Bukan Sekadar Teh Boba: Kedigdayaan Perekonomian Taiwan

Fajar Martha
Karyawan swasta yang senang baca sastra
Konten dari Pengguna
3 April 2021 15:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fajar Martha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Pixabay
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Novita membutuhkan waktu lebih dari satu pertandingan sepakbola untuk mendapatkan segelas brown sugar boba milk. Minuman dingin campuran antara susu, gula aren, dan bola-bola kehitaman itu adalah salah satu pilihan rasa yang ditawarkan kedai teh boba Xing Fu Tang. Dilansir dari Detik (19/6/2019), minuman itu harus Novita tebus seharga Rp30.000,- per gelas; sebuah angka yang tak murah.
Xing Fu Tang adalah gerai waralaba asal Taiwan. Salah satu pemiliknya, Vancelia Wiradjaja, memboyong minuman ini ke Indonesia setelah terpukau oleh kepopuleran makanan Taiwan di Australia. Kedai yang dalam bahasa Indonesia berarti “wajah bahagia” ini kini telah memiliki 21 cabang di seluruh Indonesia. Pembaca tentu mafhum, rezeki tak hanya menciprati Xing Fu Tang. Masyarakat dan pelaku bisnis Indonesia menyambut teh boba dengan gegap gempita, bersaing dengan minuman populer lain seperti es kopi susu yang gampang kita jumpai di mal ataupun kaki lima.
ADVERTISEMENT
Menurut Maggie Hiufu Wong dari CNN (2020), sejarah teh boba sejatinya merentang jauh hingga warsa 1949 kala Chang Fan Shu membuka kedai teh pertama yang menyajikan teh dengan cara dikocok (‘shou yao’). Dengan metode ini, teh yang tersaji memiliki tekstur lembut dan berbusa. Selain itu, metode ini juga mempopulerkan sajian teh dingin yang tak pernah dibayangkan sebelumnya.
Tangan selanjutnya yang bertanggung jawab menciptakan teh boba adalah Tu Tsong He. Pada 1986, di tengah maraknya kedai teh trendi di Taiwan, ia turut tergiur melakukan hal yang sama. Pada sebuah perjalanan ke pasar di Yamuliao, ia melihat kembali fenyuan (boba dalam bahasa Taiwan) yang merupakan kudapan favoritnya semasa ia kecil. Sebuah ide pun tercetus di kepalanya untuk menambahkan bola-bola kenyal itu ke dalam teh hijau yang ia jual. Kisah selanjutnya berakhir semanis teh boba. Kedai miliknya, Hanlin, kini telah memiliki lebih dari 80 cabang yang beroperasi juga di luar Taiwan.
ADVERTISEMENT
Ada versi lain yang perihal sejarah penemuan minuman dengan nama lain bubble tea ini. Lin Hsiu Hui, Manajer Produk gerai Chun Shui Tang, mengaku ide menambahkan boba ke dalam minuman pertama kali ia lakukan pada saat rapat pegawai di tahun 1988. Saat minuman itu tersaji di meja, kolega Hui pun, sebagaimana dunia kini, menyukainya.
Teh boba adalah gambaran kecil perekonomian negara di Asia Timur itu. Menurut Allied Market Research, Taiwan dan teh boba telah menginspirasi suatu bisnis yang ditaksir akan senilai US$43 miliar pada 2027 nanti. Walaupun sempat ada persaingan sengit mengenai hak cipta, pengadilan akhirnya memutuskan bahwa siapa pun tidak berhak memegang hak cipta eksklusif atasnya, sehingga boba bebas dijual oleh siapa pun.
ADVERTISEMENT
***
Di suatu pagi, sehari setelah Tahun Baru Imlek 1974, tujuh orang berkumpul di sebuah kedai di pusat kota Taipei. Selain sarapan, mereka berbincang mengenai rencana yang akan mengubah wajah Taiwan di segi ekonomi dan bisnis. Salah seorang dalam rapat tersebut menyarankan kepada menteri urusan ekonomi Taiwan kala itu, Sun Yun-suan, untuk mengembangkan bisnis sirkuit terpadu (integrated circuit)—benda kecil yang merupakan otak bagi alat-alat elektronik.
Walau membutuhkan empat tahun dan komitmen modal sebesar US$10 juta, pemerintah Taiwan menyepakati rencana tersebut. Perusahaan elektronik terkemuka Amerika Serikat kala itu, Radio Corporation of America (RCA), dipilih menjadi kolaborator yang sepakat untuk mentransfer teknologi pembuatan semikonduktor pada 1976. Tiga tahun sebelumnya, pemerintah telah mendirikan sebuah badan bernama Industrial Technology Research Institute (ITRI) yang bertugas untuk mengembangkan riset terapan dan memberikan saran untuk kebutuhan industri. Mereka pula yang kala itu mengirim ilmuwan-ilmuwan Taiwan untuk berlatih di Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT
Dalam Taiwan Success and Vulnerability: Lessons for the 21st Century (Gustav Ranis, 2007), perekonomian Taiwan terbagi menjadi tiga fase. Pertama, fase substitusi impor yang berlaku pada 1950 hingga 1960an. Kedua adalah fase ekonomi berorientasi ekspor dan, ketiga, fase ekonomi berorientasi ilmu dan teknologi yang dimulai pada dekade 1980an. Seperti yang mudah diterka, fase ketiga dilakukan untuk lepas dari ketergantungan pada sektor pangan. Pasalnya, walau sempat terkenal sebagai penghasil beras dan teh, hanya seperempat wilayah Taiwan yang layak untuk dijadikan area agrikultur.
Hasilnya menakjubkan. Taiwan menjadi negara terdepan, kalau bukan yang paling dominan, dalam memproduksi semikonduktor. Taiwan Semiconductor Manufacturing Company (TSMC) dan United Microelectronics Corporation (UMC) merupakan dua perusahaan semikonduktor terkemuka yang kerap menempati posisi teratas dari segi penjualan. Pada 2012 silam, industri ini berhasil menciptakan keuntungan di angka US$63 miliar. Negara ini bersaing secara ketat dengan negara-negara seperti Amerika Serikat dan Jepang.
ADVERTISEMENT
Memang, tak seperti produk-produk murah asal Cina yang membanjiri pasar, kita tak merasakan langsung produk asal Taiwan. Tidak seperti yang terjadi pada dekade 1990an di mana barang-barang elektronik asal Taiwan dapat ditemui dengan mudah. Kini, kita tak sadar bahwa mungkin sebagian besar alat-alat di rumah—mulai dari televisi, komputer, hingga iPhone 11—dipersenjatai microchip buatan Taiwan.
***
Dalam papernya, Ranis (2007) menyimpulkan bahwa apa yang terjadi di Taiwan telah menegaskan asumsi ekonom Simon Kuznets mengenai tiga komponen institusional penyokong kesuksesan transisi pertumbuhan ekonomi. Ketiga komponen tersebut adalah sekularisme, egalitarianisme, dan nasionalisme. Sekularisme yang dimaksud merupakan sikap pengutamaan pemenuhan kebutuhan hidup alih-alih spiritualisme. Sementara, egalitarianisme mengacu pada gagasan bahwa setiap orang berhak untuk diperlakukan sama. Berkenaan dengan bahasan, akses yang sama di tempat kerja atau pemberian kredit bank.
ADVERTISEMENT
Hal ketiga, nasionalisme, merupakan komponen terpenting. Nasionalisme organik, sebuah komunitas perasaan yang berdiri di atas kesamaan sejarah di masa silam. Nasionalisme jenis ini terus menjadi perekat karena keberadaan Cina yang senantiasa menjadi ancaman bagi kedaulatan dan perekonomian Taiwan.
Namun, permusuhan negara ini dengan Cina adalah sesuatu yang ambivalen. Kembali kepada demam teh boba, misal. Produk ini bisa sedemikian meledak pada 1990an, saat Cina membuka pintu perekonomiannya. Sama-sama menggemari teh, teh boba dengan mudah menaklukkan pasar Cina, sebelum akhirnya mencengkeram dunia. Per 2011 pun, 40 persen ekspor Taiwan bertujuan ke Cina.
Bersama Hongkong, Singapura dan Korea Selatan, negara ini dijuluki sebagai macan Asia sejak 1990an. Ini merupakan sesuatu yang dapat mereka pertahankan. Lihat saja, Taiwan ditaksir berada di urutan ke-7 sebagai negara dengan kekuatan ekonomi tertinggi di Asia. Mengacu pada paritas daya beli (purchasing power parity – PPP), Taiwan berada di urutan ke-22 sebagai negara dengan ekonomi terbesar di dunia.
ADVERTISEMENT
Dari kacamata Schumpeterian, inovasi, yang bersinonim dengan kreativitas, merupakan bahan bakar utama pertumbuhan ekonomi. Dalam kasus Taiwan, teh boba dapat menjadi simbol pentingnya inovasi yang, alih-alih menghilangkan, justru memodifikasi tradisi dan kebudayaan bangsa. Teh boba menjadi produk hibrida yang mengakar secara sejarah dan budaya, namun tetap bisa mengatasi kebutuhan zaman.
Perekonomian Taiwan memang bukan sekadar teh boba. Hingga akhirnya dikalahkan oleh Burj Khalifa pada 2010, Taipei 101 selama enam tahun memegang rekor sebagai gedung tertinggi di dunia. Kehadirannya seolah-olah menegaskan keperkasaan ekonomi negara tersebut. Bayangkan saja, pendapatan nasional bruto Taiwan pada 1962 hanya sebesar US$170. Pada 2010, angka tersebut melonjak menjadi US$35.227. Kisah mereka perlu menjadi pelajaran bagi Indonesia, yang sama-sama baru bisa melepaskan diri dari penjajahan bangsa lain pada dekade 1940an.
ADVERTISEMENT