Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Tentang Nilai Kepemimpinan KPK
6 November 2021 13:48 WIB
·
waktu baca 10 menitTulisan dari Faisal Djabbar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saya ingin lebih dulu berkisah tentang empat pemimpin dunia. Mereka piawai mengubah pola kehidupan warga dunia dengan aneka coraknya. Dunia ini mungkin akan berbeda tanpa pengaruh perkasa para pemimpin tersebut.
ADVERTISEMENT
Pertama, Mahathir Mohamad. Beliau lahir hari Jumat, 20 Desember 1925. Diasuh belaian sayang ibu dan didikan disiplin ayah, Mahathir Mohamad memulai bibit kepemimpinannya dari menjual minuman, roti, dan buah di sebuah warung kecil yang didirikannya sendiri.
Di kemudian hari ia beralih menjadi penjual barang-barang kerajinan. Setelah itu, ia mendapat kesempatan bekerja sebagai pesuruh di sebuah kantor distrik, sebelum masuk kuliah kedokteran di Universitas Edward VII, di Singapura.
Semasa kuliah Mahathir aktif di organisasi kemahasiswaan. Seusai menyelesaikan masa kuliahnya beliau memasuki bidang politik dengan menjadi pengurus di satu partai politik. Di awal karier politiknya, ia pernah dipecat dari partai yang dibelanya sepenuh hati itu.
Karier politiknya dimulai dari bawah selama berpuluh tahun. Pada tahun 1969, Mahathir kalah dalam pemilihan perdana menteri. Lalu, 12 tahun kemudian, bulan Juli 1981, setelah melewati kesusahan dan kesulitan dalam karier politiknya, Mahathir diangkat menjadi perdana menteri Malaysia; kesulitan-kesulitan yang mengasah keterampilan berpolitiknya.
ADVERTISEMENT
Walaupun banyak orang mencibir kebijakan politiknya, Mr. M, panggilan akrab Mahathir Mohamad, tetap teguh pada pendiriannya. Terbukti, sekarang Malaysia berada di barisan terdepan negara-negara maju.
Ada satu ucapan Mahathir yang mungkin patut direnungi: “Barangkali orang Malaysia beranggapan bahwa dengan menganggap mudah mereka tidak memerlukan cobaan hidup yang dihadapi masyarakat lain, seperti peperangan, kelaparan, dan kemiskinan. Akibatnya, kita kehilangan ketangkasan dan semangat membara. Semua harus diubah. Kita harus mempersiapkan diri untuk mendaki gunung tertinggi, mengarungi laut terdalam, dan menerjuni bidang yang asing bagi kita”.
Meski ucapan tadi diperuntukkan bagi bangsa Malaysia, tapi semangat ucapan itu bersifat universal. Saya bisa melihat kuatnya kemampuan Mahathir memompa semangat bangsanya.
Kedua, Konosuke Matsushita. Dia, pada 1918, mendirikan Matsushita Electric Industrial (MEI). MEI berhasil melaju kencang. Sayangnya, terjadi resesi dunia pada 1929 yang menyebabkan ekonomi Jepang anjlok. GNP Jepang dan sebagian besar negara lainnya turun drastis, yang membuat daya beli masyarakat menurun. Dunia bisnis panik. Saat itu, General Motor (GM) Amerika Serikat, yang memiliki lebih 92 ribu pekerja, mem-PHK separuh pegawainya.
ADVERTISEMENT
Resesi ekonomi global itu berdampak pada pendapatan MEI yang terus merosot. Tapi, Matsushita, sebagai pemimpin MEI, mampu menyikapinya secara bijak dan positif. Ia mampu menyelesaikan problem perusahaannya dengan sangat manusiawi: tak satu pun pegawai MEI yang dipecat.
Sebagai gantinya, Matsushita memangkas setengah produksinya. Lalu, Matshusita membekali separuh pegawai bagian produksi dengan keahlian salesmanship, untuk selanjutnya diarahkan menjadi laskar penjual produk MEI door-to-door. Dengan kebijakannya itu, MEI berhasil melewati krisis.
Ketiga, Soekarno. Suatu ketika, saat muda, dia pernah berujar pada kakak perempuannya: “Lihat nanti, jagat saya kepal!” Ambisi itu pada akhirnya terbukti tatkala ia menjadi presiden pertama Republik Indonesia dan diakui dunia sebagai salah seorang pemimpin besar abad ke-20.
Tiga bulan usai meraih gelar Insinyur dari ITB, Soekarno banyak menulis artikel di harian Indonesia Muda. Tulisan-tulisannya mampu menggugah dan mengusik pikiran kaum terpelajar Indonesia. Ia menyerukan kerja sama erat di antara beberapa kelompok: nasionalis, Islamis, dan komunis.
ADVERTISEMENT
Lewat tulisannya, terlihat obsesi Soekarno. Dia menyerukan perlunya kesatuan bangsa di tengah-tengah keterbelahan bangsanya akibat perbedaan ideologi perjuangan. Soekarno ingin Indonesia yang solid. Ia ingin menunjukkan jalan bagi persatuan bangsa yang kuat.
Keempat, Ayatullah Khomeini. Di tahun-tahun setelah sekian lama umat Islam kehilangan figur pemimpin karismatik, di sebuah negeri bernama Iran, seorang tokoh panutan datang memberi harapan. Di tengah-tengah umat yang sudah kehilangan keberanian, Khomeini tegak menyuarakan kebenaran.
Setelah ratusan tahun bangsa Iran merintih dalam gelombang penindasan, Khomeini meneriakkan hati nurani mereka. Ia menentang musuh-musuh umat dengan suara lantang. Dialah pemimpin Revolusi Islam Iran di tahun 1979.
Dunia mendengar suara Islam yang menggetarkan, menggerakkan, membangkitkan, dan menghidupkan. Khomeini berkata, “Kalian, wahai rakyat tertindas, wahai negeri-negeri kaum Muslim, bangun, ambil hak kalian dengan gigi dan cakar kalian”. Di bawah komando Khomeini rakyat Iran menumbangkan tiran yang paling kuat di negara ketiga tersebut: Mohammad Reza Shah Pahlavi.
ADVERTISEMENT
Saya sengaja memulai tulisan ini dengan menceritakan secara singkat empat pemimpin besar dunia. Mereka berjaya di bidang kepemimpinannya masing-masing, baik itu politik maupun bisnis. Bagi saya, mereka memiliki kesadaran dan keuletan dalam proses menjadikan dirinya seorang pemimpin.
Kisah di atas memang hanya menampilkan pemimpin-pemimpin pria. Tetapi, bukan berarti saya menafikan atau menghiraukan adanya para pemimpin perempuan. Kita semua kenal siapa Margaret Thatcher, Angela Merkel, Julia Gillard, Bunda Theresa, Kartini, Megawati Soekarnoputri, Sri Mulyani Indrawati.
Semua pribadi, tanpa memedulikan gendernya, memiliki potensi besar untuk berkembang menjadi seorang pemimpin.
Bagaimana dengan KPK? Salah satu nilai dasar KPK adalah Kepemimpinan.
Peraturan KPK (Perkom) Nomor 07 Tahun 2013 tentang Nilai-Nilai Dasar Pribadi, Kode Etik, dan Pedoman Perilaku KPK, telah memberi pengertian mengenai nilai dasar Kepemimpinan ini. Nilai dasar Kepemimpinan KPK didefinisikan sebagai “kemampuan untuk menggerakkan dan memengaruhi untuk mencapai tujuan bersama yang telah ditetapkan, serta berani mengambil keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan.”
ADVERTISEMENT
Lebih jauh, sesuai Peraturan Dewan Pengawas (Dewas) KPK Nomor 01 Tahun 2020 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK, nilai Kepemimpinan KPK diartikan sebagai “kemampuan untuk menggerakkan dan memengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan bersama yang telah ditetapkan serta keberanian untuk mengambil keputusan tepat pada waktunya yang dapat dipertanggungjawabkan”.
Lalu, unsur-unsur Kepemimpinan KPK meliputi orientasi pada pelayanan, kesetaraan, keteladanan, kepeloporan, penggerak perubahan, daya persuasi, inisiatif, dan kemampuan membimbing perilaku seseorang atau sekelompok orang.
Pengertian nilai dasar Kepemimpinan KPK, baik yang diatur dalam Perkom 07/2013 maupun yang telah diperbarui dalam Peraturan Dewas 01/2020, di atas patutlah diapresiasi. Hal ini karena pengertian-pengertian tersebut tak jauh berbeda dengan beberapa definisi dalam literatur-literatur tentang kepemimpinan.
ADVERTISEMENT
Menurut Hemphill & Coons (1957), Kepemimpinan adalah perilaku seorang individu ketika ia mengarahkan sebuah kelompok menuju tujuan bersama. Dalam definisi Roach & Behling (1984), Kepemimpinan adalah proses memengaruhi aktivitas sebuah kelompok terorganisasi menuju pencapaian suatu tujuan. Sementara, menurut Sarlito Wirawan Sarwono (2002), seorang psikolog sosial, Kepemimpinan adalah suatu proses, perilaku, atau hubungan yang menyebabkan suatu kelompok dapat bertindak secara bersama-sama atau bekerja sama, atau seusai dengan tujuan bersama.
Namun, terkait pengertian nilai dasar Kepemimpinan KPK, saya harus mengatakan bahwa pengertian tersebut, menurut subjektivitas saya, belumlah sepenuhnya tepat.
Bagi saya, kepemimpinan adalah kualitas pribadi. Kepemimpinan adalah kapasitas personal, yang terus-menerus diasah. Saya melihat, kemampuan kepemimpinan para orang-orang yang saya sebutkan sebelumnya di atas tadi merupakan sebuah sikap internal. Dia adalah kemampuan “dalam” seseorang. Mereka mengasah dirinya sendiri, serta didukung oleh lingkungan yang menyokong, sehingga membuat mereka mencapai kualitas yang mumpuni.
ADVERTISEMENT
Atas dasar pengertian Kepemimpinan KPK dalam Perkom 07/2013 dan Peraturan Dewas 01/2020 tersebut, turunan Kode Etik KPK atas nilai dasar Kepemimpinan KPK itu menjadi bersifat satu arah belaka.
Maksud saya, nilai dasar Kepemimpinan di KPK pada akhirnya malahan dipahami cuma sebagai orang yang memiliki anak buah atau bawahan. Jadi, bila tidak punya anak buah atau bawahan, tidak bisa dianggap mempunyai Kepemimpinan atau potensi Kepemimpinan. Ini tafsiran saya atas pengertian nilai Kepemimpinan yang dibuat KPK.
Sebagai bukti, mari kita lihat beberapa rumusan Kode Etik KPK yang merupakan turunan dari nilai dasar Kepemimpinan KPK.
Satu, dalam Kode Etik itu disebutkan uraian untuk “Membimbing Insan Komisi yang dipimpin dalam pelaksanaan tugas.” Lalu, ada pula kalimat “Atasan wajib menegur bawahan yang terbukti melakukan pelanggaran”.
ADVERTISEMENT
Bila rumusannya seperti itu, yang dimaksud pemimpin oleh KPK adalah mereka yang memiliki jabatan dan punya bawahan. Bagi saya, tetap saja bahwa Kepemimpinan adalah sikap mental pribadi, bukan karena punya anak buah atau bawahan.
Dua, berikutnya dalam Kode Etik itu diuraikan pula “Menghindari sikap, tingkah laku, atau ucapan yang dilakukan untuk mencari popularitas, pujian, atau penghargaan dari siapa pun dalam pelaksanaan tugas Komisi”. Sesungguhnya, saya tidak mengerti apa yang dimaksud dengan kalimat di atas? Penjelasan lebih jauh mengenai hal itu pun tak ada dalam Kode Etik KPK.
Apakah kalau pegawai KPK dan rekan sekerjanya berdiskusi soal kebijakan KPK dan ketahuan oleh orang dari Pengawasan Internal (PI), atau menginformasikan kepada publik terbatas soal sesuatu yang keliru di internal KPK, si pegawai bisa dijerat oleh dugaan pelanggaran Kode Etik? Di manakah gerangan nilai dasar Kepemimpinan itu?
ADVERTISEMENT
Tiga, selanjutnya dalam Kode Etik KPK itu disebutkan pula untuk “Tidak bertindak sewenang-wenang atau tidak adil atau bersikap diskriminatif terhadap bawahan atau sesama Insan Komisi”. Lagi-lagi, apakah nilai Kepemimpinan di KPK hanya dimaknai sebagai seseorang yang mempunyai jabatan dan anak buah? Bila seperti itu maka nilai dasar Kepemimpinan KPK itu merupakan domain struktural atau Ketua Tim/Ketua Satuan Tugas di KPK semata.
Padahal, sekali lagi, menurut saya, kepemimpinan adalah perilaku individual. Kepemimpinan merupakan kapasitas personal.
Oleh sebab itu, KPK, menurut saya, harus kembali mengevaluasi ulang nilai dasar Kepemimpinannya. Kekeliruan dalam memberi pengertian pada satu nilai dasar akan menyebabkan kekeliruan dalam pelaksanaannya, termasuk potensi munculnya kesalahan dalam mengembangkan kemampuan dan kapasitas Kepemimpinan pegawai KPK.
ADVERTISEMENT
Haruslah disadari bahwa semua pegawai KPK memiliki potensi Kepemimpinan. Karena itu, semua pegawai KPK harus memperoleh kesempatan yang sama untuk mengembangkan potensi Kepemimpinan mereka itu.
Walhasil, Kepemimpinan bukanlah orang yang punya bawahan. Sekali lagi, bagi saya, kepemimpinan adalah kualitas personal tiap individu pegawai di KPK. Dia harus terus-menerus dikembangkan oleh KPK sebagai sebuah organisasi yang menaungi para pegawainya.
Sisi lain, oleh karena KPK mengaitkan antara nilai dasar Kepemimpinan dengan Kode Etik, perlu kiranya dipahami bahwa nilai Kepemimpinan pada dasarnya adalah sebuah persoalan moral (akhlak, karakter). Bicara etika adalah bicara moral: baik atau buruk.
Secara singkat dan sederhana, setidaknya ada dua konsep etika yang cukup berpengaruh, meskipun masih ada konsep-konsep etika yang lain. Yang pertama adalah konsep etika utilitarian. Yang kedua adalah konsep etika kantian.
ADVERTISEMENT
Etika utilitarian melihat bahwa sebuah perbuatan dapat dikatakan baik atau buruk bergantung pada apakah perbuatan itu mendatangkan kebahagiaan atau penderitaan. Bila mendatangkan kebahagiaan, perbuatan itu dikatakan baik. Sebaliknya, bila membawa penderitaan, perbuatan itu dikatakan buruk.
Pada sisi lain, etika kantian memandang bahwa sebuah perbuatan belum bisa dikatakan baik atau buruk bila sekadar melihat apakah perbuatan itu mendatangkan kebahagiaan atau penderitaan. Etika kantian berargumen bahwa sebuah perilaku harus berbasiskan moral. Tiap perbuatan harus berlandaskan sikap moral. Tiap perbuatan harus memiliki otonomi moral. Otonomi moral adalah sikap moral paling esensial, di mana perbuatan moral adalah kewajiban.
Bagi etika kantian, perilaku seseorang didasarkan pada kewajiban moral dalam dirinya. Munculnya kewajiban moral tersebut bukanlah karena mengharapkan suatu keuntungan atau karena keharusan-keharusan yang berada di luar individu, seperti kewajiban agama atau karena keharusan tugas kantor. Kewajiban moral adalah karena kewajiban itu sendiri. Itulah otonomi moral. Dalam bahasa Immanuel Kant: imperatif kategoris (keharusan karena keharusan itu sendiri).
ADVERTISEMENT
Otonomi moral menjadi penting karena seseorang bakal tak mudah terombang-ambing. Dia mempunyai otonomi dalam menentukan sikap bagi dirinya sendiri. Dia tak terpengaruh hal-hal lain di luar dirinya, apakah itu tekanan agama, komunitas, gosip, ketentuan, peraturan, dan lain-lain.
KPK, menurut saya, perlu mengadopsi konsep etika kantian, yang mengedepankan otonomi moral. Pegawai KPK bersikap baik karena otonomi moralnya, bukan karena dipantau oleh Ketua KPK atau Dewan Pengawas!
Singkat kata, nilai dasar Kepemimpinan KPK haruslah dipahami sebagai sebuah kapasitas personal, yang harus dikembangkan oleh KPK kepada semua pegawainya. Secara bersamaan, karena nilai dasar Kepemimpinan KPK berkaitan dengan etika perilaku KPK. Maka, konsep etika yang menurut saya tepat dianut oleh KPK adalah konsep etika kantian, yang memerlukan adanya otonomi moral.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, apakah Komisioner KPK sekarang masih jauh panggang dari api dalam kesadaran dan praktik nilai dasar Kepemimpinan KPK? Wallahualam.