Konten dari Pengguna

Cerita di Balik Tradisi Ceng Beng Tionghoa dan Ziarah Kubur Menjelang Ramadhan

Faiza Alimah
Mahasiswi Jurnalistik Universitas Padjadjaran
25 April 2022 21:57 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Faiza Alimah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Suasana pelaksanaan tradisi ceng beng di luar bangunan Vihara Dharma Bhakti, Jakarta Barat
zoom-in-whitePerbesar
Suasana pelaksanaan tradisi ceng beng di luar bangunan Vihara Dharma Bhakti, Jakarta Barat
ADVERTISEMENT
Siang itu di sebuah vihara besar di Jakarta Barat, seorang pria paruh baya sedang berdiri menjaga meja dengan susunan lilin dan beberapa jenis buah-buahan. Vihara itu sunyi, hanya disibukkan oleh beberapa pengurus dan sedikit pengunjung yang datang untuk hanya sekadar melihat-lihat. Pria itu dengan ramah mempersilakan pengunjung untuk menjenguk vihara dan mengambil foto di bagian dalam rumah ibadah itu.
ADVERTISEMENT
Di dalam, vihara tersebut telah dihiasi oleh api-api dari lilin-lilin merah. Namun, hal yang menarik perhatian ialah di dalam bangunan vihara terdapat banyak makanan yang disajikan di depan patung dan tempat penyembahan. Tempat berdoa tersebut dikelilingi oleh dupa dan lilin sembahyang yang berukuran setinggi orang dewasa. Rupanya, kala itu, tradisi ceng beng sedang dijalankan.
Di awal bulan April, para umat Buddha setempat melaksanakan tradisi ceng beng yang mirip dengan tradisi ziarah makam para umat muslim sebelum bulan Ramadan. Tradisi ini bertujuan untuk menghormati para leluhur yang telah mendahului para masyarakat etnis Tionghoa yang masih hidup. Tidak hanya di rumah sembahyang, tradisi ini juga biasa dilakukan di makam leluhur. Momen ini bukan hanya dilaksanakan untuk ziarah kubur, tetapi juga menjadi ajang berkumpulnya para anggota keluarga.
ADVERTISEMENT
“Kalau adik (merujuk pada seorang pengunjung muslim), ‘kan sebelum Ramadhan ada, tuh, ziarah makam, mendoakan orang-orang yang mendahului kita. Nah, kami juga ada tradisi seperti ini,” ucap pria itu.
Tradisi ceng beng ini memang mengingatkan para umat muslim dengan tradisi ziarah kubur yang biasa dilakukan sebelum Ramadhan tiba. Uniknya, pada tahun ini, kedua tradisi tersebut dilakukan di kurun waktu yang sama, yakni akhir Maret hingga awal April. Ceng beng dilakukan di tanggal 1 sampai 5 April di setiap tahunnya, sedangkan ziarah makam sebelum Ramadhan dilakukan di minggu-minggu terakhir Maret. Peristiwa ini jarang sekali terjadi, mengingat waktu datangnya bulan Ramadan yang ditentukan oleh hitungan tahun hijriah bukan masehi.
Kedua tradisi penghormatan pada leluhur ini ternyata telah dilakukan oleh masing-masing umat sejak dahulu kala. Ritual Ceng Beng dimulai sejak masa Kekaisaran Zhu Yuan Zhang, yakni tahun 1360-an. Zhu Yuan Zhang berasal dari keluarga miskin, sehingga orangtuanya mendidik Zhu Yuan Zhang untuk kerap meminta bantuan kepada sebuah kuil.
ADVERTISEMENT
Ketika Zhu Yuan Zhang sudah dewasa, ia berhasil meruntuhkan Dinasti Yuan dan mendirikan Dinasti Ming. Ia juga berhasil mendapat jabatan sebagai kaisar. Kemudian, ia memutuskan untuk pulang menemui kedua orangtuanya. Namun, kedua orangtuanya telah tiada dan Zhu Yuan Zhang tidak mengetahui di mana makam mereka berada. Dengan tujuan ingin mengetahui lokasi makam orangtuanya itu, ia memerintah rakyatnya untuk berziarah ke makam pada hari yang telah disepakati.
Zhu Yuan Zhang meminta rakyatnya untuk menaruh secarik kertas kuning di atas makam milik leluhur masing-masing. Dengan begitu, Zhu Yuan Zhang dapat mengetahui makam mana yang belum diberi kertas kuning dan bisa menyimpulkan yang manakah makam orangtuanya. Tradisi tersebut akhirnya dilakukan oleh masyarakat beretnis Tionghoa setiap tahunnya sejak saat itu.
ADVERTISEMENT
Sedangkan dalam sejarah Islam, ziarah kubur ini adalah sebuah ritual universal yang diduga munculnya dari kepercayaan masyarakat kuno untuk menghormati para moyang. Tradisi serupa telah dilakukan oleh masyarakat terdahulu sebelum masuknya agama Islam di Indonesia. Setelah Islam menanamkan benih-benihnya di tanah Nusantara, tradisi ziarah makam ini diadopsi dan disesuaikan dengan aturan-aturan Islam.
Awalnya, tradisi ziarah kubur ini diharamkan oleh Rasulullah SAW. Namun, setelahnya beliau mempersilahkan bahkan menganjurkan umatnya untuk menjalani tradisi ziarah kubur ini. Kebiasaan melayat dan mendoakan orang-orang yang sudah lebih dulu mendahului kita ini, menurut Rasulullah SAW, dapat mengingatkan umatnya mengenai kematian dan keadaan orang-orang yang telah meninggal.
Berbeda dengan ceng beng yang identik dengan penyerahan makanan kepada para leluhur, ziarah kubur umat Islam dilakukan dengan pembacaan doa, pembersihan makam, dan penaburan bunga di makam leluhur. Selain itu, ziarah makam tidak hanya dilakukan di bulan Ramadhan saja, melainkan bisa dilakukan juga setiap saat. Namun, masyarakat Indonesia biasanya melakukan ziarah dengan waktu yang serentak di kurun waktu Ramadhan hingga Idulfitri.
ADVERTISEMENT
Kedua tradisi ini menunjukkan bahwa perbedaan yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia dengan latar budaya dan tradisi yang beragam ternyata memiliki banyak kesamaan. Meski menganut kepercayaan dan memiliki sejarah yang jauh berbeda, keduanya masih bisa dijalani bersama-sama tanpa menghalangi arah satu sama lain. Terjadinya kedua tradisi penghormatan leluhur di waktu menjelang Ramadhan ini berhasil menambah taraf kecantikan jembatan toleransi antara umat muslim dan etnis Tionghoa.