Konten dari Pengguna

Ekofeminisme : Keadilan Gender dan Ekologis

faiz azmi
Gender Study Enthusiast Peneliti Surabaya Academia Forum
15 Februari 2024 12:29 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari faiz azmi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber foto : Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Sumber foto : Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Praktik ekofeminisme sendiri sudah cukup lama dan telah menjadi praktik kearifan lokal di semua negara atau wilayah. Namun sebagai sebuah gagasan ekofeminisme baru muncul di tahun 1970-an, di mana term ini diciptakan oleh Francoise d’Eaubonne tahun 1974 dan diteorisasikan oleh Ynesta King tahun 1977, dan konferensi ekofeminisme sendiri baru dilakukan tahun 1980 di Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT
Ekofeminisme menggunakan prinsip dasar feminisme tentang kesetaraan antara gender yang menawarkan cara pandang non-linear, menghormati proses organik, adanya keterkaitan manusia dan alam, antara komunitas dan komunitas lain, manfaat institusi dan menekankan kolaborasi dan kerja-kerja bersama.
Bila kita berbicara tentang ekofeminisme maka kita berbicara tentang adanya ketidakadilan di dalam masyarakat terhadap perempuan. Ketidakadilan terhadap perempuan dalam lingkungan ini berangkat pertama-tama dari pengertian adanya ketidakadilan yang dilakukan oleh manusia terhadap non-manusia atau alam. Karena perempuan selalu dihubungkan dengan alam maka secara konseptual, simbolik dan linguistik ada keterkaitan antara isu feminis dan ekologis.. Menurut seorang ekofeminis, Karen J Warren (dalam Arivia, 2002) mengatakan bahwa keterkaitan tersebut tidak mengherankan mengingat bahwa masyarakat kita dibentuk oleh nilai, kepercayaan, pendidikan, tingkah laku yang memakai kerangka kerja patriarkhi, dimana ada justifikasi hubungan dominasi dan subordinasi, penindasan terhadap perempuan oleh laki-laki.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, perjuangan yang mengatasnamakan ide-ide feminisme menuai banyak kisah sukses, misalnya Mama Aleta Baun di Molo Nusa Tenggara Timur (NTT), gerakan tolak reklamasi di Teluk Benoa Bali dan gerakan Ibu Bumi di Kendeng, Jawa Tengah.
Pengalaman orang-orang di Irian Jaya dalam berinteraksi dengan alam lingkungan misalnya tidak memisahkan aktivitas ekonomi dari pengalaman beragamanya. Perempuan-perempuan irian menghalangi para suami-suami mereka yang akan menebang pohon-pohon di hutan dengan berpuisi dan mengitari bahkan mendekap pohon-pohon itu. Dan ini terbukti berhasil (Darmawati, 2002)
Apa yang dilakukan oleh perempuan Irian Jaya ini mirip dengan yang terjadi di India. Pada tahun 1974, 74 perempuan di kota Reni, bagian utara India, bersepakat untuk menghentikan penebangan hutan. Mereka memeluk erat-erat pohon-pohon yang akan ditebang oleh mesin pemotong kayu yang dilakukan oleh perusahaanperusahaan besar. Gerakan para perempuan ini dikenal dengan sebutan gerakan Chipko (dalam bahasa Hindi bererti “memeluk”).
ADVERTISEMENT
Gerakan ini berhasil menyelamatkan sebanyak 12.000 km areal hutan. Gerakan ini pada dasarnya mempunyai unsur ekonomi maupun budaya. Unsur ekonomi karena adanya sentimen para pada para kontraktorkontraktor besar yang menggunduli hutan penduduk asli untuk kepentingan bisnis para kontraktor. Unsur budaya karena kepercayaan yang tertanam dalam masyarakat untuk melindungi hutan nenek-moyang mereka. Hutan bagi orang India mempunyai makna sakral yang dikenal dengan sebutan Aranya Sanskrit (Warren, 2000).
Agenda Ekofeminisme Hari ini
Ekofeminisme menyoroti bagaimana perubahan iklim secara tidak proporsional memengaruhi perempuan, terutama di negara-negara berkembang di mana perempuan sering kali bertanggung jawab atas sumber daya alam dan kelangsungan hidup keluarga mereka. Ada penekanan pada pentingnya memperjuangkan keadilan lingkungan yang melibatkan partisipasi aktif perempuan dalam pengambilan keputusan terkait lingkungan, serta memperjuangkan hak-hak mereka dalam akses terhadap sumber daya alam.
ADVERTISEMENT
Ekofeminisme menyoroti keterkaitan antara kesejahteraan wanita dan anak dengan keberlanjutan lingkungan. Ini termasuk upaya untuk memperjuangkan hak reproduksi, akses layanan kesehatan reproduksi, dan pendidikan seksual yang baik untuk perempuan. Agenda ekofeminisme mencakup upaya pemberdayaan perempuan dalam konteks lingkungan. Ini termasuk memberikan akses pendidikan dan pelatihan, memperjuangkan kesetaraan dalam kesempatan kerja, dan mempromosikan peran perempuan dalam pelestarian lingkungan.
Isu-isu terkait pertanian berkelanjutan, keamanan pangan, dan praktik-praktik agraris yang ramah lingkungan juga menjadi perhatian dalam agenda ekofeminisme, dengan penekanan pada peran penting perempuan dalam mempertahankan sistem pangan lokal dan berkelanjutan.