Konten dari Pengguna

Hustle Culture Sebagai Pemicu Toxic Productivity, Workaholism dan burnout

Faiz Rahmatullah
Mahasiswa aktif Sosiologi Universitas Brawijaya angkatan 2023
15 Desember 2024 18:23 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Faiz Rahmatullah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi "Hustle Culture" rapat kerja hingga larut malam. Sumber: Dokumen pribadi penulis (26 September 2024)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi "Hustle Culture" rapat kerja hingga larut malam. Sumber: Dokumen pribadi penulis (26 September 2024)
ADVERTISEMENT
Hustle culture, atau budaya kerja tanpa henti, merujuk pada fenomena di mana individu atau kelompok bekerja dengan intensitas tinggi hingga melampaui batas waktu normal, sering kali tanpa mengenal istirahat. Fenomena ini banyak diadopsi oleh generasi milenial yang memandang kesuksesan sebagai hasil dari kerja terus-menerus, dengan mengorbankan waktu istirahat. Tanpa disadari, mereka terjebak dalam pola kerja yang memaksa untuk terus aktif tanpa henti. Hustle culture juga bersifat manipulatif, karena sering kali mengaitkan produktivitas tinggi dan jam kerja panjang dengan janji kesuksesan. Akibatnya, pekerja didorong untuk terus meningkatkan produktivitas mereka dengan bekerja lebih lama, mengurangi waktu istirahat, bahkan mengabaikan hak cuti (Iskandar & Rachmawati, 2022).
ADVERTISEMENT
Hustle culture memiliki keterkaitan erat dengan fenomena toxic productivity, sebuah kondisi di mana individu merasa tertekan untuk terus produktif, baik karena tuntutan eksternal maupun tekanan internal. Toxic productivity dapat muncul akibat pimpinan yang secara tidak langsung mendorong glorifikasi kerja berlebih, misalnya dengan memberikan pujian terhadap karyawan yang bekerja lembur atau di luar jam kerja resmi. Hal ini menciptakan lingkungan kerja yang menormalisasi lembur sebagai standar produktivitas. Selain itu, perasaan harus produktif sering kali muncul ketika seseorang membandingkan dirinya dengan rekan kerja yang tampak lebih produktif, sehingga meningkatkan tekanan internal untuk bekerja lebih keras (Absher, 2020).
Toxic productivity juga sering kali dipicu oleh toxic workplace, yaitu lingkungan kerja yang tidak sehat. Lingkungan ini ditandai dengan tingginya tingkat absensi, depresi di kalangan karyawan, burnout, dan berbagai masalah kesehatan mental seperti ketegangan dan perilaku kerja yang kontraproduktif. Akumulasi dari kondisi ini tidak hanya berdampak buruk pada kesejahteraan individu, tetapi juga mengakibatkan penurunan efisiensi dan kerugian reputasi bagi organisasi secara keseluruhan (Anjum et al., 2018).
ADVERTISEMENT
Produktivitas yang berlebihan, sebagaimana menjadi ciri khas toxic productivity, adalah manifestasi langsung dari penerapan hustle culture. Budaya kerja ini menempatkan produktivitas sebagai tolok ukur utama keberhasilan, yang sering kali dilakukan dengan mengorbankan kesehatan fisik dan mental karyawan. Dalam jangka panjang, pola ini tidak hanya merugikan individu tetapi juga organisasi, karena menciptakan siklus kerja yang tidak berkelanjutan dan merusak.

Hubungan Workaholism dengan Hustle Culture

Workaholism memiliki kaitan erat dengan fenomena hustle culture, di mana budaya kerja ini mendorong individu untuk terus bekerja keras tanpa henti demi meraih produktivitas maksimal. Hustle culture sering kali menekankan nilai bahwa keberhasilan hidup hanya dapat dicapai melalui dedikasi penuh pada pekerjaan, sehingga seseorang merasa terpaksa untuk selalu sibuk dan produktif. Dalam konteks ini, tiga komponen utama workaholic yaitu, keterlibatan kerja, dorongan untuk bekerja, dan kenikmatan kerja menjadi relevan (Ng, 2007).
ADVERTISEMENT
Dalam hustle culture, keterlibatan kerja sering kali berada pada level yang tinggi karena individu merasa perlu menunjukkan dedikasi mereka secara terus-menerus. Namun, dorongan tersebut sering kali tidak hanya bersifat internal tetapi juga dipengaruhi oleh tekanan sosial, seperti tuntutan lingkungan kerja atau norma masyarakat yang memandang "sibuk" sebagai tanda keberhasilan. Dorongan untuk bekerja dalam budaya ini juga meningkat akibat rasa takut tertinggal FOMO (fear of missing out) atau kebutuhan untuk memenuhi ekspektasi karier yang tidak realistis.
Ironisnya, hustle culture sering kali tidak memberikan ruang bagi kenikmatan kerja, karena fokus utamanya adalah produktivitas dan hasil, bukan kepuasan atau keseimbangan. Sebagai akibatnya, individu yang terjebak dalam hustle culture, serupa dengan workaholic, sering kali memiliki tingkat keterlibatan dan dorongan kerja yang tinggi tetapi merasa tidak puas, lelah, atau bahkan mengalami burnout. Kedua konsep ini saling beririsan dalam menunjukkan bagaimana tekanan untuk bekerja secara berlebihan dapat berdampak negatif pada kesejahteraan, baik secara psikologis maupun fisik.
ADVERTISEMENT

Dampak Hustle Culture

Budaya hustle culture dapat mengganggu keseimbangan antara kehidupan kerja dan pribadi, yang pada akhirnya dapat memicu burnout. Pola kerja yang berlebihan dan tidak teratur memberikan dampak negatif terhadap kesejahteraan individu. Kesejahteraan atau well-being seseorang dapat diukur melalui tingkat stres yang dialaminya. Tingkat stres seseorang seringkali berkaitan dengan pola perilaku, dan kesehatan emosional (Kusumaningtyas, 2022). Individu yang terjebak dalam budaya hustle culture, baik secara sadar maupun tidak, cenderung memaksakan diri untuk terus bekerja tanpa henti, yang pada akhirnya menurunkan kesejahteraan psikologis mereka. Selain itu, hustle culture juga berdampak negatif pada kesejahteraan fisik. Dorongan untuk terus bekerja tanpa memperhatikan kesehatan fisik atau meluangkan waktu untuk berolahraga dapat menurunkan kondisi fisik seseorang. Perilaku seperti ini menyerupai kecanduan kerja, yang pada akhirnya meningkatkan tingkat stres individu
ADVERTISEMENT

Cara Mengatasi kebiasaan Hustle Culture

Mengatasi dampak negatif hustle culture, seperti toxic productivity, burnout, dan workaholic, memerlukan upaya yang melibatkan individu, lingkungan, dan perubahan budaya kerja. Pada tingkat individu, penting untuk menetapkan batasan yang jelas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Langkah ini mencakup kemampuan mengatakan "tidak" pada pekerjaan tambahan, mengelola waktu secara efektif, serta memprioritaskan self-care melalui olahraga, meditasi, atau kegiatan yang mendukung kesehatan mental. Selain itu, individu perlu mengevaluasi ekspektasi pribadi agar tidak menetapkan standar yang terlalu tinggi atau membandingkan diri dengan orang lain. Dukungan sosial dari keluarga, teman, atau konselor juga dapat membantu mengurangi tekanan emosional.
Pada lingkungan kerja perlu adanya budaya kerja yang sehat dan profesioanal. Perusahaan dapat mendorong fleksibilitas kerja, mengevaluasi beban kerja karyawan, dan menghilangkan glorifikasi lembur yang sering kali menormalisasi kerja berlebihan. Fokus pada penghargaan atas hasil kerja yang berkualitas, bukan sekadar jam kerja yang panjang, dapat membantu mengubah paradigma tentang produktivitas. Selain itu, pelatihan dan seminar tentang manajemen stres serta kesejahteraan mental dapat memberikan alat bagi karyawan untuk menjaga keseimbangan hidup. perusahaan juga dapat menyediakan akses ke layanan konseling bagi karyawan yang mengalami tekanan atau burnout.
ADVERTISEMENT
Edukasi tentang bahaya hustle culture perlu diperluas melalui kampanye perusahaan dan komunitas untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya keseimbangan hidup. hal ini dapat mendorong individu untuk memanfaatkan waktu cuti tanpa rasa bersalah dan menjadikan istirahat sebagai bagian dari strategi produktivitas adalah langkah penting. Selain itu, pentingnya kolaborasi dengan ahli kesehatan mental juga dapat membantu menciptakan lingkungan kerja yang mendukung kesehatan fisik dan mental. Dengan upaya terpadu ini, individu dan perusahaan dapat menciptakan pola kerja yang lebih sehat, produktif, dan berkelanjutan, sehingga dampak negatif hustle culture dapat diminimalkan.

DAFTAR PUSTAKA

Absher, E. (2020). What You Love is Killing You: Stopping Hustle Culture in the Performing Arts. May.
Anjum, A., Ming, X., Siddiqi, A. F., & Rasool, S. F. (2018). An empirical study analyzing job productivity in toxic workplace environments. International Journal of Environmental Research and Public Health, 15(5). https://doi.org/10.3390/ijerph1505103
ADVERTISEMENT
Hubungan Hustle Culture (Workeholism) terhadap Well Being Anggota UKESMA UGM – Unit Kesehatan Mahasiswa. (2022, June 3). ukesma ugm. Retrieved December 15, 2024, from https://ukesma.ukm.ugm.ac.id/2022/06/03/hubungan-hustle-culture-workaholism-terhadap-well-being-mahasiswa-unit-kesehatan-mahasiswa-ukesma-universitas-gadjah-mada/
Ng, T. W., Sorensen, K. L., & Feldman, D. C. (2007). Dimensions, antecedents, and consequences of workaholism: A conceptual integration and extension. Journal of Organizational Behavior: The International Journal of Industrial, Occupational and Organizational Psychology and Behavior, 28(1), 111-136. https://doi.org/10.1002/job.424
Iskandar, R., & Rachmawati, N. (2022). PERSPEKTIF “ HUSTLE CULTURE ” DALAM MENELAAH MOTIVASI DAN PRODUKTIVITAS. 2(2), 108– 117.