Mana yang Lebih Bermoral: Pelacur atau Politikus?

Faisal Djabbar
Pegawai KPK 2005-2021 dan Pemerhati Kebijakan Publik
Konten dari Pengguna
14 Desember 2021 17:42 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Faisal Djabbar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Saya ingin berbagi bacaan. Puluhan tahun lalu, seorang jurnalis-intelek FX Rudi Gunawan bertanya: mana yang lebih bermoral, pelacur yang baik atau politikus yang jahat?
ADVERTISEMENT
Pertanyaan itu tertera dalam bukunya berjudul Pelacur dan Politikus (1997). Buku itu merupakan kumpulan artikel Rudi Gunawan, yang sebagian besar terbit di majalah Jakarta Jakarta sekitar awal tahun 1990-an.
Pelacur, tulis Rudi, memperoleh uang penghasilan dari kelamin-kelamin yang mengacung, yang mendesak pelampiasan dan pemuasan. Pelacur adalah profesi yang murni bermodalkan kelamin.
Pelacuran, karena itu, merupakan bisnis yang berbasis kelamin dan uang. Yang dimaksud pelacur di sini ialah pelacur perempuan dan pria sekaligus.
Sementara itu, politikus, kata Rudi, adalah seseorang yang punya kekuasaan yang dengan leluasa omong tentang kebaikan, keadilan, dan kesejahteraan rakyat, seraya menginjak-injak apa yang yang dia sebut rakyat.
Bagi Rudi, masyarakat cenderung memandang pekerjaan pelacur sebagai profesi kotor, vulgar, dan tak terhormat. Pelacuran terkait dengan banyak sisi gelap manusia, sehingga pelacuran adalah bentuk nyata borok masyarakat.
ADVERTISEMENT
Posisi pelacur, tulis Rudi, sungguh menjadi sebuah ironi untuk apa yang dianggap sebagai kebejatan. Masyarakat secara umum menganggap pelacur sama dengan kebobrokan. Mesum.
Pada sisi lain, Rudi mengatakan bahwa politik, dalam konteks ini berupa politik kekuasaan, adalah suatu permainan yang penuh tipuan, sarat variasi perilaku dan beragam omongan retorik, serta tak jarang pula kaya dengan perilaku vulgar, konyol, dan kotor.
Politikus, oleh sebab itu, ialah orang yang mampu bersembunyi di balik segala kecerdasan akal busuk, prinsip kemunafikan, dan sudi menjajakan harga dirinya demi kuasa, jabatan, dan uang.
Sebaliknya, bagi Rudi, pelacur sesungguhnya adalah seorang yang polos. Dia hanya fokus melacur tubuhnya demi raihan ratusan ribu atau jutaan rupiah. Karenanya, pelacur mungkin sulit merumuskan atau mengartikulasikan apa yang dia pahami soal keadilan, kemiskinan, atau demokrasi. Yang mereka tahu semata ialah bagaimana merayu pelanggan agar bisa dapat uang untuk hari ini. Itu saja.
ADVERTISEMENT
Pelacur, menurut Rudi, umumnya buta politik, yang tak tahu mendalam dan masa bodo dengan hiruk pikuk politik kekuasaan, karena pelacur sendiri telah amat dipusingkan oleh hidup pekat keseharian mereka, oleh cengkeraman germo, oleh perilaku seksual tak waras para pelanggannya.
Kembali ke pertanyaan di permulaan tulisan ini: lebih bermoral mana, pelacur yang baik atau politikus yang jahat?
Dalam bukunya ini Rudi Gunawan tidak secara gamblang menjawab pertanyaan tersebut. Dia, malahan, menyerahkan jawaban kepada pembacanya, yang tentu saja respons pembaca bisa sangat beragam. Rudi menulis, “apa jawaban anda sekarang? Atau, anda hanya akan mengangkat bahu dan berkata emang gue pikirin! Kalau sudah begitu sih, apa boleh buat.”
Walaupun Rudi tak tegas menyediakan jawaban, setidaknya dalam lembar-lembar tulisan di bukunya itu kita dapat membaca relatif terang pembelaaan dan keberpihakan Rudi kepada pelacur.
ADVERTISEMENT
“Segala borok masyarakat, segala kemunafikan manusia, juga bisa terkuak hanya lewat seorang pelacur. Soalnya kita semua sebenarnya bukan tak mungkin adalah juga pelacur-pelacur yang bersembunyi di balik segala kepintaran akal busuk kita sebagai well educated people,” ujar Rudi.
“Bahkan, bukan tak mungkin kita sebenarnya lebih parah karena bukan hanya tubuh yang kita jual, tetapi malah pikiran, kemiskinan, dan penderitaan orang lain, atau prinsip dan harga diri kita sendiri. Maka dari itu, mari bung, kita sama-sama mengaca,” pungkasnya.
Jadi, dalam pandangan saya,
Buku Kumpulan Artikel FX Rudi Gunawan (1997)
Namun, menurut saya, ada setidaknya tiga poin yang bisa kita kritisi dari artikel Rudi Gunawan.
Satu, Rudi Gunawan, dalam tulisannya, tidak mendefinisikan apa yang dia maksudkan dengan moral. Rudi barangkali telah menganggap kalau segmen pembacanya adalah orang-orang terpelajar, sebagaimana para pembaca majalah Jakarta Jakarta yang tentu saja berbeda dengan pembaca majalah remaja atau pembaca koran harian Pos Kota waktu itu yang mayoritas diminati kalangan menengah-bawah. Meskipun begitu, bagi saya, pendefinisian istilah moral relatif perlu supaya pembaca mempunyai titik berangkat yang serupa ketika menelusuri alur gagasan penulis.
ADVERTISEMENT
Dua, penulis terkesan sudah secara apriori memiliki pandangan personal di kepalanya mengenai seorang politikus yang selamanya negatif dan buruk. Oleh karena itu, penulis terjebak ke dalam generalisasi penalaran yang mendakwa semua politikus jahat.
Tiga, seperti sudah dipaparkan di awal tulisan ini, bahwa buku karangan FX Rudi Gunawan itu adalah himpunan artikel. Layaknya sebuah artikel, isinya tentu saja pendek-pendek dan relatif kurang mendalam, sehingga pembaca sulit memahami dengan baik dan serius jalan pikiran penulis. Di suatu waktu di masa depan, penulis atau peminat tema ini dapat menyajikan gagasan yang lebih utuh dan komprehensif dalam sebuah buku lainnya.
Sebagai penutup, saya tak hendak menilai seorang pelacur itu secara moral baik atau politikus itu jahat, atau sebaliknya. Motif menjadi atau terposisikan dalam pelacuran atau dunia politik bisa amat beragam, sehingga menilai seorang pelacur atau politikus semata dari beberapa titik pandang saja dapatlah bias. Sebab itu, menurut saya, pertanyaan mana yang lebih bermoral, pelacur yang baik atau politikus yang jahat menjadi irrelevan dan tak lagi bermakna.
ADVERTISEMENT