Desember Nir-Cemar

Faisal Djabbar
Pegawai KPK 2005-2021 dan Pemerhati Kebijakan Publik
Konten dari Pengguna
3 Desember 2021 15:25 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Faisal Djabbar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Aktivis Cinta Indonesia Cinta Anti Korupsi (CICAK) menggelar spanduk raksasa di sisi utara gedung KPK, Jakarta, Minggu (25/11/2012). Foto: Reno Esnir/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Aktivis Cinta Indonesia Cinta Anti Korupsi (CICAK) menggelar spanduk raksasa di sisi utara gedung KPK, Jakarta, Minggu (25/11/2012). Foto: Reno Esnir/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Desember adalah bulan refleksi. Desember ini, selain Hari Natal, ada tiga lagi momen peringatan istimewa, yakni tanggal 9, 27, dan 29 Desember. Keempat almanak itu menandu renung sejauh mana kita khusyuk menghalau korupsi. Desember nir-cemar.
ADVERTISEMENT
Tanggal 9 Desember adalah Hari Antikorupsi Sedunia. Semesta manusia di atas bumi merayakan sebuah ikhtiar perlawanan terhadap korupsi.
Tarikh 9 Desember dipilih sebagai peringatan atas hari ketika disahkannya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Menentang Korupsi (United Nations Convention Against Corruption atau UNCAC). Waktu itu PBB mengadakan konferensi antikorupsi di Kota Merida, Meksiko, antara tanggal 9 sampai 11 Desember 2003.
Awalnya, tercatat hanya 99 negara yang menandatangani konvensi. Berjalannya waktu, hingga kini, tak kurang 140 negara telah menekennya. Indonesia meratifikasi konvensi antikorupsi itu pada 21 Maret 2006. Kemudian, konvensi itu disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003) pada 18 April 2006.
ADVERTISEMENT
Sisi lain, di tanggal 27 Desember merupakan hari disahkannya sebuah regulasi yang kemudian melahirkan satu organisasi penumpas korupsi yang cegak dan cakap di nusantara. Yakni, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 4 UU Nomor 30 Tahun 2002 itu menyebutkan, KPK dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Daya guna adalah efisien atau ketepatan mengerjakan suatu tugas. Lantas, hasil guna adalah efektif atau memberikan pengaruh, dampak, atau produk.
KPK, karenanya, didirikan untuk meningkatkan upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, termasuk upaya pencegahannya. Selain itu, KPK diharapkan sanggup menyodorkan dampak dalam pemberantasan korupsi, yakni tujuan yang lebih esensial: perwujudan masyarakat adil, makmur, dan sejahtera. Hal ini tegas tercantum dalam poin pertimbangan penyusunan UU KPK.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, tanggal 29 Desember adalah sewaktu Pimpinan KPK periode awal dilantik oleh Presiden Megawati Soekarnoputri di 2003 lalu. Delapan belas tahun silam KPK dibentuk atas pertimbangan belum berfungsinya, secara efektif dan efisien, aparat penegak hukum yang seharusnya memberantas perkara tindak pidana korupsi.
Dalam penjelasannya, UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menyatakan bahwa tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik jumlah maupun kualitasnya. KPK dilahirkan untuk membasmi kanker korupsi tersebut. Untuk menjalankan tugasnya, KPK merupakan lembaga negara yang bersifat independen dan bebas dari kekuasaan mana pun.
Intinya, pembentukan KPK adalah untuk memberantas korupsi dengan cara-cara yang tidak biasa, karena metode konvensional yang telah dilakukan sebelumnya terbukti mengalami pelbagai hambatan.
ADVERTISEMENT
Dus, Pimpinan KPK pun dalam menjalankan tugas dan fungsinya wajib sejalan dengan falsafah pembentukan KPK, yaitu independen dan bebas dari kekuasaan mana pun. Prinsip ini mestinya tak bisa ditawar-tawar.

Refleksi

Secara umum, korupsi adalah manipulasi kekuasaan atau jabatan publik untuk keuntungan pribadi. Pejabat publik menggunakan posisinya untuk peningkatan kemakmuran dirinya. Definisi ini didukung oleh pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi: “tindak pidana korupsi berlaku pada setiap orang yang bertujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya, karena jabatan atau kedudukan, yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.”
Namun, korupsi bukan hanya perkara legal formal. Secara etimologis, korupsi berarti rusak, buruk, palsu. Korupsi, karenanya, dapat muncul kapan saja. Dia bersifat cair, likuid, mengalir ke mana saja. Bahkan, disebabkan terbiasa hidup dalam polusi korupsi, perilaku korup menjadi terkesan dan terasa lumrah. Korupsi menjadi sesuatu yang banal, sehingga perilaku koruptif pada akhirnya dianggap sebagai sesuatu yang wajar.
ADVERTISEMENT
Hasil penelitian Kanti Pertiwi (2017) atas pengertian korupsi di kalangan sebagian besar masyarakat Indonesia menemukan tiga arti. Satu, korupsi bisa membuat semua urusan lancar dan tuntas (corruption gets things done). Tidak “dipersulit”. Dua, korupsi mempertahankan mata pencaharian (corruption preserves livelihoods). Korupsi menambah penghasilan pegawai negeri yang relatif terbatas dalam sebulan. Tiga, korupsi memelihara hubungan sosial (corruption maintains social relations). Memberi tips atau uang terima kasih dianggap laku yang perlu dalam membina relasi dengan aparat pemerintah.
Korupsi dengan begitu adalah kanker yang menggerogoti tubuh bangsa dan negara. Dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 disebutkan bahwa korupsi bukan saja merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, tetapi juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi.
ADVERTISEMENT
Pendeknya, korupsi harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, sesuai tujuan saat disahkannya Konvensi Antikorupsi Sedunia 9 Desember 2003. Juga, saat disahkannya UU KPK 27 Desember 2002. Dan, harapan yang memuncak saat dilantiknya lima Komisioner pertama KPK pada 29 Desember 2003.
Alhasil, di tengah perayaan suci kelahiran Yesus Kristus 25 Desember 2021 nanti, warga dunia dan rakyat Indonesia merayakan ikhtiar pernyataan “pensucian” dunia dari kotoran korupsi. Di samping itu, Kelahiran KPK pada bulan Desember juga bertepatan dengan hari antikorupsi internasional. Sebuah kebetulan yang bermakna transendental.
Oleh sebab itu, bulan Desember ini adalah saat yang amat tepat untuk berefleksi. Di tengah hiruk-pikuk situasi politik dan raung suasana sosial ekonomi bangsa ini, mari kembali bertanya: Sadarkah kita bahwa korupsi sudah memasuki relung-relung kehidupan kita? Insafkah kita bahwa korupsi sudah demikian sistematis? Sadarkah kita bahwa kita mungkin pernah berlaku korup, misalnya, menyuap, disuap, tak menghargai waktu?
ADVERTISEMENT

Revolusi sistemis

Sejumlah kasus korupsi belakangan ini membuka lebar-lebar mata kita. Dalam kasus-kasus itu, politisi dan pejabat publik hampir selalu menjadi aktor utama. Sifat rakus dan kemaruk menguasai mereka, mengobrak-abrik harapan rakyat akan hidup sejahtera dan berkeadilan.
Tapi, korupsi senyatanya bukan lagi hanya problem individual semata, melainkan telah sistemis. Bahwa korupsi meresap ke dalam pori-pori struktur dan kultur pemerintahan negeri ini.
Lalu, apa lagi yang bisa dilakukan untuk memberantas korupsi? Karena korupsi sudah sistemis dan merembes, sudah sewajarnya bila kita menghajatkan sebuah revolusi.
Kita telah amat mafhum, korupsi di Indonesia sudah merusak, sehingga revolusi adalah sebuah jawaban. Bangsa Indonesia butuh perubahan mendesak dan radikal dalam membasmi korupsi lewat revolusi.
Pada reformasi 1998, negara dan bangsa ini berubah. Tapi, setelah lebih 20 tahun, apakah kita sudah mengarah ke tujuan berbangsa dan bernegara sebagaimana amanat preambule UUD 1945? Perubahan itu mungkin belum nyata terasa. Belum kentara. Rakyat belum merasakan udara perubahan secara sungguh-sungguh. Dua kalimat dalam amanat pembukaan konstitusi, yakni “Memajukan kesejahteraan umum” dan “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, masih jauh dari mewujud.
ADVERTISEMENT
Lantaran itulah kita butuh revolusi dalam memberantas korupsi. Lalu, revolusi seperti apa?
Korupsi adalah tindakan masif dan besar-besaran (dalam jumlah uang maupun pengaruh), yang berdampak rusaknya tatanan pemerintahan dan masyarakat. Karena sifat korupsi yang sistemis, upaya pemberantasannya pun harus secara sistematis. Maksud sistematis di sini adalah dengan cara teratur, perencanaan matang, evaluasi yang berkesinambungan, lalu memperkuat sistem yang ada.
Pemberantasan korupsi perlu pola yang strategis-sistemis. Memberangus korupsi yang masif dengan cara acak-acakan, tak terencana, dan tak teratur hanya akan memperpanjang napas koruptor.
Tentu saja, pencapaian upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang sudah dilakukan sampai sekarang harus diapresiasi. Walaupun begitu, keberhasilan itu dapatlah dikatakan baru pencapaian tujuan sekunder, karena tujuan primer, sekali lagi, adalah perwujudan masyarakat adil, makmur, dan sejahtera. Masyarakat yang adil dan berkeadilan.
ADVERTISEMENT
Jadi, yang kita perlukan adalah revolusi sistemis. Yakni, upaya memberantas korupsi secara pejal, namun gradual dan terus-menerus. Sebuah perbaikan berkesinambungan terhadap sistem pemerintahan dan perilaku masyarakat yang korup.
Lewat revolusi sistemis kita ingin mewujudkan tata kelola pemerintahan dan sistem politik yang berintegritas. Hal ini merupakan modal berharga demi terciptanya tata pemerintahan nir-korupsi. Sasarannya, sekali lagi, adalah terwujudnya masyarakat adil dan sejahtera.
Oleh sebab itu, perjuangan pemberantasan tindak pidana korupsi sesungguhnya berujung pangkal pada sasaran perwujudan masyarakat adil, makmur, dan sejahtera.
Hal ini perlu dinyatakan berulang-ulang supaya upaya pemberantasan tindak pidana korupsi tidak terjebak pada semata kepuasan atau kebanggaan semu ketika sejumlah pelaku tindak pidana korupsi telah dihukum penjara. Atau, ketika sudah ada sejumlah pengembalian kerugian keuangan negara, serta ketika kegiatan pencegahan korupsi semata telah tertunaikan sesuai program kerja.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, yang juga amat esensial dan urgen, lewat revolusi sistemis di Desember ini, kita berharap KPK segera menuntaskan sejumlah Pekerjaan Rumah yang masih tersisa dalam organisasinya. KPK seyogianya menyediakan cukup waktu untuk mengelola persoalan-persoalan internal kelembagaannya, seperti pengembangan kecanggihan kompetensi pegawai, penguatan komunikasi internal, dan membangun sistem integritas organisasi KPK itu sendiri.