Pandemi dan Kebodohan yang Mematikan

Fajar Martha
Karyawan swasta yang senang baca sastra
Konten dari Pengguna
4 Agustus 2020 15:36 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fajar Martha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Antara Foto/Muhammad Adimaja
zoom-in-whitePerbesar
Antara Foto/Muhammad Adimaja
ADVERTISEMENT
Drama itu berlalu seperti biasanya: geger, gaduh, sia-sia. Setelah Deddy Corbuzier dan Jerinx, kini Anji. Bedanya dengan dua nama pertama, ucapan Anji menyinggung profesi fotografer, dan terpaksa meminta maaf. Saya terpaksa mengatakan ia terpaksa, sebab permintaan maaf itu begitu terasa tak tulus.
ADVERTISEMENT
Maksud hati mungkin baik, yakni mengutarakan gagasan kritis terhadap fenomena terkini. Dua nama pertama percaya ada sebuah konspirasi besar di balik pandemi. Sementara Anji, menganggap ada sebuah kekuatan tak terlihat—layaknya cara kerja pendengung atau buzzer di internet—yang menyebarluaskan foto "kontroversial" karya Joshua Irwandi, seolah sengaja menebar ketakutan kepada publik yang sedang tiarap dari cobaan hidup.
Alih-alih menyebar sikap kritis, pemikiran mereka justru diterjang masyarakat luas, yang menganggap komentar mereka berbahaya. Walau, nahas bagi yang merasa waras, tak sedikit pula yang memercayai mereka.
Ketiganya memiliki kesamaan. Pertama dan yang paling mencolok: menyepelekan apa yang jelas-jelas berbahaya dan mematikan, dan menggaungkan gagasan tersebut ke jutaan pengikutnya. Kesamaan kedua, posisi mereka sebagai pekerja di industri hiburan. Status mereka sebagai penghibur merupakan salah satu profesi yang paling terdampak dari pandemi Covid-19. Ampere, lembaga riset pasar, meramalkan pandemi ini akan memangkas pertumbuhan laba industri hiburan di angka $160 miliar.
ADVERTISEMENT
Kesamaan terakhir: mereka, tersirat maupun tersurat, berkelesah tentang legitimasi media massa dalam menyampaikan kebenaran. Dalam unggahan Instagram yang telah ia hapus itu, Anji berkata: "Saya percaya Covid-19 itu nyata, tapi tidak semengerikan apa yang diberitakan media. Memang saat ini, hal itu yang saya rasakan. Bahaya media."
Di Twitter, hal serupa ia kemukakan ke banyak orang yang mengomentarinya. Ia bersikeras bahwa yang ia kritik dan takutkan adalah kerja media yang terlalu berlebihan dalam memberitakan ihwal dan perkembangan Covid-19.
Anji, berkat statusnya sebagai idola, adalah amplifikasi ketidakpercayaan kita terhadap media. Seperti yang telah diajukan banyak ahli, ini merupakan salah satu gejala mengkhawatirkan masyarakat post-truth. Kejenuhan kita terhadap media telah melahirkan sumber-sumber informasi nirkredibilitas, yang melayani bias kognitif individu. Spektrum kanan maupun kiri, menjadikan corong-corong informasi rombeng semisal Breitbart News hingga Obor Rakyat sebagai rujukan.
ADVERTISEMENT
***
Ada komentar menarik dari Orhan Pamuk, peraih nobel sastra asal Turki, ihwal pandemi dan kemanusiaan. Kebetulan, Pamuk sedang dalam proses merampungkan novel berlatar wabah penyakit. Dalam karya-karya terdahulu, ia pun kerap menyinggung soal pandemi. Lewat esai yang tayang di New York Times ia menulis:
Pamuk juga menemukan bahwa sepanjang sejarah, manusia kerap menyalahkan yang asing sebagai pembawa bencana, seolah menggaungkan peribahasa "Gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di seberang lautan terlihat." Mereka mencari kambing hitam walaupun tiada memiliki bukti konkret. Ditambah faktor belum majunya ilmu kedokteran masa itu, manusia kehilangan daya lenting—yang pula dialami para pemangku kuasa.
ADVERTISEMENT
Lalu bisakah kita memaafkan Anji? Bukankah, seperti kata Pamuk, komentar sang biduan adalah respons yang menyejarah dan manusiawi? Tunggu dulu. Dalam esai itu Pamuk mengingatkan kita untuk mengungguli peradaban-peradaban silam, berkat kemewahan yang tidak mereka miliki: kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi.
Bayangkan bila pandemi ini terjadi tiga puluh tahun lampau, kala akses internet belum semudah sekarang. Kita akan terpaku pada radio dan televisi yang persebaran informasinya terbatas. Visualisasi bahaya virus seperti yang tampak pada karya Joshua Irwandi hanya dapat kita lihat di media cetak. Pamuk berharap kita tak mengulangi kesalahan manusia di peradaban yang telah lalu. Kita telah diberkahi internet dan keterbukaan informasi. Penderitaan pasien Covid-19 dan tenaga medis dapat kita simak kapan dan di mana saja.
ADVERTISEMENT
Media sosial dan perkembangan teknologi informasi telah menciptakan ratusan sumber informasi baru yang menyesatkan. Berkat sifatnya yang luwes dan tak membutuhkan gatekeeper, gaya, kemasan dan persona seseorang bisa menjadikan mereka opinion leader—yang dapat pula mendatangkan laba finansial. Status sebagai artis ataupun wajah nan rupawan tak lagi menjadi syarat mutlak. Kita telah menemui banyak sekali jenis manusia seperti ini: mulai Milo Yiannopoulos hingga Jonru Ginting.
Harapan sebatas tertulis, sulit betul terlaksana di kehidupan nyata. Faktanya, tenaga medis dan para ahli epidemi di berbagai negara kewalahan menghadapi serbuan hoaks terkait Covid-19. Tentu anda belum melupakan ekspresi kekecewaan para tenaga medis yang mereka luapkan melalui tagar #IndonesiaTerserah? Ribut-ribut Anji ini turut mengajarkan kita bahaya dan dampak nyata hoaks, yang telah lama menantang kerja jurnalistik di ring tinju peradaban milenium ketiga.
ADVERTISEMENT
Jurnalis kawakan, Zen Rahmat Sugito, balik mengkritisi pandangan Anji. Lewat cuitan di Twitter, ia berkomentar, “Media di Indonesia melebih-lebihkan gambaran bahaya Covid? Nggak sama sekali. Untuk "mendidik" soal kegentingan dan kedaruratan, dosisnya malah kurang, kok. Belum seberapa dibanding reportase2 media luar soal situasi ICU saat pandemi, misalnya.
Komentar tersebut sulit didebat, mengingat jumlah korban terjangkit virus yang tak menunjukkan gejala penurunan. Pasca Idul Fitri 2020, masyarakat semakin abai dengan pandemi. Melihat wilayahnya yang tak kunjung membaik, pemerintah provinsi DKI Jakarta terpaksa membatalkan rencana pembukaan bioskop, yang sejatinya bisa kembali beroperasi pada 29 Juli 2020. Bahkan, per Senin, 27 Juli 2020, jumlah pasien terjangkit virus corona di Indonesia telah melampaui angka 100 ribu jiwa.
ADVERTISEMENT
Maka sekali lagi: Gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di seberang lautan terlihat.
***
Saya agak kesulitan mencari arti kata bahasa Indonesia untuk “ignorance”. Laman Dictionary.com menerangkan arti kata tersebut sebagai: (noun) The state or fact of being ignorant; lack of knowledge, learning, information, etc. Mulanya saya pikir kata “naif” atau “lugu” bisa menjadi pemadan, namun pertimbangan saya menepikannya. Bahkan, dulu saya sempat mengira kata tersebut bersinonim dengan “stupidity” atau “kebodohan”.
Di era kita, saya rasa, kekurangtahuan seseorang perlu juga diukur dari cara mereka memilah informasi yang benar dari internet atau grup chat seperti WhatsApp. Praktik ‘factchecking’—yang sejatinya telah banyak disediakan media-media Indonesia—sebaiknya disosialisasikan ke lingkup terkecil seperti RT. Ini sekadar usul. Perkara istilah bahasa, sebaiknya kita serahkan kepada para munsyi seperti Eko Endarmoko atau Ivan Lanin.
ADVERTISEMENT
Menyimak tingkah figur publik di atas, rasa-rasanya kata “ignorant” sangat tidak tepat dilekatkan kepada mereka. Ketiga nama yang disebut di muka adalah bagian dari generasi X, kelompok pertama penyicip teknologi internet.
Melihat cara mereka memonetisasi skill (bernyanyi, memandu acara, juga ehm, ‘cangkeman’) di media sosial masing-masing, saya yakin mereka punya keberlimpahan waktu dan harta untuk mengunyah informasi dari sumber-sumber kompeten. Bukankah Anji dan Deddy Corbuzier mencitrakan diri mereka sebagai influencer dengan konten-konten “kritis” dan “cerdas”?
Kedalaman hati seseorang, anda tahu, takkan bisa diukur. Begitu pula intensi awal Anji cs dalam membuat konten-konten kontroversial yang menabrak bukti-bukti nyata keganasan virus Covid-19. Mengajak orang bersikap kritis? Bisa jadi. Namun bila ajakan tersebut ternyata menyesatkan dan berbuah celaka ya buat apa? Jangan-jangan, hal tersebut dilakukan cuma karena bingung membikin konten di kanal media sosial mereka masing-masing? Alamak!
ADVERTISEMENT
Saat menikmati hasil adsense atau endorsement dari kepiawaian bermedia sosial, ada ribuan penggemar mereka yang musti bertungkuslumus menghadapi dampak langsung dan tak langsung pagebluk ini. Begitu banyak pengikut mereka yang tak bisa menikmati proses belajar di sekolah dan kampus. Tak terhitung sebagian lain yang harus lebih keras memeras keringat untuk sekadar menyambung nyawa.
Sampai kini kita belum bisa menebak ke mana arah dunia. Wabah Covid-19 telah mematahkan analisis para ahli dan akademisi. Orang-orang, yang awalnya terpaksa, mulai dan mau membiasakan dirinya mematuhi protokol kesehatan. Sudah saatnya kita menganggap komentar Anji mengenai pandemi sebatas lelucon.
Lalu bagaimana bila dugaan mereka terbukti, bahwa musabab pandemi adalah Cina atau Bill Gates atau korporasi farmasi raksasa? Tak usah ragu meminta maaf. Saya legowo. Toh menteri-menteri kita turut menyepelekan virus mematikan ini. Maaf saya sudah meruah. Saya harap anda juga, sambil senantiasa menjaga kesehatan diri dan orang terkasih tentunya.
ADVERTISEMENT