Sinar Krawang, Pers Kritis Sunda Zaman Belanda

faizalarifin
Sejarawan Amatiran, Mahasiswa Doktoral Religious Studies UIN SGD Bandung, Pengajar STIABI Riyadul Ulum
Konten dari Pengguna
24 April 2021 21:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari faizalarifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Penganiayaan terhadap Jurnalis Tempo, Nurhadi, pada bulan Maret lalu, merupakan peristiwa memilukan yang perlu diusut tuntas. Padahal peran jurnalis serta dunia pers sangat penting “sabab pikeun njirikeun moendoer madjoena salah sahidji bangsa teh ngoekoer ka soerat kabarna (sebab untuk mencirikan maju mundurnya sebuah bangsa salah satunya dapat diukur dari surat kabarnya),” tulis seorang jurnalis 88 tahun lalu di Karawang. Tulisan kritis tersebut tertera dalam rubrik lenjepan menjadi tulisan utama.
ADVERTISEMENT
Jika dulu jurnalis dan pers berjuang menghadapi Kolonialisme, maka sampai kini jurnalis tetap memperjuangkan bangsa sesuai tantangan zaman. Kepentingan bangsa melalui perlawanan terhadap korupsi menjadi perjuangan utama. Setidaknya, “Sinar Krawang” dari masa lalu berdialog kepada kita di masa kini, mengenai urgensi dan peran pers bagi bangsa.
Sinar Krawang, Koran Berbahasa Sunda, Edisi 24 Juli 1933 (Sumber: Koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Kredit Foto: Dokumen Pribadi)
Gagasan dan kritik pada masa lalu terekam dalam sebundel lembaran kertas koran nan rapuh berbahasa Sunda yang kini menguning dan menua. “Sinar Krawang” menjadi huruf paling tebal yang tercetak dominan, sebagai headline yang menjadi nama koran. Mari kita merenung dan berkontemplasi dari “Sinar Krawang.”
Lesunya Pergerakan Tahun 1930-an
Media massa tersebut lahir dalam situasi dan kondisi masyarakat yang dicengkeram Kolonialisme Belanda. Terlebih, era tahun 1930-an merupakan masa krisis bagi aktivitas pergerakan Indonesia. Namun, upaya membangun negeri terus lahir dari Sinar Krawang meski krisis pergerakan melanda.
ADVERTISEMENT
“Masa krisis, hidup susah, mati pun enggan,” tulis Cahyo Budi Utomo, akademisi dari Universitas Negeri Semarang, dalam buku Dinamika pergerakan kebangsaan Indonesia (1995). Bung Karno, sebagai tokoh sentral pergerakan, tengah menjalani hari-hari dibui sebagai pesakitan di penjara Banceuy dan Sukamiskin.
Ong Hok Ham dalam buku Runtuhnya Hindia Belanda (2014), berpendapat bahwa pergerakan tahun 1930-an meninggalkan prinsip non-kooperasi. Perubahan dari “garang” menjadi “kooperatif” salah satunya disebabkan banyaknya aktivis pergerakan yang dipenjarakan, diintai, dan diawasi.
Namun, tidak semua tunduk tanpa upaya. Sinar Krawang justru diterbitkan di Cikampek pada 24 Juli 1933. Salah satu artikel berjudul ”Journalistiek” yang dikutip pada bagian awal, berupaya mengajak masyarakat Karawang untuk peduli dan berperan aktif pada dunia jurnalistik. Juga, secara optimistik mendambakan banyaknya penulis kritis lahir memperbaiki bangsa yang tengah lesu.
ADVERTISEMENT
Koran Sinar Krawang: Kritik Jurnalis pada Situasi Kolonial
Journalisten teh pohara gede goenana keur ngomean hiroep koemboeh (Para jurnalis adalah sangat besar kebermanfaatannya untuk dapat memperbaiki aspek-aspek kehidupan),” tulis artikel utama lenjepan. Lenyepan adalah istilah bahasa Sunda yang merujuk pada sikap untuk merenungi serta memikirkan secara mendalam. Tulisan redaksi dalam lenyepan mengajak, khususnya para pemuda untuk concern menulis sebagai sebuah bakti untuk bangsa dan kehidupan rakyat.
Lenjepan juga mengkritisi minat baca bagi kaum Sunda yang berjumlah 11 juta (1,5 penduduk Belanda di Eropa), “Tapi aja sabaraha peresen noe sok matja soerat kabar? (Akan tetapi, berapa persenkah di antaranya yang suka membaca surat kabar?)” Melalui argumentasi bahwa bekerja jika maksimal 10 jam, maka masih menyisakan 14 jam waktu yang setidaknya dapat digunakan untuk membaca, “da asa pirakoe soegan ari 24 djam rek dipake digawe djeung sare bae mah kabeh (Karena keterlaluan, jika dari 24 jam hanya digunakan untuk sekedar bekerja dan tidur saja),” kritiknya.
ADVERTISEMENT
Sedangkan “Darah Moeda” seorang penulis anonim menerbitkan artikel berjudul “Kemadjoean.” Ia mengkritisi bangunan kolonial yang kontras dengan nasib bangsa terjajah, “Gedong rapang tingdarenggleng, saha eta teh anoe boga? (Gedung megah berhimpitan, tapi kepunyaan siapa?)”. Bumiputera perlu dibangunkan untuk maju mengejar ketertinggalan, “…boektina kaoem tani kari daki, kipadagang tinggal hoetang, kaoem boereoh tingrarahoeh (Buktinya kaum tani tinggal 'daki', para pedagang tinggal hutang, kaum buruh terpuruk).” Melalui frasa yang bermakna dan tinggi cita rasa sastra-budaya Sunda, mengkritisi kondisi rakyat.
Surat Kabar Sunda dan Riset Sejarah
Dengan tagline, “Soerat Kabar Soenda Oemoem,” Sinar Krawang menjadi merupakan satu-satunya media massa berbahasa Sunda yang diterbitkan di Karawang. Tercatat redaksinya bertempat di Dawuan, Cikampek, dengan seorang direksi S. L. Tan dibantu administratornya A. Soetamiarsa. Sayangnya, koleksi yang diterbitkan sebulan dua kali dengan harga 10 cent ini, arsipnya hanya ada satu edisi.
ADVERTISEMENT
Koleksi koran era kolonial ini, dapat kita temukan di Perpustakaan Nasional RI “cabang” Salemba, lantai 7. Usianya yang kini hampir 90 tahun, menyisakan potongan-potongan sobekan kertas, dalam sebuah kotak pelindung koleksi langka. Namun hal penting lain adalah, pentingnya eksistensi majalah berbahasa Sunda seperti Mangle, serta rubrik maupun artikel berbahasa Sunda
Meskipun hanya satu edisi Sinar Krawang yang menjadi kajian, ternyata koran tersebut berperan mengedukasi publik tentang pentingnya dunia jurnalistik dalam memperbaiki bangsa dan masyarakat. Sikap kritis pers menentang dan memperjuangkan rakyat, perlu diupayakan meskipun “pergerakan” dibungkam Kolonialis Belanda. Dalam konteks kekinian, kualitas pers menjadi penting untuk mencerdaskan masyarakat, selain lembaga pendidikan formal. Fungsi edukasi oleh pers inilah yang harus terus dikembangkan sebagai gerak perubahan menuju kemajuan.
ADVERTISEMENT
Bagi akademisi, perlu kiranya untuk membalas budi kepada para pejuang bangsa, termasuk jurnalis masa kolonial. Sehingga penting rasanya, untuk melakukan kajian dan riset terhadap berbagai koleksi langka koran kolonial.
Di antara koran Sunda yang dapat diteliti yaitu Aosan Moerangkalih (1920-1922), Balaka (1939-1940), Bidjaksana (1934), Balatentara Islam (1924-1925), Banteng Priangan (1929-1932), Benteng Ra’jat (1929-1930), Galoeh (1939-1942), Galura (1994-1995), Katja (1925), Langlajaug Domas (1927-1928), Lembana (1939), Marhaen (1932), Padjadjaran (1919-1923), Panggeung (1929-1929), Panghegar (1955-1956), Pasoendan (1929-1932), Passar Dagang (1932), Populair (1935), Priangan (1940-1941), Sekar Roekoen (1921-1926), Siliwangi (1921-1922; 1956), Simpaj (1916), Sinar Pasoendan (1933-1942), Sipatahoenan (1927-1929), Sora Kemoedi (1940-1941), Sora Merdeka (1920), Sora Soenda (1923), Taufiq (1936), Tawekal (1936-1940), Tirtajasa (1929), Timbangan (1937-1938), Toembal (1938-1941), dan koleksi lainnya.
ADVERTISEMENT
Kajian multidisipliner yang kini menerpa dunia akademis, membuat kajian koran langka tidak “dimonopoli” oleh ilmu sejarah. Jadi, bagi mahasiswa dan peneliti jurnalistik, linguistik, psikologi, sosiologi, bahkan studi agama pun dapat memotret koran langka di Tatar Sunda sebagai sentral penelitian. Kajian multi-keilmuan diharapkan memperkaya agar ilmu pengetahuan berkembang semakin holistik.
Kajian dan riset terhadap pers di masa lalu, seharusnya membuat kita semakin tersadar. Bahwa pers harus terus kritis dan berani, meskipun bui Kolonialisme siap menjerat. Meskipun aniaya menjadi taruhan dan konsekuensi. Namun, idealisme dan nyali jangan sulut-padam. Publik pun wajib terus memberikan dukungan, untuk bersama jurnalis “berjihad” melawan kejahatan korupsi. Sampurasun!