Konten dari Pengguna

Christchurch dan Runtuhnya 5 Mitos Terorisme

Faisal Rachman
Diplomat Indonesia
30 Maret 2019 10:38 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Faisal Rachman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Suasana Masjid Al-Noor, Deans Avenue, Christchurch. Foto: Instagram @syahmisazali
zoom-in-whitePerbesar
Suasana Masjid Al-Noor, Deans Avenue, Christchurch. Foto: Instagram @syahmisazali
ADVERTISEMENT
Serangan teroris di dua masjid di Christchurch, Selandia Baru, pada 15 Maret 2019, sangat mengejutkan banyak orang di dunia, termasuk di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pertama, pelaku menyerang saat umat Islam sedang menjalankan ibadah salat Jumat. Akibatnya, 50 orang tewas di kedua masjid tersebut. Sebagai masyarakat yang tinggal di negara berpenduduk mayoritas muslim, yang akrab dengan ibadah salat Jumat tiap pekannya, tragedi Christchurch terasa sangat dekat dengan orang Indonesia.
Kedua, tindakan biadab tersebut terjadi di Selandia Baru, negara yang terkenal damai dan jauh dari berita mengenai kekerasan. Selandia Baru selalu berada di peringkat atas dalam hal Indeks Perdamaian Global (Global Peace Index), dan bahkan pernah dinobatkan sebagai “negara paling Islami” di dunia.
Aksi teror di Christchurch yang dilakukan seorang pendatang Australia ini (saya tidak akan pernah menyebutkan namanya), jelas merupakan tamparan keras bagi citra positif yang telah dibangun oleh Selandia Baru selama ini.
ADVERTISEMENT
Dari sudut pandang Studi Terorisme, aksi Teror di Christchurch ini sekaligus menjadi konfirmasi bagi beberapa aspek yang dinilai menjadi bagian integral suatu tindakan terorisme. Sebut saja adanya tindakan kekerasan, adanya sasaran tertentu (dalam kasus Christchurch adalah kaum muslim dan imigran), adanya publisitas (si pelaku ingin agar manifestonya diketahui publik), serta tidak adanya penyesalan dari si pelaku.
Namun, aksi Teror Christchurch juga sekaligus meruntuhkan beberapa kepercayaan atau mitos yang selama ini dilekatkan dengan terorisme. Dalam tulisan kali ini, saya akan memaparkan beberapa mitos mengenai terorisme yang runtuh (atau kembali runtuh) oleh tindakan terorisme di Christchurch.
Tragedi WTC 9/11 Foto: REUTERS/Brad Rickerby
Pasca-Peristiwa 9/11, yakni peristiwa serangan dua Gedung Kembar di New York, 11 September 2001, terorisme sering diidentikkan dengan Islam dan pemeluknya. Mitos ini terus berkembang seiring dengan gelombang Islamofobia di negara-negara barat.
ADVERTISEMENT
Faktanya adalah pelaku terorisme bisa merupakan pemeluk agama apa pun, meskipun semua agama dari pelaku terorisme tersebut mengajarkan perdamaian, melarang tindakan menghilangkan nyawa manusia, dan mewajibkan menghormati sesama manusia.
Sebelum Peristiwa 9/11, ada contoh tindakan terorisme yang dilakukan oleh Gerakan Pembebasan Macan Eelam Tamil (LTTE) yang menginginkan kemerdekaan bagi suku Tamil (yang beragama Hindu) atas Sri Lanka (yang mayoritas beragama Buddha). LTTE-lah yang memperkenalkan tindakan bom bunuh diri, termasuk yang menewaskan Perdana Menteri India waktu itu, Rajiv Gandhi.
Sebelum 9/11, kelompok teroris yang sering mencuat dalam pemberitaan di media massa adalah Irish Republican Army (IRA), paramiliter komunitas Katolik di Irlandia Utara selama konflik sektarian di negara bagian Inggris tersebut dari tahun 1969-1998.
ADVERTISEMENT
Sewaktu saya belajar konterterorisme di Belfast, Irlandia Utara, saya ingat kata-kata salah seorang profesor saya. Katanya, sebelum 9/11, terorisme identik dengan Irlandia Utara, IRA, dan orang Irlandia, dan tidak ada hubungannya dengan agama tertentu.
Pengeboman, aksi-aksi penembakan, serta pembunuhan yang dilakukan oleh IRA selama periode itu tidak lantas menjadikan terorisme identik dengan agama Katolik. Begitu pula dengan aksi serupa dari paramiliter komunitas Protestan di Irlandia Utara seperti UVF tidak lantas membuat terorisme diidentikkan dengan agama Protestan.
Teroris tidak punya agama!
Kita sering mendengar pernyataan itu setiap kali tindakan terorisme terjadi. Tindakan keji di Christchurch yang dilakukan oleh seorang white supremacist dan secara sadar mengincar muslim yang sedang melaksanakan salat Jumat, hendaknya mempertegas pemahaman kita bahwa terorisme bisa menyasar siapa saja dan bisa dilakukan oleh siapa saja, tidak peduli apa agama pelaku dan korbannya.
Ilustrasi bom bunuh diri Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Mitos lainnya yang terkenal mengenai terorisme adalah bahwa pelaku terorisme umumnya adalah aktor non-negara (non-state actors), khususnya organisasi teroris, seperti Al-Qaeda, ISIS, atau di masa lalu dilakukan oleh IRA di Irlandia Utara, LTTE di Sri Lanka, Baader Meinhof-gang di Jerman, Tentara Merah Jepang, dan lain sebagainya.
Teror di Christchurch yang dilakukan oleh seorang pendatang Australia tersebut sekali lagi mempertegas adanya teroris individual, atau sering disebut Lone Wolf Terrorist.
Kita kembali diingatkan oleh sosok-sosok seperti Baruch Goldstein yang juga menembaki orang yang sedang salat di Hebron, Palestina, pada tahun 1994, dan menewaskan 29 jemaah; Anders Behring Breivik yang membantai 77 orang di Norwegia pada tahun 2011; dan Timothy McVeigh yang melakukan pengeboman di Kota Oklahoma pada tahun 1995 yang menewaskan 168 orang.
ADVERTISEMENT
Mereka semua melakukan teror karena dorongan dari dalam diri mereka pribadi dan bukan karena menjadi bagian suatu kelompok teroris.
Goldstein, Breivik, McVeigh, dan teroris Christchurch menjadi contoh bagaimana seseorang yang tidak menjadi anggota maupun memiliki kaitan apapun dengan suatu kelompok teroris dapat melakukan tindakan terorisme. Mereka juga menjadi contoh bagaimana suatu kebencian mendalam yang disimpan di dalam hati tanpa pernah dikomunikasikan dengan siapa pun akhirnya bertransformasi menjadi tindakan teror.
Selama ini, terorisme diidentikkan dengan negara-negara yang memiliki indeks perdamaian yang rendah. Mulai dari negara-negara yang secara bertahun-tahun dibelit perang saudara atau konflik bersenjata, seperti Irak, Suriah, dan Afghanistan. Atau negara dengan kemudahan mendapatkan senjata api seperti Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT
Teror di Christchurch sangat mengejutkan semua orang di dunia salah satunya adalah karena tindakan tersebut terjadi di Selandia Baru, salah satu negara teraman dan terdamai di dunia. Global Peace Index, lembaga pemeringkat keamanan negara-negara di dunia menempatkan Selandia Baru di posisi kedua di belakang Islandia, sebagai negara paling damai di dunia.
Memang betul, Selandia Baru termasuk negara yang mengizinkan kepemilikan senjata api terdaftar oleh rakyat sipil. Namun, pembunuhan dengan senjata api dalam jumlah besar di Selandia Baru terjadi terakhir pada tahun 1990 (Aramoana Massacre) dan angka pembunuhan di negara itu juga kecil dengan rata-rata 7 orang per 1 juta orang di tahun 2017.
Port Hills, Christchurch, Selandia Baru. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Tindakan-tindakan terorisme di Eropa seperti di Inggris, Perancis, dan Belgia dilakukan oleh para imigran. Hal ini dijadikan generalisasi bahwa pengungsi dan imigran yang pindah ke Eropa, memiliki tingkat pendidikan dan ekonomi yang rendah serta tidak berasimilasi dengan baik dengan masyarakat setempat menjadikan mereka mudah tertarik dengan radikalisme yang berujung pada terorisme.
Sesaat setelah tragedi di Christchurch, Senator Australia asal negara bagian Queensland, Anning Fraser, bahkan menyebutkan gelombang imigrasi muslim ke Selandia Baru sebagai alasan di balik serangan teror tersebut, meskipun yang menjadi korban adalah kaum muslim yang sedang melaksanakan salat Jumat.
Namun, teror di Christchurch merupakan suatu paradoks dan antitesis dari mitos semacam itu. Justru, para korban teroris adalah mereka yang memiliki latar belakang pengungsi dan imigran yang datang ke Selandia Baru, yang kemudian menetap.
ADVERTISEMENT
Pelakunya sendiri yang notabene merupakan seorang WN Australia yang baru tinggal 3 tahun di Selandia Baru, menjadikan teror di Christchurch ini suatu ironi yang sangat absurd dan susah dipahami. Terlebih lagi, warga kulit putih Australia sendiri tadinya merupakan keturunan pendatang dari Inggris.
Sama seperti kasus Breivik, teror di Christchurch tidak dilakukan oleh orang gila yang dibakar kebencian lalu pergi dengan menembakkan senjata secara acak. Pelaku teror sering kali merupakan orang-orang berinteligensi tinggi yang merencanakan aksinya setelah melalui perhitungan yang matang.
Pelaku teror Christchurch diketahui telah merencanakan aksinya sejak lama, saat ia masih tinggal di Dunedin, kota lain di Selandia Baru, sebelum akhirnya bertolak ke Christchurch untuk menjalankan serangannya. Tidak ada kecurigaan apapun dari tetangga pelaku yang menyebut perilaku sehari-harinya sebagai normal, pendiam, dan tidak memperlihatkan sesuatu yang aneh.
ADVERTISEMENT
Sama seperti Breivik di Norwegia, ia juga menulis manifesto (The Great Replacement) yang menjelaskan keinginannya untuk menghabisi semua muslim di Selandia Baru, dan bahwa tindakannya di Christchurch nantinya akan 'menunjukkan' bahwa Selandia Baru akan selalu menjadi milik kaum kulit putih dan tidak akan pernah menjadi tanah kaum muslim.

Epilog: "Terorisme" yang Tak Kunjung Terdefinisikan

Tahukah anda bahwa hingga saat ini belum ada definisi Hukum Internasional yang disepakati semua negara mengenai apa itu tindakan “Terorisme”? Para ahli Terorisme kerap merujuk kepada pernyataan Hakim Potter Stewart di atas untuk menggambarkan sulitnya mendefinisikan apa itu "Terorisme".
Menurut para ahli tersebut, analogi betapa sulitnya membuat definisi hukum (legal definition) terorisme adalah bahwa terorisme sama seperti pornografi. Meski sulit didefinisikan, tetapi kita dapat dengan mudah menyebut suatu tindakan sebagai aksi terorisme--maupun pornografi--hanya dengan melihat tindakan tersebut.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari ketiadaan definisi Hukum Internasional yang jelas dari terorisme, tindakan keji ini adalah ancaman yang serius bagi perdamaian dunia dan menyentuh kehidupan sehari-hari semua manusia. Teror di Christchurch, sebuah kota yang tenang dan damai di pulau sisi selatan Selandia Baru, seolah menjadi alarm nyaring yang mengingatkan kita semua bahwa sekarang tidak ada satu tempatpun di dunia ini yang aman dari ancaman terorisme.
Ada hal-hal kecil yang bisa dilakukan semua orang untuk setidaknya menekan potensi terorisme, di antaranya adalah dengan terus saling membina pemahaman lintas komunitas yang berbeda latar belakang, baik agama, suku, dan lain sebagainya. Pelajaran paling mahal dari teror di Christchurch adalah betapa mengerikannya kemungkinan yang diakibatkan oleh keengganan seseorang menerima perbedaan.
Seorang polisi Selandia Baru berjaga di depan Masjid Al Noor setelah dibuka kembali di Christchurch, Selandia Baru, Sabtu, (23/3). Foto: AFP/WILLIAM WEST
ADVERTISEMENT