Bagaimana Al-Kindi Menangkis Paham Ateisme?

Muhammad Fajar Hidayatulloh
Mahasiswa S1 UIN Sunan Ampel Surabaya
Konten dari Pengguna
13 Januari 2023 14:51 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Fajar Hidayatulloh tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto orang sedang beribadah. (Sumber: Unsplash)
zoom-in-whitePerbesar
Foto orang sedang beribadah. (Sumber: Unsplash)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Seperti yang ketahui bahwa paham “Ateisme” adalah paham yang menolak adanya Tuhan, terutama Tuhan yang diakui secara resmi. Paham ini menganggap segala sesuatu yang dilakukan manusia tidak ada hubungannya dengan Tuhan. Penganutnya beranggapan bahwa apa yang diperbuat manusia adalah semata-mata hasil dari manusia itu sendiri yang dia peroleh dari usahanya.
ADVERTISEMENT
Paham ini muncul pada abad keenam atau kelima sebelum masehi, bisa kita lihat dari sejarah suku-suku Pigmi yang ditemukan di Afrika. Di era tersebut, budaya masyakaratnya tidak seperti suku lain, karena suku ini tidak memiliki dewa, dan tidak ada ruh, bahkan orang meninggal di suku itu hanya dikuburkan begitu saja tanpa prosesi upacara keagamaan.
Jika kita menelisik lebih jauh ke dalam negara kita, masyarakat di sini mayoritas mempercayai adanya Tuhan dan menjunjung tinggi hal-hal yang bersangkutan dengan Tuhan maupun agama. Terlebih negara juga mewajibkan seluruh warganya untuk memeluk agama. Lagipula karena budaya leluhur pada zaman dahulu sebelum agama masuk sudah mempercayai akan kekuatan yang ada di luar diri manusia, seperti mempercayai roh-roh leluhur yang kemudian ini membuat suatu keyakinan di masyakarat menjadi theisme (percaya adanya Tuhan).
ADVERTISEMENT
Akan tetapi akhir-akhir ini kita sering dikejutkan dengan orang-orang yang muncul di media sosial mengatakan bahwa Tuhan itu tidak ada bahkan eksistensinya masih dipertanyakan.
Nah perdebatan-perdebatan semacam ini sebetulnya sudah ada sejak zaman dahulu, bahkan argumen-argumen metafisika dalam rangka menepis paham “Ateisme” pernah dikemukakan oleh filosof Muslim bernama Al-Kindi yang hidup pada masa khalifah Harun Al-Rasyid tahun 801 M.
Al-Kindi lahir di Kufah, atau sekarang berubah menjadi negara Irak. Al-Kindi meninggalkan banyak karya tulis, setidaknya ada 270 buah karya tulis yang teridentifikasi, yang dapat diklasifikasikan dalam 17 kelompok: (1) filsafat, (2) logika, (3) ilmu hitung, (4) globular, (5) musik dan lain sebagainya yang tidak mungkin saya sebut satu per satu karena terlalu banyak.
ADVERTISEMENT
Lantas bagaimana pandangan Al-Kindi mengenai dalil adanya Tuhan? Beliau mengajukan beberapa argumen untuk membuktikan adanya tuhan baik filosofis maupun teologis.
Pertama, berdasarkan prinsip hukum sebab akibat atau kausalitas. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa, semesta ini adalah terbatas dan tercipta dari ketiadaan. Menurut prinsip sebab akibat, setiap yang tercipta berarti ada yang mencipta, dan sang pencipta yang dimaksud adalah Tuhan. Ketika Tuhan sebagai pencipta dan karya ciptaannya yang berupa semesta ini ada, maka Dia ada.
Kedua berdasarkan prinsip bahwa segala sesuatu tidak dapat menjadi sebab atas dirinya sendiri, karena agar dapat menjadi sebab bagi dirinya, sesuatu itu harus ada sebelum dirinya. Apa yang dimaksud sebagai “sesuatu” di sini adalah semesta. Artinya, jika semesta tidak dapat muncul karena dirinya sendiri berarti dia butuh sesuatu di luar dirinya untuk memunculkannya, dan itu adalah Tuhan.
ADVERTISEMENT
Ketiga, berdasarkan analogi antara alam makrokosmos (semesta) dan mikrokosmos (manusia). Menurut Atiyeh, argumen ini didasarkan atas pemikiran kaum Stoik, sebuah aliran flsafat Yunani kuna yang dibangun oleh Zeno (334—262 SM) pada 3601 SM di Athena: juga pemikiran Marcus Tullius Cicero (106 SM—43 M). Menurut argumen ini, persis sebagaimana tubuh manusia yang bergerak dan berfungsi secara tertib dan mulus yang menunjukkan adanya sang pengatur yang cerdas dan tidak kelihatan, yaitu jiwa, maka demikian juga dengan alam.
Perjalanan alam yang teratur, tertib, dan selaras menunjukkan adanya sang pengatur yang sangat cerdas dan tidak kelihatan, yaitu Tuhan, Karena itu, ketika ditanyakan kepada Al-Kindi, bagaimana kita dapat mengetahui adanya Tuhan, dia menjawab bahwa persis seperti kita memahami adanya jiwa dengan memperhatikan munculnya gerak dan efek-efek yang dapat diamati dari tubuh, maka begitu pula dengan Tuhan.
ADVERTISEMENT
Keberadaan-Nya dapat diketahui lewat efek-efek pengaturan-Nya yang bijak sebagaimana yang terwujud dalam semesta. Meski demikian, Atiyeh mengingatkan bahwa penggunaan analogi Stoik oleh Al-Kindi tersebut bukan berarti dia sepakat dengan pandangan panteisme kaum Stoik, “satu ruh Ilahi dan imanensi Tuhan atas alam”. Al-Kindi adalah seorang pendukung yang gigih atas paham transendensi dan kemahabesaran Tuhan. Penerimaannya atas analogi Stoik lebih bersifat dan terbatas pada aspek metodologis, bukan metafisis.
Keempat, didasarkan atas argumen teleologis, yaitu dalil al-'inayah. Dalil ini menyatakan bahwa semua gejala alam yang tertib, teratur, dan menakjubkan ini tidak mungkin terjadi secara kebetulan melainkan pasti karena adanya tujuan dan maksud tertentu, sekaligus menunjukkan adanya Zat Yang Maha Mengatur yang merupakan “pembangkit dari semua pembangkit, yang pertama dari semua yang pertama, dan yang menjadi sebab dari semua sebab”.
ADVERTISEMENT
Al-Kindi menulis “Susunan alam dan keteraturannya yang mengagumkan, di mana setiap bagian selaras dengan bagian lainnya, beberapa bagian tunduk pada pengaturan bagian lainnya: juga pengaturannya yang sempurna, di mana yang terbaik selalu terpelihara dan yang terburuk senantiasa terbinasakan, semua adalah petunjuk yang paling baik dan jelas tentang adanya sistem pengaturan yang sangat cerdas, yang dengan demikian menunjukkan adanya Sang Maha Pengatur yang sangat cerdas”.
Argumen terakhir ini, oleh sebagian filosof, dianggap sebagai dalil paling efektif untuk membuktikan adanya Tuhan. Dalam tradisi filsafat Islam, dalil ini juga digunakan oleh Ibn Rusyd (1126-1198 M),“ sedang dalam tradisi filsafat Barat dipakai oleh Immanuel Kant (1724-1804 M). Nah jadi bagaimana menurut teman-teman itu tadi adalah dalil adanya tuhan menurut gaya pemikiran Al-Kindi yang kemudian juga diadopsi oleh filosof barat, kesimpulannya bahwa menunjukkan Adanya Tuhan itu bisa kita lihat dari sesuatu yang diciptakan oleh Tuhan itu sendiri.
ADVERTISEMENT