Konten dari Pengguna

Menstrual Taboo: Konstruksi Sosial terhadap Perempuan

faiz azmi
Gender Study Enthusiast Peneliti Surabaya Academia Forum
14 Februari 2024 15:22 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari faiz azmi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto ilustrasi menstruasi. Foto: Aigul Minnibaeva/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Foto ilustrasi menstruasi. Foto: Aigul Minnibaeva/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Menstruasi merupakan proses biologis yang terkait dengan pencapaian kematangan seks, kesuburan, ketidakhamilan, normali-tas, kesehatan tubuh, dan bahkan pembaharuan tubuh itu sendiri (Lupton, 1994: 142). Dalam berbagai proses sosial sifat positif menstruasi yang terkait dengan Kesehatan tubuh justru telah diberi makna sebaliknya, yakni sebagai suatu penyakit kaum perempuan karena dinilai mengganggu Kesehatan dan bahkan memiliki implikasi yang luas dalam berbagai interaksi dan transaksi sosial selanjutnya.
ADVERTISEMENT
Seorang yang mengalami menstruasi telah dilihat, misalnya, sebagai orang yang terganggu secara fisik dan psikis yang kemudian berpotensi untuk mengganggu keteraturan sosial sehingga berbagai proses eksklusi sosial dapat dikenakan terhadap perempuan yang sedang mengalami menstruasi. Pembebasan perempuan dari tugas-tugas berat dan isolasi perempuan dari lingkungan suci dan sakral merupakan bentuk yang paling umum.
“menstrual taboo” mengandung makna larangan (prohibition) berbagai bentuk aktivitas yang dikaitkan pada satu tempat atau aktivitas tertentu di masa menstruasi seorang Perempuan. Dalam tradisi masyarakat Barat, banyak pandangan negative bahkan sampai pada cercaan terhadap perempuan di masa menstruasinya. Peristiwa-peristiwa alam seperti bencana alam, kemarau Panjang dan berkembangnya hama penyebab gagalnya panen petani dihubungkan dengan adanya yang salah dalam diri Perempuan.
ADVERTISEMENT
Dalam masyarakat Beng di Pantai Gading secara tegas ditekankan bahwa menstruasi dikaitkan dengan polusi dan fertilitas. Hal ini mengakibatkan larangan bagi perempuan untuk memasuki hutan, tidak boleh melakukan aktivitas pertanian dan tidak boleh memasak karena dianggap kotor dan mencemari hasil olahannya. Pada masyarakat Bali, ada larangan memasuki hutan bagi Wanita menstruasi karena hutan dianggap tempat suci. Perempuan menstruasi yang memasuki hutan dianggap menodai kesucian dan dianggap membawa polusi yang merusak kesuburan hutan dan lahan pertanian.
Tatapan perempuan yang sedang menstruasi memiliki semacam kemampuan tertentu untuk menimbulkan daya rusak sang mata kejahatan. Sang mata kejahatan dapat menyebabkan gagalnya panen, membusuknya makanan dan sakitnya anak kecil. Sebuah penelitian oleh David Macht pada tahun 1924 menepis anggapan terhadap mitos di atas, bahwa menotoxins pada wanita menstruasi tidak menghancurkan kehidupan tanaman. Bahkan replikasi penelitian pada tahun 1934 menemukan bahwa kandungan menotoxin pada wanita tidak menstruasi memiliki kandungan menotoxins lebih besar dari pada wanita yang sedang menstruasi.
ADVERTISEMENT
Pada masyarakat Toraja proses pengucilan pada sektor produktif mengakibatkan perempuan kehilangan akses dan posisi tawar (bargaining position) pada posisi sosial di masyarakat. Masyarakat Jawa melarang perempuan menstruasi membuat Tape Ketan atau Tape Singkong, karena mengakibatkan warna Tape memerah atau kecoklatan seperti warna darah menstruasi. Bagaimana dengan perempuan yang sehari-harinya berprofesi membuat Tape?
Dalam banyak kasus, terjadi pengucilan terhadap perempuan yang sedang haid dengan menempatkan mereka pada gubug-gubug yang terpisah dari masyarakat dan disertai larangan-larangan. Mereka, misalnya, tidak boleh makan makanan tertentu, tidak boleh melintas di tegal yang ditanami tanaman laki-laki seperti tales. Dalam Masyarakat Eropa pun dulunya diyakini bahwa masakan yang dimasak oleh perempuan yang sedang menstruasi tidak boleh dimakan karena dianggap kotor dan tidak sehat.
ADVERTISEMENT
Mengapa darah menstruasi yang dijadikan objek? Dalam banyak Masyarakat telah terpatri secara emosional serangkaian ide yang menganggap darah berhubungan dengan kematian, pembunuhan, kekera-batan, dan sebagainya, selain berhubungan dengan periode haid yang misterius (Kessler,1976). Begitu banyak pantangan yang disebabkan oleh konseptualisasi menstruasi dalam berbagai masyarakat, tetapi yang menarik bahwa konseptualisasi semacam ini memperlihatkan bahwa menstruasi bukan peristiwa biologis semata-mata (Umar, 1995), tetapi sarat dengan beban sejarah dan kultural.
Tabu menstruasi sesungguhnya telah menempatkan perempuan sebagai “orang lain” yang berbeda dengan orang-orang yang normal (laki-laki). Darah yang dikeluarkan dianggap sebagai kotoran atau polusi yang harus disingkirkan atau dikeluarkan dari batas kelompok. .Secara medis, seorang yang mengalami menstruasi adalah seseorang yang membutuhkan makanan bernutrisi karena ia harus menggantikan sel-sel darah yang hilang pada saat menstruasi berlangsung. Persoalan ini jelas menunjukkan berbagai proses sosial yang terkena atau yang dialami perempuan akibat kesalahan konsepsional yang akut dalam masyarakat.
ADVERTISEMENT
Berbagai bentuk pengucilan terhadap perempuan terjadi pada saat mereka mengalami menstruasi. Di Papua New Guinea seorang perempuan ditempatkan di luar dusun pada saat menstruasi di dalam suatu rumah yang dibangun oleh perempuan dan tidak boleh didekati oleh laki-laki. Dalam masyarakat Toraja proses pengucilan terjadi dengan mengeluarkan mereka dari berbagai pusat aktivitas produktif yang kemudian menyebabkan hilangnya akses perempuan (Delaney, 1976) yang memungkinkan peningkatan basis tawar-menawar atas posisi sosialnya dalam masyarakat.
Menstruasi karenanya telah menjadi suatu bentuk eksklusi kaum perempuan. Dengan status ‘kotor’ atau ‘sakit’ perempuan kemudian harus dipisahkan dari interaksi sosial yang ‘normal’ (lihat Morris, 1993).Pada tingkat ini terjadi pemutusan interaksi sosial perempuan baik dengan laki-laki maupun dengan perempuan yang lain. Pemutusan relasi sosial tersebut dilegitimasi dengan berbagai nilai dan pranata sosial. Hampir semua masyarakat memiliki aturan-aturan bagi perempuan yang menstruasi, yang intinya membatasi perempuan berhubungan dengan laki-laki dan dengan perempuan lain, membatasi perempuan melakukan pekerjaan-pekerjaan biasa, dan membatasi kepemilikan tertentu. Dalam hal ini fenomena biologis menstruasi telah mendapatkan pemaknaan secara sosial sehingga ia menjadi penegas perbedaan antara laki-laki dan perempuan (Kessler,1976).
ADVERTISEMENT
Jika diletakkan dalam konteks relasi gender, mitos-mitos atau aturan yang berkaitan dengan menstruasi merupakan alat bagi laki-laki untuk membatasi partisipasi perempuan dalam wilayah public yang mengatur status dan peran yang berpengaruh dalam proses pembuatan keputusan yang menyangkut keseluruhan komunitas. Sejalan dengan gambaran ini, aturan-aturan dalam berbagai Masyarakat telah pula menjadi ‘pagar’ bagi perempuan untuk masuk dalam wilayah privat yang otoritasnya lebih kecil, seperti dalam ranah rumah tangga.
Di tempat kerja berbagai proses marginalisasi berlangsung pada saat mitos PMS (pre-menstrual syndrome) terbentuk dan menjadi kebenaran publik yang kemudian dimanfaatkan untuk alokasi pekerjaan. Seringkali perempuan tidak mendapatkan hak dalam pekerjaan tertentu karena alas an gangguan psikologis yang dialaminya sebulan sekali.
UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 81 ayat 1 berbunyi: "Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid.“ Banyak pekerja perempuan di Indonesia tidak tahu mereka punya hak cuti haid. Ada yang tahu tapi malu. Di sisi lain, banyak perusahaan yang tidak memberikan hak ini meski diatur dalam UU.
ADVERTISEMENT
Menstruasi sebagai suatu peristiwa biologis bukanlah persoalan jika ia tidak menyangkut dua proses penting secara sosial. Pertama, jika menstruasi tidak mengalami pemitosan yang berlangsung melalui proses konstruksi yang panjang, yang agama itu menjadi sumber inspirasi dan legitimasi penting di dalamnya, yangdisebabkan oleh interpretasi teks yang dominatif dan bias gender. Kedua, bukan menjadi persoalan jika peristiwa biologis yang dimitoskan itu tidak merugikan kaum perempuan dalam kehidupan sosialnya. Berbagai fakta menunjukkan sebaliknya, justru peristiwa biologis yang normal itu memiliki implikasi yang luas untuk terjadinya berbagai proses sosial yang merugikan kaum perempuan yang dipengaruhi oleh pemitosan yang berlangsung dalam masyarakat. Oleh karena itu, mitos-mitos tersebut merupakan ruang yang kondusif bagi terjadinya kekerasan terhadap Perempuan secara simbolik
ADVERTISEMENT