Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.8
30 Ramadhan 1446 HMinggu, 30 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Bukber dan Panggung Sosial
27 Maret 2025 3:54 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Muhammad Faishol Al Hamimy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Setiap bulan Ramadhan, tradisi buka puasa bersama (bukber) menjadi momen yang dinantikan banyak orang. Acara ini bukan sekadar kegiatan makan bersama setelah seharian berpuasa, tetapi juga menjadi ajang untuk menjalin silaturahmi dengan keluarga, teman, dan rekan kerja. Bukber memiliki berbagai fungsi yang tidak hanya bersifat religius, tetapi juga sosial dan emosional.
ADVERTISEMENT
Secara spiritual, bukber menjadi kesempatan untuk meningkatkan kebersamaan dalam ibadah, mempererat ukhuwah Islamiyah, serta mengingatkan pentingnya berbagi dengan sesama. Dari sisi sosial, bukber menjadi ajang reuni dan silaturahmi yang mempertemukan kembali teman lama atau kolega yang jarang bertemu, sehingga memperkuat hubungan interpersonal. Sementara itu, dari aspek psikologis, bukber dapat memberikan rasa kebahagiaan dan kebersamaan yang mengurangi stres serta memperbaiki suasana hati. Di era modern, fungsi bukber pun berkembang, tidak hanya sebagai tradisi religius tetapi juga sebagai sarana networking dan reuni sosial.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, muncul fenomena bukber yang semakin bergeser menjadi ajang pamer. Media sosial dipenuhi unggahan foto dan video dari acara bukber, mulai dari hidangan mewah, pakaian terbaik, hingga lokasi eksklusif yang dipilih secara selektif. Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah bukber masih menjadi ajang silaturahmi atau telah berubah menjadi simbol status sosial?
ADVERTISEMENT
Sebagian orang menganggap bukber sebagai kesempatan untuk bernostalgia dan mempererat kembali hubungan yang telah lama terputus. Akan tetapi, tidak sedikit pula yang merasa bahwa acara ini kini lebih berorientasi pada pencitraan sosial. Pemilihan venue yang mewah, unggahan media sosial yang penuh kesan eksklusif, serta seleksi tamu yang terkesan eksklusif sering kali menciptakan kesenjangan sosial di antara mereka yang tidak dapat ikut serta dalam standar tersebut.
Tak jarang, seseorang rela menyewa iPhone hanya untuk dipamerkan di acara bukber, karena kamera khasnya dapat mencerminkan kesan sukses. Ada pula yang sengaja mengenakan lanyard perusahaan besar atau BUMN sebagai simbol status, hingga menyewa mobil mewah agar terlihat lebih prestisius. Semua ini dilakukan bukan semata-mata untuk kebutuhan fungsional, melainkan untuk menciptakan citra sosial tertentu.
ADVERTISEMENT
Mitos Konsumerisme dalam Tradisi BukberFenomena ini dapat dijelaskan melalui berbagai teori sosial yang membahas konsumsi, identitas, dan masyarakat modern.
Jean Baudrillard, dalam Teori Konsumsi dan Masyarakat Konsumerisme, menjelaskan bahwa dalam masyarakat modern, konsumsi bukan lagi sekadar pemenuhan kebutuhan, tetapi telah menjadi sarana pembentukan identitas dan status sosial. Barang-barang tertentu tidak lagi dinilai berdasarkan fungsi dasarnya, melainkan berdasarkan makna simbolik yang dikonstruksi oleh media dan budaya populer.
Pierre Bourdieu, dengan konsep habitus, modal, dan arena, menunjukkan bagaimana individu menggunakan berbagai bentuk modal—terutama modal ekonomi dan budaya—untuk memperoleh posisi dalam struktur sosial. Kepemilikan barang tertentu bisa dianggap sebagai modal simbolik yang menunjukkan status dan posisi seseorang dalam masyarakat.
Guy Debord dalam Masyarakat Spektakel menjelaskan bagaimana masyarakat modern mengalami "spektakulisasi," di mana citra dan tampilan menjadi lebih penting daripada realitas. Kesuksesan tidak lagi diukur dari substansi atau pencapaian nyata, tetapi dari bagaimana ia dipresentasikan di ruang publik, termasuk di media sosial.
ADVERTISEMENT
Robert Merton dalam Teori Strain menyoroti adanya tekanan sosial yang membuat individu merasa harus mencapai standar kesuksesan tertentu. Jika cara yang sah sulit diakses, mereka mungkin menggunakan strategi lain, termasuk konsumsi simbolik, untuk menunjukkan keberhasilan mereka.
Terakhir, Roland Barthes dalam Mythologies menjelaskan bagaimana mitos modern bekerja dengan membentuk makna yang tampaknya alami tetapi sebenarnya dikonstruksi secara sosial dan ideologis. Dalam konteks ini, benda-benda tertentu kehilangan makna denotatifnya dan bergeser ke makna konotatif yang lebih kompleks:
iPhone bukan sekadar ponsel, tetapi simbol kesuksesan dan kemapanan.
Lanyard bukan sekadar kartu identitas, tetapi simbol afiliasi dengan perusahaan elit.
Mobil bukan sekadar alat transportasi, tetapi lambang kemewahan dan status sosial.
Tas bukan sekadar tempat membawa barang, tetapi simbol kelas sosial.
ADVERTISEMENT
Mengembalikan Esensi Bukber
Fenomena ini menunjukkan bahwa bukber, yang seharusnya menjadi momen kebersamaan, kini mulai berubah menjadi ajang eksistensi sosial dan konsumsi simbolik. Agar tradisi ini tetap bermakna, perlu ada kesadaran bersama untuk mengembalikan esensinya sebagai sarana silaturahmi dan kebersamaan, bukan sekadar ajang pamer status sosial.
Bukber seharusnya menjadi momen berbagi, baik dalam bentuk kebersamaan, cerita, maupun nilai-nilai keislaman, bukan sekadar ajang pencitraan. Dengan memahami bagaimana mitos modern bekerja dalam membentuk cara kita melihat dunia, kita dapat lebih kritis dalam menghadapi fenomena ini dan tetap menjaga nilai-nilai luhur dalam tradisi buka puasa bersama.