Konten dari Pengguna

Membangun Budaya Responsif Gender di Dunia Akademik

faiz azmi
Gender Study Enthusiast Peneliti Surabaya Academia Forum
9 Maret 2023 11:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari faiz azmi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber Foto: www.shalaazz.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Foto: www.shalaazz.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dunia pendidikan merupakan salah satu media vital untuk membangun budaya responsif gender terutama di Perguruan Tinggi. Hal ini karena eksistensi Perguruan tinggi memainkan peran signifikan dalam membangun budaya dan kebudayaan. Ada beberapa landasan pemikiran mengapa Perguruan tinggi harus dijadikan wahana utama dalam membangun budaya responsif gender ini.
ADVERTISEMENT
Perguruan Tinggi memiliki peran penting dalam memasyarakatkan pemahaman kesetaraan dan keadilan gender melalui tugas Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Ada beberapa landasan pemikiran mengapa Perguruan tinggi harus dijadikan wahana utama dalam membangun budaya responsif gender ini. Pertama, Perguruan Tinggi adalah belantara pengetahuan yang mempunyai tugas pokok mengkaji dan mentransformasikan pengetahuan serta mendesiminasikan ide-ide dan nilai baru pada masyarakat. Reproduksi pengetahuan, ideologi, dan doktrin dilakukan melalui kebijakan ataupun atmosfir akademik dan atmosfir kerja.
Kedua, Pendidikan Tinggi merupakan wadah institusional tempat semua civitas akademika (laki-laki dan perempuan) mengekspresikan segala potensi, mengaktualisasikan dan mendefinisikan identitas dirinya. Ketiga, strategi Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam pembangunan adalah paket kebijakan yang niscaya untuk dimplementasikan oleh institusi negara, termasuk Pendidikan Tinggi di bawah Kementrian Riset dan Pendidikan Tinggi juga Kementerian Agama.
ADVERTISEMENT
Konsep pembangunan gender tidak dapat dilepaskan dari konsep pembangunan kualitas SDM secara keseluruhan karena pembangunan gender berorientasi pada: 1) Produktivitas, perempuan memiliki potensi dan kemampuan untuk meningkatkan produktivitasnya dan berpartisipasi penuh dalam proses mencari penghasilan dan lapangan kerja. 2) Pemerataan, setiap perempuan harus memiliki kesempatan yang sama. Semua hambatan untuk akses dan partisipasi mereka dalam berbagai bidang kehidupan harus dihapuskan sehingga memperoleh peluang yang sama dengan laki-laki. 3) Pemberdayaan, semua perempuan seyogyanya berpartisipasi penuh dalam pengambilan keputusan dan proses yang mempengaruhi kehidupan, sehingga dapat memberikan kontribusi yang utuh terhadap pembangunan.4) Berkelanjutan, akses perempuan terhadap setiap peluang dan kesempatan bukan hanya untuk generasi sekarang tapi juga untuk generasi yang akan datang. Segala bentuk sumber daya fisik, manusia, alam perlu selalu diperbaharui dan dikembangkan secara terusmenerus.
ADVERTISEMENT
Membangun Sebagai Komitmen Bersama
Untuk membangun pendidikan yang responsif gender diperlukan komitmen teguh dari berbagai pihak. Pertama, pemerintah dapat menginisiasi kebijakan afirmasi pada bidang pendidikan. Seperti diketahui, aktor-aktor pembuat kebijakan pendidikan saat ini, mulai dari kepala dinas sampai kepala sekolah, masih didominasi laki-laki. Alhasil ketimpangan gender itu memunculkan kebijakan pendidikan yang tidak merepresentasikan kepentingan perempuan.
Kedua , pemerintah dapat mengevaluasi kurikulum dan muatan pembelajaran yang masih bias gender. Hal itu dilakukan misalnya dengan memberikan kesempatan yang "proporsional" kepada para perempuan untuk menjadi tim penyusun kurikulum dan penulis dari buku-buku pelajaran yang masih didominasi laki-laki. Selanjutnya pemerintah juga perlu mendorong Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan agar mampu memenuhi kualifikasi calon guru yang memiliki sensitivitas gender.
ADVERTISEMENT
Ketiga, institusi pendidikan (sekolah) harus aktif dalam menyampaikan pemahaman terhadap seluruh stakeholders sekolah, mulai dari komite, guru, karyawan hingga murid tentang nilai-nilai antidiskriminasi gender. Di sini guru memiliki peran yang strategis untuk menjalin komunikasi intensif dengan wali murid agar lebih menghormati hak-hak individu dari perempuan. Hal itu juga sekaligus menjadi langkah awal guna mentransfer nilai-nilai ekualitas gender kepada masyarakat.
Bagi masyarakat kita, gender sering disalahpahami sebagai kodrat. Padahal sejatinya gender adalah produk dari konstruksi sosial dan budaya. Berbeda dengan jenis kelamin yang sifatnya kodrati. Membangun pendidikan responsif gender berarti membongkar tafsir lama mengenai budaya patriarki. Dengan begitu masyarakat kita akan menjadi lebih bijaksana dalam meletakkan disparitas kondisi perempuan dan laki-laki pada konteks sosial, budaya, atau biologis di berbagai sendi kehidupan.
ADVERTISEMENT