untuk berguru kepada Ki Ageng Selo (A. Harris Himawan, et.al, 2020)
ADVERTISEMENT
Perjalanan Karir Politik Jaka Tingkir
Setelah memiliki kecukupan ilmu, Jaka Tingkir diperintahkan Ki Ageng Selo untuk mengabdi ke Demak. Ketika di Demak, Jaka Tingkir memperdalam agama Islam pada Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga (M. Irfan Riyadi & Rokamah, 2022). Ketiga guru Jaka Tingkir ini, Ki Ageng Selo, Sunan Kudus, dan Sunan Kalijaga berperan penting dalam menggembleng kesaktian dan bakat politik Jaka Tingkir.
Hasilnya, Jaka Tingkir akhirnya diangkat sebagai komandan prajurit khusus (lurah wiratamtama) di Kerajaan Demak. Namun, karirnya tidak berlangsung lama karena ia dipecat dan diusir oleh Sultan Trenggono, raja Kerajaan Demak yang ketiga. Kerajaan Demak menilai bahwa Jaka Tingkir telah "melampaui batas" dalam proses seleksi penerimaan prajurit kerajaan, yang mengakibatkan tewasnya salah satu peserta bernama, Dadung Awuk (A. Harris Himawan, et.al, 2020).
ADVERTISEMENT
Selama masa pengusiran, Jaka Tingkir belajar kepada Ki Ageng Butuh, Ki Ageng Ngerang, dan Ki Gede Banyubiru di pedalaman pulau Jawa, khususnya di daerah Sragen dan Sukoharjo (Soepana, 1973). Di bawah bimbingan gurunya, Jaka Tingkir diarahkan untuk menuju Prawata sebelum kembali ke Demak. Perjalanan tersebut dilakukan dengan menggunakan rakit atau gethek, di mana dalam tembang sigra milir, digambarkan bahwa ia dikawal oleh 40 buaya putih yang berada di depan, belakang, serta di samping kanan dan kiri, sementara rakitnya bergerak perlahan.
Setibanya di Prawata, Jaka Tingkir mendapati bahwa Sultan Trenggono masih berada di sana dan belum kembali ke Demak. Ia kemudian mencari Kebo Danu. Setelah menemukannya, Jaka Tingkir memasukkan tanah dari Majasta ke dalam mulut Kebo Danu. Kebo tersebut kemudian mengamuk di pesanggrahan Prawata, merusak tempat tersebut dan menyerang orang-orang di sekitarnya (A. Harris Himawan, et.al, 2020).
ADVERTISEMENT
Sultan Trenggono melihat Jaka Tingkir dan memerintahkannya untuk menundukkan kerbau yang mengamuk itu. Berkat kecerdasan dan kesaktiannya, Jaka Tingkir berhasil mengalahkan Kebo Danu. Sebagai imbalan atas jasanya, Sultan Trenggono memberikan pengampunan dan memulihkan nama baik Jaka Tingkir, serta mengembalikannya ke posisinya sebagai lurah wiratamtama di Kerajaan Demak. Karir politik Jaka Tingkir semakin meningkat ketika ia menikahi putri Sultan Trenggono, sehingga ia diangkat sebagai adipati di Pajang (A. Harris Himawan, et.al, 2020).
Pada tahun 1546, Sultan Trenggono meninggal dunia dan posisinya diambil alih oleh putranya, Sunan Prawata. Sekitar tahun 1549, Sunan Prawata dibunuh oleh seorang pembunuh bayaran yang disewa oleh Arya Penangsang (Mahfud, et.al, 2015). Selain menghilangkan nyawa Sunan Prawata dan keluarganya, Arya Penangsang juga membunuh suami Ratu Kalinyamat, Pangeran Hadiri. Tindakan ini memicu kemarahan Ratu Kalinyamat, yang kemudian meminta bantuan kepada Adipati Pajang, Jaka Tingkir.
ADVERTISEMENT
Jaka Tingkir merespons dengan mengadakan sayembara untuk menumpas Arya Penangsang, menawarkan tanah perdikan, yaitu Mentaok dan Pati, kepada siapa saja yang berhasil membunuhnya. Sayembara ini diikuti oleh Ki Ageng Pemanahan, Danang Sutawijaya, Ki Ageng Penjawi, dan Ki Juru Martani (Anung Jati, et.al, 2020).
Pada tahun 1554, Ki Ageng Pemanahan bersama anak dan sahabatnya berhasil menewaskan Arya Penangsang. Setelah kematian Arya Penangsang, Jaka Tingkir sebagai penguasa Pajang muncul sebagai sosok yang dapat memulihkan stabilitas di Demak. Meskipun demikian, ia tidak mengklaim sebagai penguasa Demak, melainkan melanjutkan kekuasaannya di Pajang yang terletak di pedalaman sebagai pusat kekuasaan baru di Jawa (Bambang Purwanto, 2017). Pada tahun 1581 – 1582, Jaka Tingkir secara resmi dilantik sebagai raja oleh Sunan Giri Prapen dengan persetujuan dari kerajaan-kerajaan Islam penting lainnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur (M. Irfan Riyadi & Rokamah, 2022).
ADVERTISEMENT
Kesuksesan Karir Politik Jaka Tingkir, Ada Peran Wali dan Ulama?
Dari penjelasan mengenai perjalanan karir politik Jaka Tingkir di atas, dapat diidentifikasi tiga fase penting dalam karir politiknya, yaitu sebagai lurah wiratantama, adipati Pajang, dan raja Kerajaan Pajang. Selain berperan sebagai wali, penulis berpendapat bahwa Jaka Tingkir merupakan seorang politisi yang sangat mahir.
Jaka Tingkir berhasil memanfaatkan koneksi ayahnya, Ki Ageng Kebokenanga, untuk mendukung kemajuan karir politiknya. Dengan bimbingan dari teman ayahnya, Ki Ageng Selo, serta Sunan Kalijaga, Jaka Tingkir mampu meraih posisi sebagai komandan pasukan khusus di Kerajaan Demak pada masa Sultan Trenggono.
Ketika Jaka Tingkir dipecat dari jabatannya sebagai lurah wiratantama, para sahabat ayahnya tidak tinggal diam; mereka berupaya membantu Jaka Tingkir untuk mendapatkan kembali posisinya. Di antara mereka terdapat Ki Ageng Butuh, Ki Ageng Ngerang, dan empat puluh ulama daerah, yang diibaratkan sebagai empat puluh buaya putih.
ADVERTISEMENT
Menurut Yaser M. Arafat, dalam tradisi tasawuf Jawa, buaya melambangkan para Ki Ageng yang bertugas mengatasi masalah tolak bala. Dalam konteks perjalanan spiritual, para "buaya" ini menempati ruang-ruang dalam proses lelaku setya tuhu marang gusti. Hanya setia kepada Sang Pangeran Gusti Allah.
Merujuk pada pandangan Purwadi (2004) yang mengutip Babad Jaka Tingkir, terdapat empat puluh individu yang merupakan sahabat seperguruan Ki Ageng Kebokenanga saat beliau menuntut ilmu di bawah bimbingan Syekh Siti Jenar, mereka adalah Ki Gede Banyubiru, Ki Gede Getasaji, Ki Gede Balak, Ki Gede Kayupuring, Ki Gede Butuh, Ki Gede Jati, Ki Gede Argoloka, Ki Gede Petalunan, Ki Gede Pringapus, Ki Gede Nganggas, Ki Gede Wanapala, Ki Gede Paladadi, Ki Gede Ngambat, Ki Gede Karangwaru, Ki Gede Babadan, Ki Gede Wanantara, Ki Gede Majasta, Ki Gede Tambakbaya, Ki Gede Baki, Ki Gede Tembelang, Ki Gede Karanggayam, Ki Gede Selandaka, Ki Gede Purwasada, Ki Gede Kebokangan, Ki Gede Kenalas, Ki Gede Waturante, Ki Gede Taruntum, Ki Gede Pataruman, Ki Gede Banyuwangi, Ki Gede Puma, Ki Gede Wanasaba, Ki Gede Kare, Ki Gede Gegulu, Ki Gede Candi di gunung Pragota, Ki Gede Adibaya, Ki Gede Karurungan, Ki Gede Jatingalih, Ki Gede Wanadadi, Ki Gede Tambangan, Ki Gede Ngampuhan, dan Ki Gede Bangsri Panengah.
ADVERTISEMENT
Berkat dukungan dari rekan-rekan ayahnya, karir politik Jaka Tingkir mengalami kemajuan pesat. Ia tidak hanya berhasil mengembalikan posisinya, tetapi juga menikahi putri Sultan Trenggono dan diangkat sebagai adipati di Pajang. Selanjutnya, Jaka Tingkir menjabat sebagai raja Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijaya.
Ketika Arya Penangsang tewas di tangan sahabat seperguruannya, Jaka Tingkir memindahkan pusat pemerintahan dari Demak ke Pajang. Tindakan ini mendapat penolakan dari Sunan Kudus, sementara Sunan Kalijaga memberikan dukungan penuh terhadap keputusan politik muridnya tersebut.
Kesimpulan
Jaka Tingkir adalah seorang keturunan bangsawan yang banyak belajar dari sahabat dan teman ayahnya, Ki Ageng Kebokenanga. Karir politiknya dimulai sebagai lurah wiratantama, kemudian menjabat sebagai adipati Pajang, dan akhirnya menjadi raja Kerajaan Pajang. Keberhasilan Jaka Tingkir dalam meniti karir tersebut tidak terlepas dari dukungan wali dan ulama yang merupakan sahabat ayahnya serta gurunya, seperti Ki Ageng Selo, Sunan Kalijaga, Ki Ageng Butuh, Ki Ageng Ngerang, dan empat puluh tokoh ulama daerah .
ADVERTISEMENT