Konten dari Pengguna

Antara Diplomasi Infrastruktur Korea Utara dan Indonesia di Afrika

Faisal Rachman
Diplomat Indonesia
3 Agustus 2019 12:03 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Faisal Rachman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mansudae Grand Monument. Monumen utama di Pyongyang, biasanya saat hari-hari besar warga Pyongyang meletakkan bunga dan membungkuk memberi hormat di depan patung kedua pemimpin besar mereka (Foto: Dok. Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Mansudae Grand Monument. Monumen utama di Pyongyang, biasanya saat hari-hari besar warga Pyongyang meletakkan bunga dan membungkuk memberi hormat di depan patung kedua pemimpin besar mereka (Foto: Dok. Pribadi)
ADVERTISEMENT
Semua orang yang datang berkunjung ke Pyongyang, Korea Utara, entah itu untuk sekadar berwisata atau untuk bekerja (seperti saya) pasti akan langsung terpesona dengan banyaknya bangunan-bangunan monumental di kota itu.
ADVERTISEMENT
Ke mana pun anda pergi di Pyongyang atau kota-kota lain di Korea Utara anda akan dengan mudah bertemu dengan monumen-monumen dan patung-patung yang mengagungkan kedua pemimpin besar mereka (Kim Il Sung dan Kim Jong Il) maupun ideologi Sosialis Korea Utara.
Gaya seni yang digunakan dalam pembuatan patung-patung dan monumen-monumen tersebut disebut gaya “Sosialis-Realisme” atau “Stalinis-Realisme”. Realisme di sini merujuk kepada bagaimana karya seni tersebut menyerupai objek aslinya (real). Kalau kita melihat ekspresi patung-patung di Korea Utara, kita akan dengan mudah melihat betapa patung-patung itu dibuat sangat natural menyerupai manusia asli.
Gaya seni Sosialis Realisme ala Korea Utara menekankan pada impresi optimistik manusia seperti yang bisa kita lihat di Pyongyang Martyrs Cemetery ini. Korea Utara juga membangun kompleks pemakaman pahlawan model seperti ini di dua negara Afrika, yakni di Zimbabwe dan Namibia (Foto: Dok. Pribadi)
Patung-patung dan monumen-monumen di Korea Utara tersebut dibuat oleh Mansudae Art Studio, studio seni Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Korea Utara yang khusus mengerjakan karya-karya seni termasuk pembangunan patung-patung, monumen-monumen, dan proyek infrastruktur lainnya.
ADVERTISEMENT
Studio seni yang berdiri di Pyongyang sejak tahun 1959 tersebut mempekerjakan 4.000 seniman terbaik dari seluruh Korea Utara dan membuat banyak karya seni dari mulai lukisan, porselen, patung sampai monumen-monumen propaganda.
Namun tahukah anda kalau divisi internasional BUMN yang bernama Mansudae Overseas Projects, juga telah mengerjakan proyek-proyek pembangunan monumen-monumen dan patung-patung di Afrika? Dan tahukah anda kalau Mansudae Overseas Projects merupakan salah satu penyumbang pendapatan dari negara yang terus didera sanksi internasional ini?
Dalam beberapa kali kunjungan saya ke Mansudae Art Studio selama bertugas di Pyongyang-lah saya pertama kalinya mendengar mengenai proyek-proyek infrastruktur Korea Utara di Afrika mulai dari patung-patung, monumen-monumen, pusat budaya, museum, sampai ke istana presiden. Dari sini pula saya pertama kali belajar mengenai istilah “Diplomasi Infrastruktur”.
ADVERTISEMENT
Tunggu dulu!
Monumen-monumen dan patung-patung juga termasuk proyek infrastruktur? Kalau anda berpikir seperti itu, mungkin karena anda belum pernah mendengar istilah "Social Infrastructure" yaitu infrastruktur yang ditujukan untuk mendukung kegiatan-kegiatan sosial seperti kesehatan, pendidikan, rekreasi, dan turisme. Dalam hal ini rumah sakit, sekolah, taman, tempat wisata, dan karya seni seperti monumen-monumen dan patung-patung peringatan termasuk ke dalam Social Infrastructure.
Monument to the Party Founding, monumen pendirian Partai Pekerja Korea yang merupakan salah satu ikon kota Pyongyang ini dibangun oleh Mansudae Art Studio (Foto: Dok. Pribadi)
“Kehadiran” Korea Utara di Afrika: Bukan Hanya Melulu Politik
African Renaissance Monument di Dakar, Senegal, salah satu dari banyak karya Mansudae Art Studio di Afrika (Foto: Wikimedia Commons)
Kehadiran Korea Utara di benua Afrika sering kali diidentikkan dengan kepentingan politik mereka untuk mencari teman dan sekutu di tengah-tengah deraan sanksi PBB serta AS (dan sekutu-sekutunya) terkait program nuklir mereka. Beberapa negara Afrika merupakan teman dekat Korea Utara ketika dahulu negara-negara tersebut masih menganut ideologi Sosialis-Komunis.
ADVERTISEMENT
Hingga saat ini, Korea Utara sendiri memiliki 13 kedutaan besar di Afrika (3 di Afrika Utara dan 10 di Afrika Sub-Sahara). Namun keberadaan Korea Utara di Afrika bukan hanya melulu kepentingan politik saja. Afrika juga menjadi sumber pendapatan penting bagi ekonomi mereka.
Patung Samora Machel di Maputo, Mozambik. Siapa yang menyangka kalau patung tokoh kemerdekaan Mozambik ini buatan Korea Utara (Foto: Wikimedia Commons)
Dari mulai mengirim instruktur militer, dokter-dokter, dan perawat, Korea Utara melihat potensi ekonomi Afrika yang bisa menjadi sumber aliran kas negara mereka yang sedang kesulitan akibat diimpit sanksi internasional. Di luar itu semua, Mansudae Overseas Projects sudah wara-wiri membangun proyek-proyek infrastruktur di negara-negara Afrika.
Proyek-proyek tersebut mulai dari Dr. Agostinho Neto Cultural Center di Luanda (Angola), Patung Behanzin di Benin, Three Dikgosi Monument di Gaborone (Botswana), Patung Laurent Kabila di Republik Demokratik Kongo, Monumen Tigalchin di Addis Ababa (Ethiopia), Patung Samora Machel di Maputo (Mozambik), African Renaissance Monument di Dakar (Senegal), dan pemakaman National Heroes Acre di Zimbabwe.
ADVERTISEMENT
Yang paling menarik adalah Namibia, di mana BUMN Korea Utara tersebut membangun empat proyek yakni Heroes’ Acre, Okahandja Military Museum, Istana Presiden Namibia, dan Independence Memorial Museum.
State House of Namibia atau istana kepresidenan Namibia di Windhoek. Bagi saya yang sudah pernah tinggal dua tahun di Korea Utara, pola pagar istana presiden ini sangat familiar, karena istana ini juga merupakan karya Mansudae Overseas Projects. (Foto: Wikipedia)
Banyak bukan?
ADVERTISEMENT
Bagi Korea Utara, proyek-proyek di Afrika jelas sangat menguntungkan. Pengerjaan proyek-proyek itu mempekerjakan desainer, insinyur, seniman, pengrajin, dan pekerja konstruksi orang Korea Utara seluruhnya. Sementara itu bagi negara-negara Afrika, pengerjaan proyek-proyek oleh Mansudae Overseas Projects akan lebih menghemat anggaran (salah satunya karena upah tenaga kerja Korea Utara yang jauh lebih murah) daripada dikerjakan oleh konstruktor negara-negara lain.
Kepercayaan yang diraih oleh Korea Utara melalui proyek-proyek yang diberikan kepada Mansudae Overseas Projects sedikit meningkatkan image negara tersebut yang sering diidentikan dengan nuklir, kelaparan, negara yang sangat isolatif dengan pemerintahan otoriter yang mengekang kebebasan rakyatnya. Nyatanya karya-karya mereka ada yang meminati.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain pengalaman Korea Utara mengerjakan patung-patung dan monumen-monumen dengan gaya seni Sosialis-Realis disukai oleh beberapa negara Afrika yang menginginkan patung-patung monumental mereka mirip manusia asli, apalagi jika patung itu adalah tokoh nasional mereka.
The Three Dikgosi Monument di Gaborone, Botswana. Patung tiga tokoh nasional negara itu juga merupakan salah satu “jejak” Korea Utara di Afrika. (Foto: Wikimedia Commons)
Keberadaan proyek-proyek infrastruktur Korea Utara tersebut tentunya banyak di antara kita baru kali ini mengetahuinya. Tidak mengherankan sebetulnya, karena yang mengherankan adalah jika kita belum mengetahui proyek-proyek infrastruktur Indonesia di Afrika. Ya, proyek-proyek infrastruktur dari negara kita sendiri di Afrika. Indonesia dengan BUMN-BUMN-nya juga telah bergerak di negara-negara Afrika.
BUMN-BUMN Indonesia tersebut telah mengerjakan proyek-proyek infrastruktur yang memang memberikan manfaat langsung bagi ekonomi dan kesejahteraan masyarakat di negara-negara Afrika, seperti pembangunan jalan raya, perumahan, perawatan pesawat, maupun proyek lainnya yang tidak bersifat memorial atau monumental belaka.
ADVERTISEMENT
Epilog: Diplomasi Infrastruktur Indonesia ke Afrika dan Infrastruktur Diplomasi Indonesia di Afrika
Tulisan saya ini bukanlah untuk membandingkan Indonesia dan Korea Utara yang jelas tidak apple to apple dari segi sistem demokrasi, ideologi-politik-ekonomi-sosial-budaya maupun postur politik dan ekonomi di dunia internasional. Namun ada dua hal penting yang dapat menjadi catatan bagi kita.
Yang pertama adalah kalau Korea Utara saja sudah sejak lama memandang penting Afrika dari segi ekonomi, sudah saatnya Indonesia juga bisa lebih melihat potensi besar ekonomi Afrika termasuk dalam proyek-proyek infrastruktur (tidak harus membangun monumen atau patung-patung tentunya).
Langkah-langkah ini sudah dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam tahun-tahun terakhir ini sebetulnya, termasuk dalam penyelenggaraan Indonesia-Africa Forum (IAF), 10-11 April 2018 lalu yang menghasilkan kesepakatan bisnis senilai USD 586,86 juta. Hal yang sangat menarik untuk dicatat adalah 5 dari 10 kesepakatan bisnis tersebut merupakan proyek infrastruktur.
ADVERTISEMENT
Dari sini bisa terlihat bahwa terdapat kebutuhan pembangunan infrastruktur di Afrika pada satu sisi, dan di sisi lain Indonesia dengan BUMN-BUMN-nya memiliki kemampuan untuk mengerjakan proyek-proyek infrastruktur tersebut.
KBRI Antananarivo di Madagaskar, salah satu dari 10 kedutaan besar yang dimiliki Indonesia di Afrika Sub-Sahara yang terdiri atas 46 negara (Foto: Dok. Pribadi)
Hal kedua yang perlu menjadi perhatian bagi peningkatan “kehadiran” Indonesia di Afrika adalah jumlah perwakilan diplomatik kita di benua tersebut atau infrastruktur diplomasi kita saat ini.
Sampai saat ini, Indonesia hanya memiliki 10 kedutaan besar (KBRI) di Afrika Sub-Sahara yang terdiri atas 46 negara (tidak termasuk Afrika Utara) yakni di Dakar, Abuja, Addis Ababa, Nairobi, Dar Es Salaam, Maputo, Harare, Antananarivo, Windhoek, dan Pretoria. Dalam hal ini, KBRI Antananarivo di Madagaskar malah sudah sejak lama hanya dipimpin oleh kepala perwakilan selevel KUTAP (Kuasa Usaha Tetap) alih-alih seorang Duta Besar.
ADVERTISEMENT
Jumlah ini sama dengan Korea Utara yang juga memiliki 10 kedutaan besar di Afrika Sub-Sahara (Conakry, Accra, Abuja, Malabo, Addis Ababa, Kampala, Dar Es Salaam, Luanda, Kinshasa, dan Pretoria).
Fakta ini sangat mencengangkan tentunya, mengingat di satu sisi Indonesia memiliki postur politik dan ekonomi yang jauh lebih besar dari Korea Utara. Namun tingkat keterwakilannya di Afrika Sub-Sahara ternyata tidak jauh berbeda.
Penyelenggaraan Indonesia-Africa Infrastructure Dialogue (IAID), 20-21 Agustus 2019 di Bali yang akan memfokuskan pada kerja sama di bidang infrastruktur dengan negara-negara Afrika hendaknya menjadi momentum yang tepat untuk meningkatkan diplomasi infrastruktur Indonesia ke Afrika sekaligus meningkatkan infrastruktur diplomasi Indonesia di Afrika.
#IAIDBali2019