Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Maret, Perempuan, dan Rendra
7 Maret 2022 14:39 WIB
·
waktu baca 9 menitTulisan dari Faisal Djabbar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Maret adalah bulan perempuan. Tanggal 8 Maret merupakan hari perempuan sedunia. Tanggal ini, menurut cerita, diambil saat sejumlah buruh perempuan dari pabrik-pabrik garmen melakukan unjuk rasa di Kota New York, pada 8 Maret 1857. Mereka mengeluh atas buruknya kondisi kerja dan rendahnya gaji.
ADVERTISEMENT
Bicara perempuan, saya teringat dengan Rendra. Penyair urakan itu, dalam sejumlah puisinya, banyak mengambil inspirasi dari perempuan. Dia menghayati kenyataan hidup sehari-hari perempuan: Spektrum cinta kasih perempuan, hubungan seks yang intim antara lelaki dan perempuan, serta relasi pelacur-perempuan dengan kekuasaan. Buat Rendra, perempuan adalah “makhluk yang lain sama sekali dari saya, tapi komunikasinya bisa akrab, bisa bersetubuh, bersatu jiwa”.
Bagi saya, dalam konteks persentuhannya dengan perempuan sebagai mata air kreativitasnya, Rendra bukan lagi menulis puisi, melainkan menghidupi puisi itu sendiri. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa kehidupan Rendra adalah puisi, dan puisi adalah hidupnya. Begitu pula arti perempuan dalam kehidupan Rendra, sebagai sumber hidupnya. Dan sumber hidupnya berasal dari perempuan.
Rendra sulit jauh dari perempuan. Dalam hal ini, termasuk ibu kandungnya. Dia amat mengagumi ibunya sebagai perempuan yang punya pengertian mendalam terhadap ulah urakan anaknya. “Ibu saya cantik. Dia berperawakan kecil, tidak tinggi. Buah dadanya bagus. Saya suka memeluknya lama-lama dan menikmati bau napasnya. Rasanya saya tidak pernah puas menciumi wajahnya. Saya sangat memujanya”, ungkap Rendra.
Rendra, secara resmi pernah menikah tiga kali. Istri pertamanya adalah Sunarti Suwandi, seorang perempuan tipikal asli Jawa yang berwajah ayu dengan rambut panjang terurai. Mereka menikah tahun 1959 di Gereja Bintaran Yogyakarta. Sunarti, berdasarkan pengakuan Rendra, menjadi “mata air puisi-puisiku”.
ADVERTISEMENT
Istri kedua adalah Sitoresmi Prabuningrat, salah seorang muridnya di Bengkel Teater. Sitoresmi bergabung bersama Bengkel Teater pada tahun 1970-1979 ketika Bengkel Teater masih berada di Yogyakarta. Istri ketiga adalah Ken Zuraida, yang menjadi pendamping terakhir Rendra hingga wafatnya. Zuraida sudah menjadi anggota Bengkel Teater sebelum menjadi istri Rendra.
Tiga istri Rendra ini pernah hidup dalam satu rumah di Yogyakarta. Sunarti masih menjadi istri Rendra ketika dia menikahi Sitoresmi. Tapi, pernikahan Sunarti dengan Rendra sulit dipertahankan lagi saat Rendra menikahi Ken Zuraida.
Lalu, dalam perkembangannya, Sitoresmi kemudian juga memutuskan bercerai. Rendra mengakui dirinya gagal membahagiakan istri-istrinya. “Pendeknya, waktu itu perceraian itu membahagiakan mantan-mantan saya. Mereka beranggapan, saya ini lebih menarik sebagai pacar daripada sebagai suami,” katanya (W. S. Rendra, Doa untuk anak cucu, 2013).
ADVERTISEMENT
Rendra berasal dari Kampung Jayengan, Solo, Jawa Tengah. Dia lahir pada hari Kamis, 7 November 1935, pukul 17.05 wib. Puluhan tahun kemudian, Rendra meninggal di rumah putrinya Clara Sinta di Perumahan Pesona Khayangan, Depok. Clara Sinta adalah putri bungsu dari istri pertamanya, Sunarti. Rendra mengembuskan napas terakhir pada hari Kamis, 6 Agustus 2009, pukul 22.10 wib, sebelum dibawa ke RS Mitra Keluarga Depok untuk memastikan kepergiannya (Kompas, 9 Agustus 2009).
Pada suatu wawancara dengan majalah Femina edisi Februari 1976, Rendra ditanya opininya perihal sajak dan cinta:
Femina: “Banyakkah sajak yang Anda ciptakan karena jatuh cinta?”
Rendra: “Hampir sebagian besar sajak-sajak saya ciptakan karena jatuh cinta. Salah satu kumpulan sajak yang saya ciptakan saya tulis pada sprei seorang kekasih.”
ADVERTISEMENT
Femina: “Bagaimana perasaan Anda waktu jatuh cinta?”
Rendra: “Pengalaman saya waktu jatuh cinta itu...cintaaaaa! Dan, selalu cinta sekali, jarang sekali cinta setengah-setengah.”
Rendra: “Perasaan jatuh cinta, ya, kadang-kadang saya merasa down, kadang-kadang lemas, kadang-kadang mau makan saja, kadang-kadang mau bikin sajak, kadang-kadang mau terbang, kadang-kadang mau nyanyi...wah, macam-macam” (Edi Haryono (ed.), 2005).
Perempuan kini punya beragam status dan profesi. Termasuk, karier sebagai seorang pelacur (sebuah profesi yang dicemoohi sebagian besar orang). Lantas, bagaimana pendapat Rendra soal pelacur dan pelacuran? Dalam salah satu sajaknya, Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta, kita bisa memahami bahwa Rendra tidak sepakat bila ada orang-orang yang menganggap pelacuran hanya sekadar persoalan moral belaka.
Bagi Rendra, anggapan bahwa pelacuran sebagai masalah moral semata adalah pandangan para munafik. Pelacuran lebih dari semata problem moral. Pelacuran adalah juga persoalan sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Ada aspek penindasan di situ: Antara penguasa dan yang dikuasai. Lagi pula, buat Rendra, koruptor dan manipulator tak berhak memusuhi pelacuran, karena sesungguhnya koruptor dan manipulator adalah sejenis dan sederajat dengan pelacur (Edi Haryono (ed.), 2005).
Dalam kesempatan ini, saya ingin menampilkan kembali dua sajak Rendra dari sekian banyak sajak beliau yang berkaitan dengan perempuan. Sajak pertama berjudul Nyanyian Duniawi. Yang kedua bertajuk Perempuan Yang Tergusur. Saya sengaja memilih dua sajak ini. Sajak-sajak ini ditulis dalam rentang waktu yang jauh. Sajak ini memperlihatkan cara pandang Rendra yang bertransformasi.
ADVERTISEMENT
Sajak pertama, Nyanyian Duniawi, ditulis sekitar tahun 1960-an ketika usia Rendra masih muda. Sajak ini menggambarkan vitalitas raga dan rasa muda Rendra. Dia amat terbius gairah syahwat cinta-badaniah yang ekstatis. Kala itu, menurut saya, Rendra sedang dalam periode keterpukauan yang mendalam pada pesona keindahan fisikal perempuan. Selain itu, dia terkesan sangat ingin memuaskan gejolak nafsu seksual masa mudanya.
Berikut sajak yang pertama tersebut:
Nyanyian Duniawi
Ketika bulan tidur di kasur tua
gadis itu kucumbu di kebun mangga.
Hatinya liar dan birahi
lapar dahaga ia injak dengan kakinya.
Di dalam kemelaratan kami berjamahan.
Di dalam remang-remang dan bayang-bayang
menderu gairah pemberontakan kami.
Dan gelaknya yang angkuh
membuat hatiku gembira.
Di dalam bayangan pohon-pohon
ADVERTISEMENT
tubuhnya bercahaya
bagaikan kijang kencana.
Susunya belum selesai tumbuh
bagai buah setengah matang.
Bau tubuhnya murni
bagaikan bau rumputan.
Kudekap ia
bagai kudekap hidup dan matiku.
Dan nafasnya yang cepat
ia bisikkan ke telingaku.
Betapa ia kagum
pada bianglala
yang muncul dari mata terpejam.
Maka para leluhur yang purba
muncul dari pusat kegelapan
datang mendekat
dengan pakaian compang-camping
menonton kami.
(Sumber: Rendra, Blues untuk Bonnie, cetakan ke-12, 2008, Burungmerak Press).
Sajak Nyanyian Duniawi di atas merupakan salah satu sajak dalam periode awal kepenyairan Rendra. Ketika itu, menurut seorang penyair Binhad Nurrohmat (2005), kesadaran kepenyairan Rendra masih begitu asyik dan kepayang pada urusan pribadinya, terutama pada derita dan gairah perempuan.
Lebih jauh, Rendra pun, saat periode awal itu, banyak mendapat ilham dari mitologi atau legenda yang hidup di tanah Jawa. Walaupun begitu, karena jiwa mudanya yang pemberontak, dia ingin keluar dari budaya lama yang menurutnya membelenggu. Sajak Nyanyian Duniawi, menurut saya, menggambarkan suasana jiwa pemberontakan Rendra itu. Kata “kasur tua” dalam sajak Nyanyian Duniawi barangkali bisa ditafsirkan sebagai adat kuno. Rendra melawan adat yang kolot itu.
ADVERTISEMENT
Sajak kedua, Perempuan Yang Tergusur, ditulis pada 2003 lalu. Sajak ini, menurut saya, memperlihatkan perubahan orientasi Rendra terhadap perempuan: dari perempuan sebagai sahabat intim dalam hubungan seksual menuju perempuan sebagai obyek marjinal dalam sebuah kebijakan negara. Sajak ini secara jelas menunjukkan renungan Rendra atas realitas sosial saat ini: seorang pelacur-perempuan yang terpinggirkan oleh kepentingan pembangunan yang tak berpihak padanya.
Mari menyimak sajak yang kedua ini:
Perempuan Yang Tergusur
Hujan lebat turun di hulu subuh
disertai angin gemuruh
yang menerbangkan mimpi
yang lalu tersangkut di ranting pohon.
Aku terjaga dan termangu
menatap rak buku-buku,
mendengar hujan menghajar dinding
rumah kayuku.
Tiba-tiba pikiran mengganti mimpi
dan lalu terbanglah wajahmu,
wahai, perempuan yang tergusur!
ADVERTISEMENT
Tanpa pilihan
ibumu mati karena kamu bayi
dan kamu tak pernah tahu siapa ayahmu.
Kamu diasuh nenekmu yang miskin di desa.
Umur enam belas kamu dibawa ke kota
oleh sopir taksi yang mengawinimu.
Karena suka berjudi
ia menambah penghasilan sebagai germo.
Ia paksa kamu jadi primadona pelacurnya.
Bila kamu ragu dan murung,
lalu kurang setoran kamu berikan,
ia memukul kamu babak belur.
Tapi kemudian ia mati ditembak tentara
ketika ikut demonstrasi politik
sebagai demonstran bayaran.
Sebagai janda pelacur
kamu tinggal di gubuk di tepi kali
di batas kota.
Gubernur dan para anggota DPRD
menggolongkan kamu sebagai tikus got
yang mengganggu peradaban.
Di dalam hukum positif tempatmu tidak ada.
Jadi kamu digusur.
ADVERTISEMENT
Di dalam hujan lebat pagi ini
apakah kamu lagi berjalan tanpa tujuan
sambil memeluk kantong plastik
yang berisi sisa hartamu?
Ataukah berteduh di bawah jembatan?
Impian dan usaha
bagai tata rias yang luntur oleh hujan
mengotori wajahmu.
Kamu tidak merdeka.
Kamu adalah korban tenung keadaan.
Keadilan terletak di seberang high-way yang berbahaya
yang tak mungkin kamu seberangi.
Aku tak tahu cara seketika untuk membelamu.
Tetapi aku memihak kepadamu.
Dengan sajak ini bolehkah aku menyusut keringat dingin
yang mengucur dari jidatmu?
O, cendawan peradaban!
O, teka-teki keadilan!
Waktu berjalan satu arah saja.
Tetapi ia bukan garis lurus.
Ia penuh kelokan yang mengejutkan,
gunung dan jurang yang mengecilkan hati.
Setiap kali kamu lewati kelokan yang berbahaya,
ADVERTISEMENT
puncak penderitaan yang menyakitkan hati,
atau tiba di dasar jurang yang berlimbah lelah,
selalu kamu dapati kedudukan yang tak berubah,
ialah kedudukan kaum terhina.
Tapi aku kagum pada daya tahanmu,
pada caramu menikmati setiap kesempatan,
pada kemampuanmu berdamai dengan dunia,
pada kemampuanmu berdamai dengan diri sendiri,
dan caramu merawat selimut dengan hati-hati.
Ternyata di gurun pasir kehidupan yang penuh bencana
semak yang berduri bisa juga berbunga.
Menyaksikan kamu tertawa
karena melihat kelucuan di dalam ironi,
diam-diam aku memuja kamu di hati ini.
(Sumber: W. S. Rendra, Doa untuk anak cucu, cetakan pertama, 2013, Penerbit Bentang).
Terlihat dari dua sajak di atas ada transformasi pada diri Rendra sendiri: dari seorang Rendra yang muda-individualis-pemberontak menjelma menjadi Rendra yang peka dan bertumbuh kesadarannya pada persoalan aktual sosial-politik.
ADVERTISEMENT
Masih ada beberapa sajak Rendra yang ter-sempena hati dari perempuan (istilah sempena hati berasal dari perbendaharaan bahasa Indonesia klasik yang artinya ilham, inspirasi, atau buah pikiran). Silahkan menikmati karya-karya puisi Rendra tersebut.
Secara personal, saya harus mengakui, perempuan adalah mata air inspirasi yang tidak akan pernah kering. Selalu ada sudut lain dalam diri perempuan yang bisa diresapi dan dihayati. Perempuan adalah penerang jiwa.
Saya tidak memandang perempuan sebagai alat. Perempuan bukan alat pembuat anak. Perempuan bukan alat pencapaian tujuan politik. Perempuan bukan alat pemuas nafsu seksual lelaki.
Perempuan adalah perempuan itu sendiri: Sebagai manusia dia punya kebebasan, cinta, dan gagasan cemerlang. Saya secara tak langsung mengikuti apa yang pernah dikatakan seorang feminis Simone de Beauvoir dalam bukunya The Second Sex (1949), bahwa “Perempuan bukan dilahirkan sebagai perempuan, akan tetapi menjadi perempuan”. Maknanya, ada hak berproses bagi personalitas perempuan untuk memanusiakan kemanusiaannya.
ADVERTISEMENT