Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Mazhab 8.0.2
18 Februari 2022 11:35 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Faisal Djabbar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dahulu di sebuah desa di pelosok Madura, hidup seorang nenek bernama Nyi Lima. Meski sudah lanjut usia, nenek berusia 75 tahun ini masih sehat. Untuk hidup, Nyi Lima bekerja menganyam tikar. Penglihatannya masih terang, jadi tak ada halangan baginya menganyam tikar dari daun pandan.
ADVERTISEMENT
Tapi sejak beberapa tahun belakangan, kecepatannya dalam menganyam tikar menurun. Dia tak sanggup lagi menganyam tikar sebanyak dulu. Meski begitu, tikar buatannya malah kian baik.
Suatu ketika cucu sang nenek datang berkunjung. Cucunya sudah jadi pejabat di Surabaya. Dia mengajak neneknya tinggal bersamanya di Surabaya. “Kalau aku pindah ke Surabaya, di mana aku bisa mencari daun pandan untuk membuat tikar?” tanya nenek tua. “Di sana nenek tak usah bekerja, istirahat saja, nenek kan sudah tua,” jawab cucunya.
“Kalau aku tak bisa membuat tikar pandan, biar saja aku tinggal di kampung ini,” balas Nyi Lima. Si cucu penasaran pada sikap neneknya, “Sebenarnya apa yang membuat nenek senang menganyam tikar seperti itu?”. Sang nenek berkata, “aku mendapatkan kebahagiaan luar biasa.” “Kebahagiaan apa?” desak cucunya.
ADVERTISEMENT
Nyi Lima lantas menuturkan “Ketika aku sedang menganyam, kubayangkan orang-orang yang akan duduk, tidur, dan sujud di atas tikar yang kubuat itu. Bukankah ini satu kebahagiaan karena tangan ku masih punya manfaat bagi orang lain. Bagiku, hidup ongkang-ongkang tanpa manfaat itu artinya sama saja dengan hidup sekadar menunggu mati.”
Kisah Nyi Lima, yang saya baca dari tulisan seorang kiai dan penyair Madura D. Zawawi Imron ini membuat saya tersentak. Nyi Lima bukan saja mengesankan seorang tua mandiri, tak ingin merepotkan orang lain, dan menolak mengharap iba orang lain. Lebih dari itu, dia melihat pekerjaannya jauh dari sekadar penganyam tikar. Nyi Lima bahagia bila tikar anyamannya memberi manfaat bagi orang lain. Dengan begitu, sesungguhnya Nyi Lima sudah transenden dalam pekerjaannya.
ADVERTISEMENT
Kisah di atas kemudian membawa saya pada sejumlah pertanyaan. Pertanyaan seputar birokrasi. Mungkinkah birokrasi di Indonesia berpikir seperti Nyi Lima, memberi manfaat pada sebanyak-banyaknya orang? Mungkinkah birokrasi bertingkah seperti Nyi Lima yang berorientasi kepuasan masyarakat?
Pertanyaan macam ini timbul melihat masih relatif rendahnya kinerja birokrasi, khususnya pelayanan publik di negeri ini. Rakyat yang miskin sulit mengurus KTP, akta kelahiran, atau akta kematian. Sementara nun jauh di sana, cukup tambah biaya urusan langsung lancar.
Keadilan memang tak memihak si miskin. Keadilan hanya milik segelintir orang. Pelayanan publik harus dimaknai sebagai pelayanan “setengah publik”. Tak semua orang memperoleh pelayanan yang sama. Mungkinkah pelayanan publik bebas dari diskriminasi?
Perilaku sebagian birokrasi negeri ini paradoks dengan orientasi Nyi Lima di atas. Alih-alih melayani demi kepuasan orang lain, birokrasi publik bekerja untuk kegirangan sendiri. Birokrasi adalah penguasa yang mau dilayani. Bukan melayani. Padahal hakikat pelayanan publik adalah melayani seluruh lapisan masyarakat, tanpa membedakan latar belakang mereka.
ADVERTISEMENT
Perilaku birokrasi masa lalu sepertinya banyak menodai perilaku birokrasi saat ini. Ada problem kultural di sana. Di era kerajaan-kerajaan yang pernah berdiri di bumi nusantara, birokrasi dibentuk guna melayani kebutuhan raja dan keluarganya. Menafikan pelayanan pada rakyat jelata. Birokrasi adalah abdi raja, bukan abdi rakyat.
Budaya birokrasi melayani raja atau penguasa kian langgeng di zaman pemerintahan kolonial Belanda. Birokrasi dibikin sedemikian rupa sebagai alat kontrol penjajah atas rakyat pribumi. Birokrasi melayani kebutuhan penjajah. Birokrasi dikendalikan penjajah untuk mempertahankan kekuasaan dan kepentingannya.
Celakanya, budaya melayani penguasa bersambung di masa pemerintahan orde baru. Pengabdian yang berorientasi pada penguasa mewarnai sangat kuat kehidupan birokrasi. Birokrasi adalah penguasa yang mau dilayani. Bukan melayani. Padahal hakikat pelayanan publik adalah melayani seluruh lapisan masyarakat, tanpa membedakan latar belakang mereka.
ADVERTISEMENT
Kesadaran kekeliruan birokrasi pelayanan publik berujung desakan reformasi atas birokrasi. Reformasi birokrasi adalah upaya pembaruan dan perubahan mendasar sistem pelaksanaan pemerintahan.
MenPAN, dalam materi yang disampaikan pada seminar nasional reformasi birokrasi 1 November 2007, mengatakan bahwa reformasi birokrasi dilaksanakan karena kondisi memaksa dan harus segera diambil langkah-langkah mendasar, komprehensif, dan sistemik. Sasaran reformasi birokrasi adalah menciptakan birokrasi yang bersih, efisien, transparan, terdesentralisasi, dan paling penting birokrasi yang melayani.
Dalam grand design reformasi birokrasi, tiap instansi pemerintah yang akan mereformasi lembaganya mesti memenuhi sejumlah syarat. Syarat ini perlu demi melahirkan birokrasi yang mumpuni dan berjiwa pelayanan. Syarat itu ialah penyusunan job evaluation, job description, pengukuran beban kerja, serta tanggung jawab. Juga menyusun standar operasi dan prosedur (SOP) yang lebih efisien dan efektif, penilaian kebutuhan SDM, penetapan Key Performance Indicator (KPI) setiap jabatan atau unit kerja.
ADVERTISEMENT
Satu syarat lainnya, wajib merumuskan tunjangan kinerja sesuai bobot tugas, wewenang, dan tanggung jawab dalam rangka reward & punishment. Dengan begitu, birokrasi dipaksa bekerja lebih giat dan berkualitas. Kinerja lebih tinggi, dibayar lebih baik. Jadi, birokrasi nantinya tak lagi menganut mazhab 8.0.2, yakni rutinitas birokrasi yang datang pukul 8 pagi, kosong di tengah, pulang pukul 2 siang.
Semoga saya keliru. Semoga saya hanya silap, karena saya yakin sudah ada sejumlah birokrasi yang berkinerja dan melayani. Sekali lagi, semoga.