Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Emang Salah Kalau Anak Laki-Laki Enggak Suka Main Bola?
25 Februari 2023 8:46 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Faisal Ramzy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Banyak sekali orang yang toxic masculinity atau gratifikasi terhadap kaum adam, tidak suka bermain bola misalnya. Apakah salah jika anak laki-laki tidak menyukai bermain bola? Tentu tidak.
ADVERTISEMENT
Banyak yang salah kaprah seputar permainan bola yang katanya didominasi untuk kaum laki-laki. Padahal, bermain bola adalah suatu olahraga yang menyenangkan dan bisa dimainkan oleh perempuan juga. Jadi, tidak harus laki-laki juga dipaksakan untuk menyukai bola.
Direndahkan karena Tidak Suka Permainan Bola
Saya pernah digratifikasi oleh lingkungan yang tidak sehat pada masa itu, direndahkan karena tidak suka bermain yang berkaitan dengan bola seperti futsal, sepak bola, basket, dan sebagainya.
"Payah banget, sih, gak bisa main bola. Mending jadi cewek aja," kata temanku.
Saat itu, saya langsung overthinking karena tidak suka bermain bola. Memang saya orang yang selalu overthinking dan gampang bangetbaperan. Akan tetapi, saya masih bisa meredam dan mengontrol emosi supaya tidak marah untuk membuat keributan. Saya lebih suka diam daripada membuat kegaduhan.
ADVERTISEMENT
Padahal, saya mempunyai satu olahraga yang menjadi kesukaan saya. Panahan menjadi olahraga favorit saya yang bermain sendiri. Hanya fokus dan bermain dengan tangan tidak membuat lelah bagi saya, dan tentunya menyenangkan.
Tidak Boleh Menangis
Tak hanya itu, saya juga sering sekali menangis dengan berbagai masalah kecil maupun besar. Bercerita ke teman pun percuma pada masa itu yang hanya membandingkan kepada dirinya sendiri.
"Lu masih mending, lah gue masalahnya lebih banyak dari lu. Gak usah nangis-nangis deh cowok bukan," ujar temanku. Apakah salah menjadi lelaki pernah menangis?
Semenjak saat itu saya sulit untuk mengungkap perasaan karena tidak didengarkan. Bahkan, dibandingkan dengan orang lain.
Semenjak kuliah, saya mempunyai teman-teman yang bisa memulihkan luka hati saya dengan canda dan tawa. Tak hanya teman, melainkan pengajar di sana pun sudah menjadi keluarga kedua saya. Bisa memulihkan luka hati dengan teman saya ditambah termotivasi dengan pengajar yang ada di kampus saya.
ADVERTISEMENT
Suka Memasak
Seperti memasak misalnya, beberapa orang melihat laki-laki yang memasak terkesan aneh. Padahal, memasak adalah aktivitas yang harus dilakukan perempuan ataupun laki-laki. Jadi, tidak ada yang membedakan.
Kodrat sebagai perempuan adalah hamil, melahirkan, dan menyusui. Jadi, tidak ada aktivitas yang membedakan antara kaum adam dan kaum hawa. Untuk itu, pencegahan bagi saya untuk melawan toxic masculinity adalah sebagai berikut.
1. Belajar untuk Mengekspresikan Diri
Sebagai orang tua, ajarkan anak untuk bisa mengekspresikan diri bahwa anak laki-laki juga boleh menangis. Jika tangisan itu selalu ditahan akan semakin buruk untuk mentalnya.
Saya juga pernah di posisi seperti itu dan saya lebih suka bercerita masalah-masalah saya secara empat mata di tempat yang nyaman dan tentram, di kafe misalnya. Saya takut jika di tempat yang banyak orang. Bahkan bisa didengar oleh orang lain. Takutnya tahu masalah saya dan disebarluaskan atau dijatuhkan. Pergi ke psikolog pun tak tahu apa yang harus ku lakukan.
ADVERTISEMENT
2. Hindari Merendahkan dengan Kata 'Perempuan'
"Jangan seperti perempuan dong," misalnya. Itu harus dihindari. Jika perkataan tersebut bisa dihindarkan, maka seseorang bisa terhindar dari toxic masculinity.
Saya pernah dijatuhkan oleh teman saya pada masa lampau dengan perkataan yang tidak menyenangkan. Dan, saya dicap sebagai banci.
3. Bersifat Cuek
Biarkan saja orang berkomentar negatif. Jika kalian membalas, orang yang mengejek akan tambah merasa senang dan ingin mengejek kembali. Cuek saja sampai orang tersebut lelah untuk mengejeknya.
Tiga tahun saya lulus sekolah pada masa itu, saya bersifat cuek pada saat direndahkan dan memang benar saja. Orang tersebut sudah lelah untuk merendahkan saya. Itulah kata ibu saya jika ada orang yang meledek cuek saja dan jangan pernah membalas.