Konten dari Pengguna

Diploma VS S1 : Katanya Setara, Nyatanya Apa?

Faizah Aurora Jelda
Mahasiswa semester 5 jurusan Manajemen Universitas Gadjah Mada
15 Desember 2024 13:36 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Faizah Aurora Jelda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber Foto : https://unsplash.com/photos/an-aerial-view-of-a-city-with-a-mountain-in-the-background-f3nvLVzjBPA utm_content=creditShareLink&utm_medium=referral&utm_source=unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Foto : https://unsplash.com/photos/an-aerial-view-of-a-city-with-a-mountain-in-the-background-f3nvLVzjBPA utm_content=creditShareLink&utm_medium=referral&utm_source=unsplash
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa tahun terakhir, pendidikan vokasi di Indonesia mulai mendapatkan perhatian lebih besar dari pemerintah dan masyarakat. Program ini digadang-gadang memiliki keunggulan praktis dibanding dengan S1, yang mana dalam kurikulumnya pendidikan vokasi dicirikan dengan komposisi 60% praktek dan 40% teori. Universitas Gadjah Mada (UGM) tidak ketinggalan dalam hal tersebut. Sekolah Vokasi (SV) UGM didirikan pada 2009 dengan 22 program studi Diploma 3, pada 2019 SV UGM melakukan transformasi program tersebut menjadi Diploma 4/Sarjana Terapan. Saat ini, SV UGM memiliki 22 program studi yang dikelompokkan menjadi 8 Departemen. Sejumlah program studi ini juga memiliki akreditasi baik yang membuktikan keseriusan UGM dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan vokasi. Namun, meskipun banyak yang mengklaim bahwa kini D4 setara dengan S1, pada kenyataannya masih terdapat banyak kesenjangan di berbagai aspek yang sangat terlihat.
ADVERTISEMENT

Setara di Atas Kertas, Tidak di Lapangan

Meskipun setara secara formal menurut UU No. 12 Tahun 2012 mengenai penyetaraan program pendidikan tinggi, nyatanya kesetaraan ini hanya di atas kertas. Vokasi kerap dianggap sebagai “pilihan kedua” bagi siswa yang tidak berhasil masuk ke program S1. Persepsi ini menciptakan perbedaan nilai di mata masyarakat, meski Diploma memiliki kurikulum berbasis praktik yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan dunia kerja.
Ketika pemerintah menyatakan bahwa pendidikan Vokasi dan S1 telah disejajarkan, pernyataan ini mungkin benar menurut hukum dan undang-undang, namun tidak pada realitanya. Kesenjangan akses terhadap fasilitas pendidikan adalah salah satu contohnya. “UKT yang terbilang tinggi tidak sesuai dengan fasilitas yang kami dapatkan, kaya misalnya ruang perkuliahan yang masih terbilang kuno atau tua dibandingkan dengan fakultas lain”, tutur salah seorang mahasiswa Sekolah Vokasi UGM.
ADVERTISEMENT

Kesetaraan Diploma dan S1: Janji Manis atau Eksekusi Pahit?

UGM sendiri telah mengupayakan berbagai hal untuk mengatasi kesenjangan yang ada, termasuk dengan mendirikan Teaching Industry Learning Center (TILC). Namun menurut penuturan mahasiswa SV UGM itu sendiri, gedung tersebut tidak sepenuhnya digunakan untuk pembelajaran dan tidak cukup dalam menampung banyaknya mahasiswa, sehingga mereka merasa pemanfaatannya belum maksimal. Selain gedung, UGM turut mengupayakan perbaikan pada alat-alat praktikum yang digunakan sebagai sarana pembelajaran, tetapi tetap saja upaya ini belum sepenuhnya dapat memberikan ruang belajar yang nyaman bagi mahasiswanya, “Lab nya ada di gedung lama, tapi karena itu gedung lama jadi memang ga diperuntukan buat praktikum, tempatnya kurang memadai,” begitu kira-kira kondisi di SV UGM sendiri saat ini. Ketimpangan dengan fasilitas yang diperoleh mahasiswa S1 semakin terasa ketika terungkap fakta bahwa masih banyak prodi vokasi yang melakukan praktikum di fasilitas milik prodi S1.
ADVERTISEMENT
Selain peningkatan dari sektor fasilitas dan sarana, UGM juga turut berupaya meningkatkan dari sisi akademis. Lulusan yang ditargetkan dapat turun langsung ke lapangan dibekali dengan praktik langsung yang lebih banyak mereka dapatkan sebagai bagian dari kurikulum, selain itu mereka juga dibekali dengan sertifikasi kompetensi.
Peningkatan fasilitas dan penyelarasan kurikulum dengan kebutuhan industri memang langkah penting. Namun, upaya tersebut belum mampu sepenuhnya menghilangkan stigma sosial terhadap sekolah vokasi, diploma, atau D4, yang masih sering dipandang sebelah mata. Stigma ini telah “mengakar kuat, menjulang tinggi” seakan mencerminkan filosofi dari UGM itu sendiri. Diperlukan kampanye lebih luas untuk mengubah persepsi masyarakat tentang pendidikan vokasi sebagai jalur pendidikan yang sama berharganya dengan S1. Selain itu, sinergi antara dunia pendidikan dan industri juga harus lebih kuat agar lulusan diploma benar-benar memiliki daya saing yang setara. Kalau begini, klaim setara rasanya perlu revisi. Apakah ini kesetaraan yang dibanggakan, atau sekadar janji manis dengan eksekusi pahit?
ADVERTISEMENT

Setara itu Harus Nyata

Diploma dan S1 tidak harus dibandingkan sebagai “lebih baik” atau “lebih buruk”. Keduanya memiliki tujuan dan pendekatan berbeda, tetapi sama pentingnya dalam membangun sumber daya manusia Indonesia yang unggul. Namun, untuk mencapai kesetaraan yang nyata, perlu dukungan dan kontribusi dari semua pihak, baik pemerintah, institusi pendidikan, mahasiswa, hingga masyarakat dalam menghargai nilai dari masing-masing jenjang pendidikan.
Kesetaraan bukan soal pakta di atas kertas, atau fasilitas maupun gelar. Kesetaraan juga tentang bagaimana kita memandang dan memberikan peluang yang sama bagi setiap mahasiswa baik dari jalur S1 maupun vokasi. Sampai kapan kita akan terus bermain sandiwara "setara" ini? Sampai kapan lulusan diploma akan terus merasa seperti penonton di panggung karir mereka sendiri? Pertanyaan retoris yang jawabannya nyaris terdengar seperti bisikan angin di padang tandus.
ADVERTISEMENT
Selamat datang di Indonesia, negeri di mana kesetaraan pendidikan masih menjadi dongeng yang menunggu akhir bahagia. Diploma atau S1, kita diharapkan bisa bertahan dan terus berkarya di tengah sistemnya yang kejam dan tak berperasaan. Semoga suatu hari nanti, "setara" tidak lagi sekadar menjadi kata indah tanpa makna. Katanya sudah setara, nyatanya hanya angan belaka.