Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Fenomena FOMO: Dampak pada Gaya Hidup Urban dan Solusi Melalui JOMO
25 Desember 2024 7:25 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Faiz Rahmatullah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Fenomena Fear of Missing Out (FOMO) telah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat perkotaan, khususnya di kalangan generasi milenial dan Gen Z. FOMO adalah perasaan cemas atau takut ketinggalan informasi, pengalaman, atau tren yang dianggap penting oleh individu. Dalam konteks masyarakat urban, di mana akses terhadap teknologi dan informasi sangat tinggi, FOMO mempengaruhi berbagai aspek kehidupan, mulai dari konsumsi hingga interaksi sosial. Salah satu dampak signifikan dari FOMO adalah meningkatnya perilaku hedonisme, yaitu pola hidup yang menitikberatkan pada kesenangan dan kenikmatan duniawi. Hal ini dapat terjadi karena FOMO memunculkan persepsi pada individu bahwa mereka harus mengikuti perkembangan zaman agar tidak dianggap ketinggalan atau dinilai rendah oleh orang lain. Hal ini memicu tekanan psikologis yang mendorong seseorang untuk membeli suatu produk, meskipun produk tersebut bukan merupakan kebutuhan pokok mereka (Siddik, 2020).
ADVERTISEMENT
Hubungan Media Sosial dan FOMO
Media sosial merupakan faktor utama yang memperkuat fenomena FOMO. Platform seperti Instagram, TikTok, dan Twitter memungkinkan individu untuk terus-menerus membandingkan kehidupan mereka dengan orang lain. Melalui unggahan-unggahan yang menampilkan pengalaman liburan mewah, acara eksklusif, atau tren fashion terkini, individu sering kali merasa tertekan untuk menyesuaikan diri. media sosial mempengaruhi gaya hidup remaja di perkotaan dengan memperbesar rasa cemas akibat tidak mengikuti aktivitas populer atau tren tertentu yang sedang terjadi (Aisafitri dkk, 2023).
Interaksi digital ini menciptakan budaya di mana validasi sosial menjadi prioritas. Sebagai contoh, seseorang mungkin merasa perlu untuk menghadiri acara tertentu atau membeli suatu barang hanya untuk bisa mengunggahnya di media sosial dan mendapatkan pengakuan dari lingkaran sosial mereka. Hal ini diperkuat dengan algoritma media sosial yang menampilkan konten sesuai minat pengguna, membuat individu lebih sulit melepaskan diri dari fenomena FOMO. hal ini mengakibatkan banyak individu yang mengadopsi gaya hidup hedonisme untuk memenuhi ekspektasi sosial yang tercipta dari dunia maya.
ADVERTISEMENT
Hubungan FOMO dan Hedonisme
FOMO memiliki dampak signifikan terhadap perilaku konsumtif di kalangan masyarakat perkotaan, yang pada akhirnya menimbulkan gaya hidup hedonisme. Keinginan untuk memiliki produk terbaru atau mengikuti tren terkini seringkali menyebabkan individu mengeluarkan uang lebih dari yang diperlukan. Menurut Ruth (2022) Perilaku konsumtif pada Gen Z muncul karena adanya tren fashion, make up, atau produk yang dipromosikan melalui media sosial, seperti "Shopee Haul" atau "Racun TikTok." Fenomena ini menciptakan tekanan untuk membeli barang-barang yang mungkin tidak benar-benar dibutuhkan, tetapi dianggap penting untuk mempertahankan citra di media sosial.
Hedonisme semakin diperparah oleh kemudahan akses terhadap e-commerce dan promosi yang memanfaatkan rasa takut ketinggalan. Fenomena seperti "flash sale" atau "limited edition" dirancang untuk menciptakan urgensi, mendorong masyarakat perkotaan untuk mengambil keputusan impulsif (Ruth, 2022). Hal ini menciptakan pola hidup yang berfokus pada kepuasan instan, tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang pada keuangan atau lingkungan. Konsumsi berlebihan pada produk fashion cepat (fast fashion) dan pengalaman mewah menjadi simbol utama gaya hidup hedonistik yang didorong oleh FOMO.
ADVERTISEMENT
Dalam masyarakat perkotaan, FOMO juga mendorong individu untuk mengadopsi gaya hidup yang berorientasi pada hiburan mewah. Kehadiran di restoran mahal, acara musik eksklusif, atau destinasi wisata populer sering kali dianggap sebagai bagian dari identitas sosial. Pada penelitian Septiani (2019) menemukan bahwa mahasiswa yang mengalami FOMO sering kali merasa tertekan untuk mengikuti tren liburan atau menghadiri acara-acara prestisius demi menjaga citra sosial mereka Kegiatan hiburan mewah ini menjadi bagian dari gaya hidup hedonisme, di mana kebahagiaan dan kepuasan diukur berdasarkan pengalaman yang dapat dipamerkan kepada orang lain. Hal ini menyebabkan individu mengorbankan kebutuhan esensial atau bahkan mengambil risiko finansial untuk memenuhi standar sosial yang tidak realistis. Pola ini juga menciptakan ketergantungan pada aktivitas eksternal untuk merasa puas, menghilangkan fokus pada kebahagiaan intrinsik.
ADVERTISEMENT
Generasi milenial dan Gen Z adalah kelompok yang paling rentan terhadap FOMO dan perilaku hedonisme. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung, generasi muda menghadapi tekanan untuk selalu up-to-date dengan tren terbaru, baik dalam hal fashion, teknologi, maupun gaya hidup. Menurut Fitriana (2024) remaja di Bekasi sering menghabiskan waktu berjam-jam di media sosial untuk memastikan mereka tidak ketinggalan informasi atau aktivitas penting yang sedang tren.
Tekanan ini diperparah oleh influencer dan selebritas yang mempromosikan gaya hidup hedonisme sebagai standar kebahagiaan dan kesuksesan. Sebagai contoh, pengalaman bepergian ke destinasi eksotis atau mencoba restoran mahal sering kali dianggap sebagai indikator status sosial, mendorong generasi muda untuk mengejar pengalaman serupa, meskipun itu melampaui kemampuan finansial mereka. Hedonisme di kalangan generasi muda menjadi semakin meluas karena mereka merasa bahwa kebahagiaan harus selalu terlihat dan diakui oleh orang lain.
ADVERTISEMENT
Dampak FOMO terhadap Psikologis
FOMO dan gaya hidup hedonisme memiliki dampak psikologis yang signifikan, termasuk kecemasan, stres, dan rasa tidak puas terhadap kehidupan. Individu yang terus-menerus membandingkan diri dengan orang lain melalui media sosial cenderung merasa bahwa hidup mereka kurang menarik atau kurang bermakna. Menurut Wirasukessa (2022), individu dengan tingkat FOMO yang tinggi sering kali mengalami gejala kecemasan sosial, karena mereka merasa harus selalu terlibat dalam aktivitas yang dianggap penting oleh orang lain. Hedonisme yang didorong oleh FOMO juga menyebabkan individu kehilangan kemampuan untuk menikmati momen sederhana dalam hidup. Tekanan untuk selalu mencari pengalaman baru dan menyenangkan dapat menyebabkan kelelahan emosional dan fisik. Beberapa individu melaporkan merasa bersalah ketika mereka memilih untuk beristirahat atau tidak mengikuti tren tertentu, karena takut dianggap "tidak produktif" atau "tidak relevan.
ADVERTISEMENT
Untuk mengatasi dampak negatif fenomena FOMO dan perilaku hedonisme, individu dapat menerapkan konsep Joy of Missing Out (JOMO). JOMO adalah kebalikan dari FOMO, yang menekankan kepuasan dan kebahagiaan dalam memilih untuk tidak terlibat dalam aktivitas tertentu. JOMO mengajarkan individu untuk menikmati momen tanpa tekanan sosial, menghargai waktu untuk diri sendiri, dan memprioritaskan kebahagiaan pribadi daripada validasi eksternal. Namun, mengadopsi JOMO dalam masyarakat perkotaan yang sangat terhubung memerlukan upaya yang signifikan. Dibutuhkan kesadaran untuk menetapkan batasan dalam penggunaan media sosial dan fokus pada pengalaman yang benar-benar bermakna. Menurut Kiding (2020) individu yang mengadopsi JOMO melaporkan tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi dan merasa lebih puas dengan kehidupan mereka. Dengan pendekatan ini, masyarakat perkotaan dapat mengurangi tekanan sosial dan menemukan kebahagiaan yang lebih berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Fenomena FOMO adalah bagian yang tidak terpisahkan dari gaya hidup masyarakat perkotaan saat ini, yang secara signifikan mendorong perilaku hedonisme. Dari perilaku konsumtif hingga partisipasi dalam hiburan mewah, rasa takut ketinggalan mendorong individu untuk terus terhubung dan mengikuti tren, sering kali dengan mengorbankan kesejahteraan pribadi dan finansial. Namun, dampak negatif seperti kecemasan, stres, dan ketidakpuasan menunjukkan perlunya pendekatan yang lebih seimbang dalam menghadapi tekanan sosial ini. Dengan mengadopsi konsep JOMO dan memprioritaskan kebahagiaan intrinsik, individu dapat menjalani kehidupan yang lebih sehat dan bermakna di tengah arus informasi dan teknologi yang terus berkembang.
DAFTAR PUSTAKA
Aisafitri, L., & Yusrifah, K. (2023). Sindrom Fear of Missing Out sebagai Gaya Hidup Milenial di Kota Depok. Jurnal Riset Mahasiswa Dakwah dan Komunikasi, 4(1), 15-25.
ADVERTISEMENT
Fitriana, A. A. (2024). Fenomena Fear of Missing Out (FOMO) dalam Gaya Hidup Remaja Perkotaan Kota Bekasi. Skripsi, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Kiding, S., & Matulessy, A. (2020). Dari Fomo ke Jomo : Mengatasi Rasa Takut akan Kehilangan (Fomo) dan Menumbuhkan Resiliensi terhadap Ketergantungan dari Dunia Digital. Psisula: Prosiding Berkala Psikologi, 1.
Rut, O., Manurung, S. M., Dharta, Y., & Lubis, F. M. (2022). PENGARUH TAYANGAN KONTEN RACUN TIKTOK TERHADAP KEPUTUSAN PEMBELIAN DI KOMUNITAS PREFIX. Media Bina Ilmiah, 16(10), 7559–7568.
Siddik, S., Mafaza, M., & Sembiring, L. S. (2020). Peran Harga Diri terhadap Fear of Missing Out pada Remaja Pengguna Situs Jejaring Sosial. Jurnal Psikologi Teori Dan Terapan, 10(2), 127.
ADVERTISEMENT
Septiani Putri, L., Hikmah Purnama, D., & Idi Universitas Sriwijaya, A. (2019). GAYA HIDUP MAHASISWA PENGIDAP FEAR OF MISSING OUT DI KOTA PALEMBANG FEAR OF MISSING OUT LIFESTYLE ON STUDENTS IN PALEMBANG. Jurnal Masyarakat & Budaya (Vol. 21, pp. 129–148)
Wirasukessa, K., & Sanica, I. G. (2023). FEAR OF MISSING OUT DAN HEDONISME PADA PERILAKU KONSUMTIF MILLENNIALS: PERAN MEDIASI SUBJECTIVE NORM DAN ATTITUDE. Jurnal Ilmiah Manajemen, Ekonomi, & Akuntansi (MEA), 7(1), 156–175.