Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Nasionalisme ala Kwik Kian Gie
5 Januari 2022 11:40 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Faisal Djabbar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saya pengagum Kwik Kian Gie.
Keberaniannya mengkritik pemerintah, bahkan ketika dirinya berada di dalam pemerintahan, patut dihargai. Loyalitas Kwik adalah pada gagasan-pemikiran, bukan pada orang-orang tertentu. Dia mencitakan Indonesia yang kuat dan sejahtera. Nasionalismenya terlihat kuat menghujam.
ADVERTISEMENT
Mantan Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri (Ekuin) periode 1999-2000 itu pernah menerbitkan salah satu bukunya berjudul Analisis Ekonomi Politik Indonesia (1996). Buku ini merupakan kumpulan artikelnya yang pernah muncul di berbagai media. Satu poin menarik dari pemikiran Kwik Kian Gie dalam buku ini adalah konsep beliau soal nasionalisme.
Perkara nasionalisme Kwik ini memikat. Hal ini karena Kwik mengemukakan konsep nasionalismenya di tengah arus deras globalisasi. Sebagian besar pemikir ekonomi politik mungkin akan mengatakan bahwa ide nasionalisme di era globalisasi sekarang ini sudah usang; ketinggalan zaman. Alasannya, karena dalam era globalisasi batas-batas negara bukan lagi halangan. Orang-orang sudah menjadi warga dunia.
Nasionalisme seperti apa sesungguhnya yang dimaksud Kwik? Gagasan nasionalisme Kwik bersinggungan dengan analisisnya soal tahap-tahap industrialisasi sebuah bangsa. Oleh sebab itu, mengetahui terlebih dahulu tahap-tahap industrialisasi menurut kerangka pikir Kwik akan memudahkan kita memahami konsep nasionalismenya.
ADVERTISEMENT
Industrialisasi, menurut Kwik, adalah suatu proses bertahap di mana kemampuan sebuah bangsa dalam ekspor barang dan jasa harus melalui pijakan-pijakan tangga mulai paling bawah menuju ke pijakan paling atas. Ada lima tahap kemampuan suatu bangsa dalam ekspor, tulis Kwik.
Tahap pertama, sebuah bangsa hanya menjadi perakit atas produk-produk luar negeri. Semua desain, model, pola, cara membuat, memproses, jumlah produksi, bahan baku, administrasi, dan manajemennya ditentukan oleh perusahaan asing. Perusahaan asing inilah yang akan menjual produk-produk rakitan tersebut di luar negeri. Kwik memakai istilah ‘tukang jahit’, yang untuk jasanya, orang atau perusahaan perakit ini menerima imbalan sekadarnya, yang biasanya kecil. Tapi, kata Kwik, dari bekerja sebagai tukang jahit ini, mereka mendapatkan keterampilan membuat produk atau barang yang sama.
ADVERTISEMENT
Tahap kedua, dari keterampilan membuat produk yang sama, sebuah bangsa bisa menciptakan produk sendiri memakai mereknya sendiri. Tentu saja harga pokoknya lebih rendah. Jadi, sekarang mereka bisa memproduksi barang yang sama persis, dengan merek sendiri. Meski begitu, mereka masih harus berjuang meyakinkan konsumen luar negeri bahwa merek mereka sama kualitasnya, juga dengan harga lebih murah ketimbang produk lain. Harus ada promosi dan iklan supaya merek ini dikenal dan diakui.
Tahap ketiga, sebuah bangsa mulai menambah fitur-fitur tambahan (new features) dalam produknya, yang awalnya meniru seratus persen produk perusahaan asing. Fitur-fitur tambahan ini bersumber dari riset yang mulai digalakkan oleh bangsa bersangkutan.
Tahap keempat, sebuah bangsa sudah berani mengubah desain produknya supaya tampil elegan dan lebih indah. Keberanian bangsa merancang sketsa baru kreasinya ini menunjukkan bahwa kepercayaan dirinya sudah terbangun.
ADVERTISEMENT
Tahap kelima, kegiatan penelitian dan pengembangan (research and development) didorong lebih kencang untuk menghasilkan penemuan-penemuan baru. Riset dan inovasi merupakan landasan pokok kemajuan sebuah bangsa. Ketika sebuah bangsa menafikan riset dan inovasi, di sanalah bermula kejatuhan bangsa itu.
Di sinilah Kwik menjelaskan konsep nasionalismenya. Menurut dia, untuk bergerak dari satu tahap ke tahap berikutnya, orang-orang butuh dedikasi dan semangat besar. Juga, kata dia, butuh keberanian mempertaruhkan uang untuk penelitian, serta berani rugi dan berani gagal.
Kekuatan sebuah bangsa untuk bergerak dari satu tahap ke tahap berikutnya dibakar oleh obsesi untuk unggul. Yakni, sebuah motivasi agar bangsanya disegani di mana-mana di dunia. Inilah nasionalisme modern bagi Kwik. Sebuah nasionalisme dalam lautan globalisasi.
“Orang yang bukan nasionalis sudah akan sangat puas dengan menjadi kaya. Kebanggaannya adalah kebanggaan karena dia kaya,” kata Kwik. Orang kaya ini peduli pada diri sendiri, keluarga, dan kroninya semata. Mereka tidak memandang lebih luas pada nasib bangsanya; pada orang-orang lain yang belum mempunyai kesempatan dan akses pada kesejahteraan.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, saya punya tiga poin masukan pada ide nasionalisme modern ala Kwik ini.
Pertama, Kwik menurut saya terkesan alpa memaparkan berapa lama tahap-tahap kemampuan suatu bangsa dalam ekspor harus dilalui. Perusahaan asing terkadang tak akan seratus persen membuka ‘rahasia’ produknya pada bangsa ‘tukang jahit’. Bila ini yang terjadi, sebuah bangsa akan cukup lama berkutat dalam tahap pertama, yaitu tahap di mana sebuah bangsa cuma menjadi pabrik perakitan perusahaan asing.
Pertanyaannya adalah strategi operasional dan skema konkret seperti apa yang bisa dilakukan agar alih-pengetahuan dapat cepat terlaksana. Kebijakan-kebijakan seperti apa yang dapat dibuat untuk mendukung percepatan itu?
Kedua, rasa nasionalisme menurut saya jangan hanya bertumpu pada kemauan pribadi-pribadi semata. Mengandalkan semata semangat pada orang per orang bahwa mereka akan punya obsesi nasionalisme sepertinya sulit terwujud. Saya masih percaya hipotesis dari teori rational choice yang mengatakan bahwa manusia adalah makhluk rasional yang akan selalu ingin memaksimalkan keuntungan atau kebahagiaannya sendiri (utilities maximalization). Karena itu, negara berperan penting di sini untuk memasarkan dan menerapkan konsep nasionalisme modern ini. Peran negara jauh lebih bermakna ketimbang orang per orang.
ADVERTISEMENT
Ketiga, konsep nasionalisme Kwik bagi saya jelas akan bertabrakan dengan konsep liberalisme. Bagi Kwik, masyarakat lebih penting ketimbang individu. Individu harus mengurangi atau malahan menghilangkan keinginan-keinginan pribadinya untuk kemaslahatan masyarakat. Sementara itu, konsep liberalisme menyatakan bahwa individu adalah yang paling utama. Kemakmuran masyarakat berakar pada kesejahteraan individu-individu yang pada dasarnya adalah bagian masyarakat. Dalam pandangan liberalisme, apabila individu makmur, masyarakat tentu otomatis akan makmur pula.
Pertanyaannya sekarang, bagaimana supaya konsep nasionalisme modern Kwik bisa di-”kawin”-kan dengan paham liberal. Dari perkawinan ini tentu diharapkan supaya diperoleh kelebihan-kelebihan dari nasionalisme modern dan juga didapat keuntungan-keuntungan dari liberalisme.
Akhir kata, kita tentu berharap dalam waktu 24 tahun mendatang, ketika negeri ini merayakan ulang tahun kemerdekaan ke-100 tahun, bangsa kita akan sudah mempunyai kepercayaan diri dan kemajuan bangsa.
ADVERTISEMENT