Konten dari Pengguna

Cerita dari Mauritius: Burung Dodo dan Diplomasi Ekonomi Indonesia

Faisal Rachman
Diplomat Indonesia
27 Juli 2019 15:26 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Faisal Rachman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Letak negara pulau Mauritius di peta dunia (Foto: Wikimedia)
zoom-in-whitePerbesar
Letak negara pulau Mauritius di peta dunia (Foto: Wikimedia)
Bonsoir monsier, bienveneu au Maurice! (Selamat malam tuan, selamat datang di Mauritius!)," sahut petugas Bandara Internasional Sir Sewoosagoor Ramgoolam dalam bahasa Perancis, setibanya saya keluar dari pesawat. Kalau anda berpikir bahwa yang mengucapkan kata tersebut adalah seorang bule Perancis atau orang berkulit hitam dari Afrika Barat bekas jajahan Perancis, anda salah besar.
ADVERTISEMENT
Yang mengucapkan kalimat tersebut adalah seorang wanita berwajah keturunan India, seperti kebanyakan petugas bandara dan orang-orang setempat yang saya temui hari itu. Namun, anda juga salah kalau mengira saya mendarat di India atau di negara Asia Selatan lainnya. Saya sedang berada di Mauritius, sebuah negara pulau dengan penduduk 1,3 juta jiwa yang juga merupakan salah satu dari 54 negara di Afrika dan juga anggota Uni Afrika.
Burung Dodo yang punah di abad ke-17 merupakan simbol nasional Mauritius (Foto: Dok. Pribadi)
Kalau pun anda pernah suatu ketika di masa lalu mendengar mengenai Mauritius, itu pastilah mengenai burung Dodo (sudah punah) yang dulu pernah hidup di pulau ini. Burung tersebut tidak dapat terbang karena sebelum kedatangan manusia, burung itu tidak memiliki predator murni.
Ketidakmampuannya untuk terbang ini kemudian menjadikan burung Dodo menjadi sasaran predator, seperti tikus dan anjing, yang dibawa masuk oleh manusia, dan akhirnya membawa spesies burung ini musnah di abad ke-17. Burung ini sering dijadikan metafor bahwa kegagalan untuk terus berubah (berevolusi) akan membuat anda punah.
ADVERTISEMENT
Mauritius untungnya tidak bernasib sama seperti burung yang hingga saat ini menjadi simbol nasional negara tersebut. Berbeda dengan burung Dodo yang gagal berevolusi dan akhirnya punah, Mauritius terus berubah. Dari negara miskin yang tergantung dengan hasil perkebunan tebu saat merdeka di tahun 1968, hingga menjadi negara maju destinasi wisata internasional dan hub keuangan serta teknologi informasi di Afrika.
Dalam tulisan kali ini, saya akan menceritakan mengenai keunikan negara pulau kecil di Samudera Hindia tersebut.
Pantai di Mahebourg, ibu kota lama Mauritius (Foto: Dok. Pribadi)
Anomali Kolonialisme: Melihat Sisi Lain Afrika di Mauritius
Berkunjung ke Mauritius kita mungkin tidak akan terlalu merasa di Afrika. Betapa tidak, mayoritas penduduk Mauritius adalah etnis India yang nenek moyangnya dulu didatangkan oleh kolonial Inggris dari jajahan mereka di India.
ADVERTISEMENT
Melintasi Kota Mahebourg, ibu kota negara tersebut sebelum pindah ke Port Louis, kita lebih akan merasa berada di India. Kiri-kanan jalan kita akan melihat kuil Hindu, masjid kaum muslim, atau pun pasar yang dipenuhi orang-orang berpakaian sari dan pakaian tradisional India lainnya.
Raju, seorang supir taksi yang membawa saya dari Bandara Internasional Sir Sewoosagoor Ramgoolam, mengatakan bahwa ia merupakan generasi ketiga orang India, yang mana kakek buyutnya berasal dari Provinsi Andhra Pradesh di selatan India. Orang-orang India tersebut dulunya dibawa oleh Inggris untuk mengerjakan perkebunan tebu yang sekarang masih menghiasi bentang alam negara pulau tersebut.
Suasana malam di Port Louis, Ibu Kota Mauritius (Foto: Dok. Pribadi)
Dengan penduduk mayoritas keturunan India, Mauritius menjadi satu-satunya negara Afrika dengan mayoritas Hindu. Kuil Hindu dengan mudah dapat ditemukan di sini seperti di tepi pantai ini. (Foto: Dok. Pribadi)
Namun jangan salah, anda mungkin tidak akan mendengar orang bercakap dalam bahasa Hindi atau Tamil. Meskipun Pasal 49 Konstitusi Mauritius menyebutkan secara implisit bahwa Inggris dan Perancis adalah bahasa resmi, mayoritas warga Mauritius berbicara sehari-hari dalam bahasa Creole yang merupakan percampuran bahasa Perancis, Inggris, dialek India dan Afrika.
ADVERTISEMENT
Hal ini menjadikan keunikan tersendiri bagi Mauritius di mana penduduknya umumnya multilingual. Semua pegawai hotel menyapa saya dan berbicara dalam bahasa Perancis, sopir-sopir taksi berbicara dengan saya dalam bahasa Inggris, dan di restoran saya mendengar orang berbicara dalam bahasa Creole.
Mauritius sejatinya adalah sebuah anomali kolonialisme. Bagaimana tidak, pulau yang tadinya tidak dihuni manusia tersebut akhirnya sekarang menjadi sebuah negara berdaulat dengan masyarakat multikultural yang terdiri atas orang keturunan India, Afrika, Tionghoa, dan Eropa (Inggris dan Perancis), serta berbicara dalam berbagai bahasa.
Pulau ini baru ditemukan oleh pelaut Arab dan kemudian Portugis, namun keduanya tidak menetap di pulau tersebut. Barulah orang Belanda yang kemudian menamai pulau tersebut 'Mauritius' yang diambil dari nama Pangeran Maurits Van Nassau, menduduki pulau tersebut dari tahun 1638 sampai tahun 1710.
ADVERTISEMENT
Perancis yang kemudian berkuasa sampai tahun 1810 mendatangkan orang-orang Afrika ke pulau itu dan mewajibkan bahasa Perancis sebagai bahasa resmi, sehingga sampai saat ini masih bisa diucapkan oleh kurang lebih 70 persen pulau itu.
Inggris menjadi penjajah terakhir yang menguasai pulau itu sampai akhirnya merdeka pada tahun 1968. Inggris-lah yang membawa banyak pekerja dari India yang akhirnya menjadi penduduk mayoritas di pulau tersebut hingga hari ini.
Pantai Grand Port di Kota Mahebourg, Ibu Kota Mauritius sebelum pindah ke Port Louis (Foto: Dok. Pribadi)
Singapura-nya Afrika: Diversifikasi Ekonomi Mauritius yang Membuahkan Hasil
Dari sudut pandang ekonomi, Mauritius juga menunjukkan sisi lain dari Afrika yang selama ini sering diidentikkan dengan kemiskinan dan ketertinggalan. Dengan pendapatan per kapita di tahun 2018 mencapai USD 11,238, Mauritius merupakan negara terkaya di Afrika. Mauritius jauh sekali dari kesan miskin atau pun tertinggal.
ADVERTISEMENT
Dengan sekilas melihat gedung-gedung perbankan, perusahaan-perusahaan multinasional, dan kantor-kantor asing di Cyber City dalam perjalanan dari bandara menuju Port Louis, kita akan langsung mendapatkan kesan bahwa Mauritius adalah negara maju.
Everyone get job here, Sir (Semua orang punya pekerjaan di sini, Tuan),” seru Raju dengan bangganya.
Tidak lupa, ia menjelaskan sejarah setiap sudut Pulau Mauritius selama perjalanan tersebut dan bagaimana Mauritius bertransformasi dari negara penghasil tebu menjadi pusat keuangan dan teknologi informasi di Afrika dan Samudera Hindia.
Pantai Blue Beach, salah satu dari banyak pantai yang menjadi tujuan wisatawan asing ke Mauritius (Foto: Dok. Pribadi)
Dengan tingkat ekonomi, pendapatan per kapita yang tinggi, dan posisinya sebagai hub perdagangan serta keuangan, Mauritius dijuluki sebagai 'Singapura-nya Afrika'. Dalam pengelolaan ekonominya, ada kesamaan antara Mauritius dan Singapura, khususnya terkait diversifikasi ekonominya.
ADVERTISEMENT
Sama seperti Singapura yang tidak menggantungkan pada satu sektor ekonomi saja, Mauritius setidaknya memiliki empat sektor ekonomi utama: keuangan, industri (tekstil), perkebunan (tebu), dan teknologi informasi.
Sektor pariwisata merupakan sumber pendapatan yang sangat penting bagi Mauritius. Keindahan alam berupa pantai-pantai dan pegunungannya bahkan membuat Mark Twain, sastrawan AS termasyhur (pengarang novel Petualangan Tom Sawyer dan Petualangan Huckleberry Finn) menyebut bahwa Tuhan menciptakan Mauritius dulu baru kemudian menciptakan surga, dengan mengopi Mauritius.
Namun, Mauritius kemudian melebarkan sayap ekonominya dengan mengembangkan industri tekstil, jasa keuangan, dan yang terbaru: teknologi informatika.
Diversifikasi ekonomi ini membuat ekonomi Mauritius relatif lebih stabil dibandingkan negara-negara lainnya yang tergantung pada satu sektor atau komoditas. Selain itu, dalam hal kemudahan bisnis, Pemerintah Mauritius juga memberlakukan undang-undang penanaman modal yang bersahabat bagi investor asing.
ADVERTISEMENT
Dengan kemudahan untuk berbisnis dan berinvestasi, serta politik dalam negeri yang stabil, banyak perusahaan multinasional yang membuka kantornya di negara ini. Bahkan Organisasi Negara-negara Samudera Hindia, IORA (di mana Indonesia dan Mauritius termasuk di dalamnya) menjadikan Mauritius sebagai markasnya.
Epilog: Indonesia dan Mauritius, Jauh Tapi Sesungguhnya Dekat
Dengan pantai-pantainya yang indah, laut yang tenang, dan kualitas udara nomor 2 di dunia, Mauritius menjadi salah satu tujuan utama wisata di Afrika. (Foto: Dok. Pribadi)
Lantas, apa artinya saya terus membicarakan negara pulau di Samudera Hindia yang secara geografis jauh dari negara kita? Yang pertama sekali adalah Mauritius sesungguhnya tidak jauh dari Indonesia, setidaknya secara ekonomi.
Dengan nilai investasi USD 267,86 juta pada 127 proyek di tahun 2018, Mauritius adalah investor ke-15 terbesar di Indonesia, dan yang terbesar di antara ke-54 negara di Benua Afrika. Di sisi lain, terdapat pula beberapa perusahaan Indonesia yang berinvestasi di Mauritius, khususnya di bidang keuangan. Tentunya, tidak banyak orang yang tahu mengenai fakta-fakta ini.
ADVERTISEMENT
Yang kedua adalah dalam tahun-tahun terakhir ini Pemerintah Indonesia semakin menunjukkan perhatian serius kepada negara-negara Afrika yang selama ini sering dianggap pasar non-tradisional dan kurang memiliki nilai ekonomi signifikan bagi Indonesia.
Namun, penyelenggaraan Indonesia-Africa Forum (IAF) 10-11 April 2018 lalu yang menghasilkan kesepakatan-kesepakatan bisnis senilai USD 586,86 juta, membuka mata kita semua mengenai potensi kerja sama ekonomi dengan negara-negara Afrika.
Pemandangan Kota Mahebourg, ibu kota lama Mauritius. Siapa yang menyangka bahwa negara pulau kecil yang terletak di sisi lain dari Samudera Hindia ini merupakan investor nomor 15 terbesar di Indonesia (Foto: Dok. Pribadi)
Diplomasi ekonomi Indonesia memang sudah seharusnya terus berevolusi agar tidak kehilangan relevansi dengan perkembangan zaman dan kemudian musnah seperti burung Dodo Mauritius. Perubahan tersebut dapat dimulai dengan secara cerdik mengeksplorasi pasar non-tradisional yang selama ini kurang dilirik seperti Afrika.
Pada tanggal 20-21 Agustus 2019 nanti di Bali, Pemerintah Indonesia akan menyelenggarakan Indonesia-Africa Infrastructure Dialogue (IAID) yang merupakan kelanjutan dari IAF.
ADVERTISEMENT
IAID ini tentunya akan menjadi momen yang tepat untuk terus meningkatkan kerja sama ekonomi Indonesia dengan negara-negara Afrika, termasuk dengan Mauritius, 'Singapura-nya Afrika'. Semoga setelah penyelenggaraan IAID nanti hubungan Indonesia dan Mauritius akan semakin dekat.
#IAIDBali2019 #IndonesiaAfrica
Suasana tempat perbelanjaan dekat Waterfornt di Port Louis (Foto: Dok. Pribadi)