Konten dari Pengguna

Hanna Ameera, Bintang Kecil yang Menyinari Langit Literasi

Fajar Martha
Karyawan swasta yang senang baca sastra
31 Agustus 2024 19:42 WIB
·
waktu baca 11 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fajar Martha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Hanna Ameera
zoom-in-whitePerbesar
Hanna Ameera
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tingkat literasi Indonesia yang memprihatinkan tampaknya tak perlu dikemukakan. Apalagi sebagai paragraf pembuka. Aneka data dari berbagai lembaga kerap dikutip guna meyakinkan orang-orang bahwa kita, sebagai bangsa, semakin terjerembab dalam lembah ketidakberdayaan. Harapan bersaing di level dunia, seperti yang telah ditunjukkan orang-orang India dan Cina, makin terasa sulit digapai.
ADVERTISEMENT
Belakangan ini kita sering mendapati inisiatif yang dilakukan pemerintah untuk menaikkan minat baca dan tingkat literasi. Sayangnya yang sering dilakukan justru terkesan seperti menangkap ular pada ekornya. Beberapa program yang mereka buat cenderung berfokus pada pembangunan fasilitas dan penyediaan barang. Sebagian dibumbui dengan rumus-rumus kekinian seperti menghias ruang baca dengan grafiti supaya tampil cantik di media sosial. Walhasil yang muncul adalah kegenitan, bukan keindahan hakiki.
Sikap prihatin takkan membawa kita ke mana-mana. Terus-menerus mengelus dada mustahil mewujudkan harapan kita. Bergerak harus disegerakan, tapi bukan berarti tanpa kalkulasi dan persiapan. Program dan fasilitas yang telah dibangun, selain dijaga kelestariannya, juga harus mendatangkan manfaat yang tepat guna. Berapa ribu pun buku takkan berfaedah jika cuma disentuh saat seremoni serah terima. Yang paling perlu diubah adalah mental dan cara pandang. Lagipula literasi bukan melulu tentang penyediaan buku atau renovasi bangunan perpustakaan.
ADVERTISEMENT
Saat melakukan riset internet, saya menemukan profil menarik seorang gadis cilik bernama Hanna Ameera. Setelah tersedot oleh aneka kiprahnya di bidang literasi, saya tersentak saat mendengar motto hidupnya di suatu tayangan video:
Alamak. Sedap nian.
Ketika satu kegiatan telah disamakan dengan bernapas, maka pengucapnya benar-benar serius menghidupi kegiatan tersebut. Keseriusan yang menyerempet gairah atau bahkan kegilaan. Selain itu, di sisi personal saya memiliki bayi perempuan berusia empat bulan. Saya yakin ada banyak yang bisa saya petik dari Hanna, untuk nantinya saya terapkan bagi putri tercinta. Nama-nama pegiat literasi lain harus saya singkirkan demi menyambangi kediaman Hanna.

Duet klop ibu dan anak

Sesuai janji dengan Mamanya, saya tiba di kediaman keluarga mereka pada Sabtu pagi, 11 Mei 2024. Mata saya bersirobok dengan lima anak perempuan yang bermain dan bercanda di halaman seluas kira-kira 50 meter persegi. Kelompok anak laki-laki pun sama riangnya. Tergeletak banyak buku dan stoples cemilan di atas tikar.
ADVERTISEMENT
Sebelum memulai wawancara, saya mengobrol dengan Mama Hanna sembari memperhatikan anak-anak itu bermain. Darinya saya mendapat gambaran tentang Hanna dan segudang aktivitasnya, yang tampaknya berkisar pada buku dan dunia literasi seperti mendongeng dan kepenulisan. Di luar arena itu Hanna gemar menari, mengikuti jejak ibu dan neneknya.
Mama memberi tahu saya bahwa saking semangatnya bergiat di dunia literasi, Hanna sampai harus memecah klub bacanya menjadi tiga. Yang pertama adalah Lampu Baca, perpustakaan sekaligus taman baca masyarakat (TBM) yang berpusat di pekarangan rumah keluarga. Kedua ABC Reading Club, kegiatan membaca di luar ruangan—bisa kafe hingga taman kota—yang bisa diikuti oleh siapa saja. Selanjutnya ada Labschoolian Baca Bareng, klub baca bersama teman-temannya di SD Labschool Cibubur. Itu di luar kegiatannya sebagai pendongeng cilik yang juga sering diundang untuk mengisi acara oleh berbagai lembaga; kegiatan menari; juga amanah baru menjadi Mpok Cilik Kota Bekasi 2023.
ADVERTISEMENT
Lalu tiba waktunya mengajak Hanna bicara. Napas yang masih tersengal akibat loncat sana-sini tak menyurutkan semangatnya berbagi cerita. Kata demi kata meluncur bak air bah, cermin luasnya wawasan dan pengalaman Hanna. Ia membuka perbincangan dengan menceritakan suka-duka memenangkan pemilihan Abang Mpok Cilik Kota Bekasi 2023. Rona wajahnya jelas memancarkan kebanggaan. Walau menjauh dari topik wawancara, saya tetap membiarkannya bercerita karena yakin bahwa anak-anak harus lebih banyak diberi kebebasan.
Tatkala topik tersebut berakhir, pertanyaan pertama yang saya lontarkan adalah mengapa ia mau capek-capek melakukan semua ini. Apalagi ia berasal dari keluarga berada yang menempuh pendidikan di sekolah relatif mahal, yang tentu saja diberkahi aneka kemudahan dan kenyamanan.
Hatinya tergerak manakala di suatu hari ia termenung mendapati anak-anak di lingkungannya bermain gim handphone di pinggir jalan. Saat Hanna sapa, tak satu pun dari mereka menggubrisnya. Perpustakaan yang berada di sisi kiri rumah mulanya ia niatkan untuk menjadi ruang pribadi tempat ia dapat mengeksplorasi hobi membaca, journaling, membuat kerajinan tangan, sampai bermain ukulele. Bangunan seluas kira-kira 2x4 meter itu awalnya berfungsi sebagai kandang burung ayah Hanna.
ADVERTISEMENT
Ketika keinginan itu disetujui sang ayah, ibunya justru menyarankan hal lain. Mengapa tidak menjadikannya taman baca, seingga anak-anak di lingkungan mereka dapat meminjam buku dan bermain di sana? Mungkin dengan adanya ruang tersebut, anak-anak yang asyik bermain gim bisa tertular hobi Hanna.
Perpustakaan dan ruang serba guna Lampu Baca (dok. penulis).
Hanna menyambut gembira usul tersebut. Lampu Baca, nama TBM itu, lantas mengundang anak-anak sekitar untuk datang. Di sini saya mendapati peran di balik layar Mama Hanna yang luar biasa. Supaya tak membosankan, keluarga mereka menyediakan cemilan hingga permainan seperti congklak dan karambol. Namanya anak-anak, pengunjung Lampu Baca justru asyik bermain ketimbang membaca buku. Hanna dan Mama pun bersiasat: Boleh memainkan apa saja dengan syarat membaca buku dan mengulasnya dalam waktu 45 menit.
ADVERTISEMENT
Setiap pembaca rakus akan menangkap getaran sinyal berfrekuensi sama saat berbicara dengan Hanna. Saya berkali-kali mengingati diri sendiri bahwa lawan bicara saya masih berusia 12 tahun, sehingga harus menyesuaikan intonasi dan nada bicara. Ia menyebut toko-toko buku yang pernah menghiasi hari-hari saya seperti Toko Buku Post atau Kineruku di Bandung. Sinar di matanya turut menyalakan bara di hati saya saat ia menceritakan keseruan mengunjungi toko-toko buku di Jakarta, Bali, Tangerang Selatan, hingga Bandung.
Gadis yang bercita-cita menjadi dokter gigi ini selalu antusias menceritakan apa saja; dari keinginan memiliki toko buku sendiri hingga obsesinya pada Jepang. Tetapi, ia bukan tipikal anak berprestasi yang kehilangan masa kanak-kanak. Karena Hanna beberapa kali menceritakan dinamika pertemanan di sekolah, perihal persahabatan hingga persaingan antarkelompok, saya pun yakin kegiatan-kegiatan ini tak menyita masa pertumbuhannya.
ADVERTISEMENT
Di sela wawancara, saya memperhatikan Mamanya membagikan hadiah untuk anak yang berani mengulas buku yang dibaca. Literasi bukan cuma baca-membaca, tapi kemampuan menulis dan mengungkapkan pendapat. Hanna pun menyinggung bagaimana teman-teman di Lampu Baca kesulitan mengulas buku bacaan. Padahal mereka lancar saja saat mengobrol santai atau bergurau.
Dari belasan anak, peserta-peserta yang rajin datang tak sampai lima orang. Ternyata salah satu penyebab utama adalah minimnya dukungan orang tua. Walaupun keluarga Hanna membuka gerbang rumah mereka pada Senin hingga Sabtu; meskipun mereka menyediakan akses WiFi yang bisa digunakan pengunjung, anak-anak masih harus diundang melalui WhatsApp untuk datang ke Lampu Baca. Mama Hanna pun mesti kembali menyiasatinya dengan berinovasi. Terkadang ini membuat Hanna sedih walau tak sampai sepenuhnya patah arang. Ia ingin teman-temannya menjadikan kegiatan membaca buku sebagai kebutuhan, bukan karena iming-iming apalagi paksaan.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut, bagaimana orang tua berperan dalam menumbuhkan literasi anak, mengingatkan saya pada satu episode siniar tentang metode Montessori. Sang pembawa acara mengingatkan pendengar bahwa memberi contoh adalah metode termanjur sekaligus paling sederhana untuk menumbuhkan minat membaca anak. Orang tua disarankan untuk sering mempertontonkan kegiatan membaca buku, bukan gawai atau komputer, agar anak tertular kebiasaan tersebut.
Hanna bersama sahabat-sahabat Lampu Baca (dok. penulis).
Hanna dan keluarganya menjadi semakin unik karena mereka tak cuma memiliki modal kapital, tetapi juga modal budaya untuk menjadi penggugah literasi. Selain turun-temurun dekat dengan bidang seni dari pihak keluarga Mama, Hanna juga tertular kebiasaan menulis. Hingga kini, Mamanya masih menyurati dan disurati sahabat-sahabat pena dari berbagai daerah di dunia. Hanna pun bersahabat pena dengan orang-orang dari Bogor, Jepang, hingga Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT
Kedua modal itu sebenarnya tak memadai untuk menjelaskan keunikan mereka. Kita tahu bagaimana keluarga elite biasanya mementingkan diri atau sesamanya saja. Kepekaan dan kepedulian terhadap lingkungan, dengan cara yang tak terasa seperti “bakti sosial” belaka, adalah hal yang sulit ditemukan di era kita saat ini.

Hambatan struktural

Studi yang dilakukan seperti Kristen H. Perry (2012) mengenai aspek sosiokultural literasi menunjukkan bahwa kegiatan ini harus memperhatikan konteks sosial suatu masyarakat sehingga, pada akhirnya, turut mempertimbangkan relasi kekuasaan yang berlaku di dalamnya. Sementara itu Brian V. Street (2005) mengidealkan program-program literasi dapat menjadikan pesertanya lebih kritis, mawas diri dan mampu mengontrol takdir mereka.
Kemampuan literasi suatu bangsa bersangkut-paut dengan kebijakan dan ideologi pemerintahnya. Di muka, saya telah menjelaskan kegemaran pemangku kuasa menyelesaikan masalah dengan perspektif mencipta, bukan memelihara. Ribuan aplikasi akan mubazir belaka karena dinginnya kecanggihan teknologi tidak menyentuh—apalagi merangkul—masyarakat secara konkret.
ADVERTISEMENT
Hambatan-hambatan struktural, walau tak terlalu berarti bagi Hanna, sering menjadi kerikil yang membuat langkah mereka pincang. Hanna dan Mama menceritakan banyaknya lembaga pemerintah yang mendekati mereka sambil menjanjikan banyak hal. Ada pula yang sampai mengklaim bahwa lembaganyalah yang “mengorbitkan” Hanna. Juga “gerakan-gerakan” literasi yang terasa kosong karena sasaran utamanya adalah kucuran dana pemerintah atau program CSR korporasi.
Mereka, kata Hanna, justru lebih terasa seperti event organizer alih-alih penggerak budaya literasi. Indikatornya mudah saja. Beberapa pegiatnya gelagapan saat Hanna tanyai pengarang favorit mereka. Atau bagaimana kata-kata kasar sering terselip dalam tutur kata para anggotanya. Merasa kapok, Hanna dan Mama memilih menjauh. Mereka merasa lebih cocok berkolaborasi dengan pihak non pemerintah seperti Patjar Merah dan Ubud Writers & Readers Festival.
ADVERTISEMENT
Selain mempunyai Mama dengan kepekaan luar biasa, Hanna juga mengambil inspirasi dari Kang Edi Dimyati. Ia adalah tokoh literasi yang mengelola TBM Kampung Buku di Cibubur. Namanya bahkan Hanna sandingkan dengan Maudy Ayunda, Jerome Polin, dan Dian Sastro sebagai tokoh-tokoh yang ia idolai. Kang Edi, menurut Hanna dan Mamanya, adalah sosok bak filsuf yang menjalani hidup secara ugahari. Kang Edi meninggalkan kariernya di majalah remaja lalu sepenuhnya mengabdikan hidup untuk buku dan dunia literasi.
Selain TBM Kampung Buku, Kang Edi juga mempunyai program Kargo Buku: Program menjajakan dan membagikan buku dengan berkeliling menggunakan sepeda yang telah dimodifikasi sedemikian rupa. Hanna terkesan dengan inisiatif itu lalu mengadopsinya dengan membuat program Koper Buku. Alih-alih berkeliling dengan sepeda, ia menyambangi ruang-ruang publik seperti taman dan menggelar buku-buku di dalam koper yang ia bawa.
ADVERTISEMENT
Beruntung pula Hanna kini hidup di era media sosial sehingga segala kegiatannya dapat tersiar dengan mudah dan diakses oleh siapa saja. Hambatan struktural di segi birokrasi (politik) dan komunikasi dapat diatasi, sehingga semangat berkolaborasi yang menjadi gejala zaman turut mereka manfaatkan. Mereka, misalnya, pernah berkolaborasi dengan pemain yoyo, museum-museum, hingga festival-festival anak. Teknologi memang pedang bermata dua, tapi kita seharusnya berperan aktif menumpulkan mata yang mengarah ke jantung kita.
Dari Hanna dan Mamanya saya memetik pelajaran bahwa anak-anak memang harus diarahkan, tapi jangan sampai mereka terkekang. Untuk mengatasi kebosanan, Hanna mengajak sahabat Lampu Baca belajar menari. Karena sering berkolaborasi dengan pemerintah, Mama berhasil meyakinkan mereka untuk menyediakan kesempatan bagi sahabat Lampu Baca menari di Kota Tua. Tak sampai sepuluh menit, memang. Tetapi menampilkan kemampuan di depan ratusan orang adalah pengalaman berharga bagi anak-anak.
ADVERTISEMENT
Salah satu penari kelompok Hanna kebetulan hadir di saat saya berkunjung, dan mengungkapkan kebanggaan bisa tampil di acara tersebut. Apalagi ia turut mengundang keluarganya untuk hadir. Struktur memang kerap menghambat, tapi bukannya tak bisa disiasati.

Pesan untuk masa depan

Semakin lama berbincang dengan Hanna membuat saya semakin salut dengan kepekaan sosialnya yang tinggi. Ia saat ini sedang mempelajari bahasa isyarat, agar nanti bisa mendongeng untuk teman-teman difabel. Pagi itu ia pun menunjukkan kebolehan memperkenalkan diri dengan bahasa isyarat, bukti bahwa niatnya tak main-main.
Saya lalu mengajaknya berandai-andai. Jika saat ini yang di hadapan saya adalah Hanna berusia 17 tahun, apakah ia tetap mengelola klub-klub buku ini? Ia mengiyakan dengan pasti. Lalu saya membawanya lebih jauh: Apakah mungkin di semesta atau linimasa yang berbeda, dirinya bukanlah Hanna sang pembaca buku? Ia menyergah dengan yakin:
ADVERTISEMENT
“Enggak. Enggak mungkin banget, kak. Jangan sampai, lah!”
Jalan Hanna tentu begitu lapang. Minat dan fokusnya sangat mungkin berubah. Saya mengajukan pertanyaan bernada serupa kepada sang Mama. Bagaimanakah sikap Mama jika di satu titik dalam hidupnya, dalam waktu dekat atau di masa yang jauh, Hanna ingin menghentikan kegiatannya di dunia literasi?
“Terserah Hanna. Saya sepenuhnya mendukung.”
Lalu ia membantu tugas saya, bertanya kepada sang putri: Saat dewasa nanti, apakah Hanna akan tetap mengelola Lampu Baca? Dan siapakah pesertanya? Tetap anak-anak atau teman-teman sebayanya?
Hanna menjawab bahwa Lampu Baca tetap ia tujukan untuk anak-anak. Karena teman-teman di lingkungan rumahnya memiliki adik, generasi penerus yang butuh sentuhan hangat Lampu Baca. Perkara pergaulan dengan teman sebaya, Hanna bisa membuat klub baca baru yang bisa mengakomodasi selera bacaan mereka.
ADVERTISEMENT
Tulisan ini semoga turut berfungsi sebagai pengingat bagi Hanna. Betapa ia mempunyai cita-cita yang teramat peka serta mulia. Betapa ia pernah menjadi bintang kecil yang menyinari langit literasi Indonesia. Empat jam bercengkerama di Lampu Baca terasa sekejap saja. Saya hampir lupa bahwa Hanna punya janji dengan Perpustakaan DKI sore itu. Tiba saatnya untuk undur diri.
Saya pamit, menyalakan mesin motor dan melajukannya pelan-pelan sembari berpikir bahwa asa itu masih—dan akan selalu—ada. []