Penerapan Falsafah Stoa di Tengah Masyarakat Urban

Faizuddin Ahmad
Librarian at National Library of the Republic of Indonesia
Konten dari Pengguna
1 Agustus 2021 10:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Faizuddin Ahmad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi : Masyarakat Urban (Source: pexels)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi : Masyarakat Urban (Source: pexels)
ADVERTISEMENT
Hidup di kota besar seperti Jakarta memerlukan effort yang tinggi bagi saya. Sikap adaptif perlu terapkan sebagai orang yang dahulu tinggal di lingkungan perkampungan. Membiasakan diri dari kemacetan, berkejaran dengan waktu untuk berangkat kerja, dan lingkungan tempat tinggal yang berbeda jauh ketika saya tinggal di kampung terkadang mempengaruhi emosional saya. Ketidaknyamanan di lingkungan baru mengakibatkan kesulitan dalam mengendalikan pikiran saya sehingga mengganggu produktivitas dalam bekerja dan rutinitas sehari hari.
ADVERTISEMENT
Kegalauan yang alami mengantarkan saya membaca sebuah artikel tulisan dari Devi Layla A tentang ajaran filsafat stoikisme. Filsafat stoikisme atau stoa dikenal sebagai sebuah aliran filsafat Yunani kuno yang didirikan oleh Zeno dari Citium Athena. Kata Stoa berasal dari Bahasa Yunani yang berarti beranda rumah, sedangkan Stoik merujuk pada orang-orang yang belajar di beranda-beranda rumah. Tokoh besar penganut stoa selain Zeno adalah Marcus Aurelius, Epikuros, dan Cicero.
Filsafat Stoa mempelajari tentang falsafah hidup untuk lebih tenang, kecukupan hidup, kedamaian hati, pikiran, tidak takut akan kemiskinan, kesengsaraan, dan kematian-nrimo ing pandhum (Simon B, 2013:836). Istilah lainnya legowo. Berbeda dengan Filsafat Yunani lainnya filsafat Stoa lebih meyakini keberadaan Logos (Ilahi) yang menyertai dan menguasai alam semesta. Artinya semua yang terjadi di dunia ini sudah ada garisnya yaitu kuasa Allah maka sebagai manusia adalah bertawakal menyerahkan diri semua kepada semesta (illahi) dan bersikap realistis dalam merespons segala sesuatu.
ADVERTISEMENT
Its not what happens to you, but how you react to it that matters”. Seperti yang dikatakan epitectus ketika suatu hal buruk atau suatu hal tidak diinginkan menimpa hidup kita maka yang perlu kita lakukan adalah menerimanya karena segala sesuatu sudah diatur Allah. Reaksi positif atas segala peristiwa sangat penting bagi kita semua. Bagaimana pun apa yang terjadi maka menerima lah dan menghadapinya dengan bijak.
Penerapan falsafah Stoa sangat bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari termasuk masyarakat urban atau perkotaan. Sikap kompetitif kerja di kantor yang tinggi antar rekan kerja sering membuat lingkungan kerja tidak sehat. Rekan kerja yang cari muka ke atasan atau menjatuhkan kita di tempat kerja, di tambah kemacetan di jalan dan berkejaran dengan waktu seperti berangkat petang pulang petang dan besuk yang harus berangkat lagi dengan tugas yang menumpuk, rutinitas-rutinitas yang absurd seperti ini yang perlu dilakukan adalah dengan mengabaikan segala sesuatu diluar kendali kit dan berfokus atas apa yang bisa kita kendalikan yaitu perasaan kita sendiri. Apakah kita menerimanya dengan emosi, marah, atau menyerahkan semuanya kepada Allah.
ADVERTISEMENT
Selain, itu membatasi ekspektasi kita akan keinginan juga merupakan hal penting bagi kaum Stoa. Misalnya Jika kita sudah ditakdirkan hidup di perkotaan dengan keruwetanya maka terima saja. Sebagai orang yang dulunya hidup di perkampungan yang tidak ada kemacetan, tidak dikejar oleh waktu dan gangguan-gangguan emosional dari orang lain di jalan raya misalnya maka yang perlu dilakukan adalah mengurangi keinginan hidup di kota seperti hidup di kampung.
You have power over your mind-not outside event. Realize this and you will find strength. Marcus Aurelius mengatakan kita lah yang memegang kendali pikiran kita, bukan orang lain. Maka dari itu apa pun yang terjadi atas diri berasal dari pikiran kita sendiri. Kita boleh saja menerimanya sebagai penderitaan atau kita menerima seolah-olah itu bukan penderitaan kita. Bos marah dengan kita, orang lain tidak suka dengan kita maka biar kan saja karena itu bukan kendali atas diri kita.
ADVERTISEMENT
Segala hal yang terjadi dalam hidup kita adalah perspektif dari pikiran kita sendiri. Lihat perspektif dari pikiran yang lebih luas. Semua penderitaan yang kita alami saat ini jangan lihat itu semua sebagai penderitaan melainkan proses perjalanan hidup. Hidup tidak mungkin datar-datar saja pasti ada lika-liku kehidupan seperti senang-sedih, kehadiran-kehilangan, kelahiran-kematian yang pasti akan mewarnai dalam hidup kita. Maka berfokuslah pada yang bisa kita kendalikan dan abaikan segala hal di luar kontrol yang tidak bisa kita kendalikan . Jangan membuang waktu atas hal-hal yang tidak berguna karena hidup itu sementara maka nikmatilah hidup itu.